Ya, puasa Ramadhan adalah beban. Itu secara naluriah manusia. Sebagai makhluk hidup, manusia suka makan, atau butuh makan. Ketika diperintahkan berpuasa, artinya manusia harus menahan kesukaan atau kebutuhannya. Dalam posisi itu, puasa adalah beban bagi manusia.
Bukan hanya puasa saja sebenarnya, tapi hampir semua perintah dan larangan Allah adalah beban. Manusia secara naluriah suka mengumpulkan harta, lalu menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Tapi, suatu waktu Allah perintahkan untuk menyisihkan sebagian hasilnya agar dibagi pada orang lain. Itulah perintah zakat. Maka, zakat adalah beban.
Manusia ingin menikmati waktu dan kebebasannya tanpa gangguan, tapi Allah perintahkan agar menyisakan lima waktu setiap hari untuk sujud. Itulah perintah salat. Maka, salat adalah beban menurut naluriah dasar manusia.
Dari dalam dirinya, manusia memiliki dorongan alamiah untuk tertarik terhadap lawan jenisnya. Naluri mendorong manusia untuk bersenang-senang dengan lawan jenisnya tanpa dibatasi. Namun, Allah membatasi bahwa bersenang-senang dengan lawan jenis hanya dibolehkan setelah akad nikah. Maka, larangan berbuat mesum adalah beban bagi naluri alamiah manusia.
Tunggu dulu, saya menggunakan diksi “beban” dalam pengertian netral, tanpa menyertakan unsur kekesalan dan protes, juga tanpa ada maksud memancing praduga negatif pembaca. Istilah beban ini dapat dijelaskan melalui ilmu ushul fiqh, yakni ilmu untuk menuntun para pakar hukum Islam (mujtahid) dalam melahirkan keputusan hukum. Istilah lain ilmu ushul fiqh adalah metodologi hukum Islam.
Begini, dalam ushul fiqh, proses penitahan ibadah dari Allah kepada manusia disebut “taklif”. Taklif berakar dari kata “ka-la-fa” yang arti dasarnya “beban”. Silakan cek di Kamus Arab-Indonesia! Jika “kalafa” diartikan beban, maka “taklif” artinya pembebanan. Objek atau sasaran sebuah beban disebut “mukallaf” (masih berasal dari kata ka-la-fa). Mukallaf artinya orang yang diberi-beban. Penjabarannya lebih teknis, mukallaf adalah: orang Islam, yang baligh, berakal, dan tidak punya uzur.
Pernahkah anda mendengar lima istilah ini: wajib, sunat, haram, makruh, mubah? Ketika masyarakat bertanya pada ulama tentang hukum suatu perbuatan, maka jawaban ulama tidak akan lepas dari lima istilah itu. “Apa hukum berjudi, ustaz?”, maka sang ustaz akan menjawab: “haram!”. “Apa hukum Salat Tarawih, buya?”, lantas buya berkata, “sunat”. “Apa hukum makan jengkol, Tuanku?”, “makruh”, kata tuanku. Begitu seterusnya.
Kelima istilah tersebut, dalam ilmu ushul fiqh disebut “hukum taklifi” (masih berakar dari kata “ka-la-fa”). Taklifi berarti status pembebanan sebuah hukum, apakah wajib, sunat, haram, makruh, atau mubah. Jika statusnya wajib, maka berpahala dikerjakan dan berdosa ditinggalkan. Jika statusnya sunat, berarti berpahala dikerjakan, tapi tidak berdosa ditinggalkan. Jika statusnya haram, maka berdosa dikerjakan, berpahala ditinggalkan. Jika statusnya makruh, maka berpahala ditinggalkan, tapi tidak berdosa dikerjakan. Jika statusnya mubah, maka tidak ada kaitannya dengan dosa dan pahala, baik dikerjakan atau ditinggalkan.
Perintah yang tegas, status hukumnya jadi wajib. Perintah yang lunak (berupa anjuran), status hukumnya adalah sunat. Larangan yang tegas, status hukumnya haram. Larangan yang lunak (anjuran), status hukumnya makruh. Adapun perbuatan yang tidak ada perintah dan larangannya, disebut mubah (boleh-boleh saja), seperti makan es krim, minum teh telur, naik kendaraan, menyetrika pakaian, main bulu tangkis, dan sebagainya.
Semua ulama mengatakan, hukum puasa Ramadhan adalah wajib. Artinya, puasa Ramadhan adalah sebuah beban yang harus dikerjakan oleh setiap muslim-muslimah yang sudah baligh, berakal, dan tiada uzur. Jika dikerjakan akan diganjar pahala, tidak dikerjakan ancamannya dosa. Perintah wajibnya puasa, di antaranya dimuat dalam surat al-Baqarah ayat 183. Barangkali itulah ayat yang paling lengket di ingatan kebanyakan umat Islam setelah surat al-Fatihah dan al-Ikhlas (qul huwallahu ahad).
Apakah beban itu bermakna jelek? Tidak. Sama sekali, tidak! Saya berusaha memosisikan kata “beban” secara netral, dalam kajian ushul fiqh. Dalam hubungannya dengan sang Khaliq, justru beban menjadi sebuah kehormatan bagi makhluk. Dalam relasinya dengan Tuhan, beban adalah sebuah kemuliaan bagi manusia.
Kenapa? Buktinya hewan tidak diberi beban ibadah apapun oleh Allah. Kambing tidak diperintahkan untuk sujud lima kali sehari-semalam. Tidak ada perintah naik haji untuk sapi. Tidak ada kewajiban bayar zakat rumput bagi kerbau. Karena itu, pembebanan yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah sebuah kehormatan besar. Sebuah kemuliaan.
Beban adalah istilah yang sangat wajar, jika sumbernya dari Allah, untuk hamba-hambanya. Memang, Allah-lah yang pantas memberikan beban, dan Allah jua yang lebih paham batas kemampuan hamba-Nya (al-Baqarah:286). Bahkan, dalam pandangan sufi, jangankan beban dalam pengertian netral tadi, murka dari Allah pun sangat layak disambut dengan riang gembira oleh manusia.
Dalam beban itulah kualitas iman dan taqwa seorang hamba diuji. Bukankah perintah puasa dalam al-Baqarah 183 itu diawali dengan seruan terhadap orang beriman dan diakhiri dengan visi menjadi taqwa? Itulah ukuran komitmen seorang makhluk terhadap Khaliq-nya. Jika beban dilaksanakan dengan benar dan ikhlas, artinya ada komitmen berketuhanan di situ. Begitu juga sebaliknya.
Tidak berpuasa berarti tidak bersedia menerima beban dari Tuhan. Muslim yang tidak mau terbebani oleh puasa, artinya komitmen berketuhanannya layak dipertanyakan. Begitu juga dengan perintah-perintah dan larangan-larangan lainnya. Ia sedang tidak bersedia menerima kehormatannya sendiri, tak sudi menerima pemuliaan dari sang Khaliq.
Makhluk yang tidak bersedia menjalankan perintah Khalik, itulah makhluk yang tidak mau terbebani. Ia sedang mengangkangi hakikatnya sebagai makhluk. Memberi beban adalah kewenangan Tuhan selaku Sang Pencipta. Menerima beban adalah tugas manusia selaku ciptaan. Singkatnya, sebagai makhluk, kita wajar dibebani, dan sebagai Tuhan, Allah wajar memberi beban.
Karenanya, jangan minta diringankan beban, tapi mintalah pundak yang kokoh dan hati yang teguh. Begitu nasehat orang bijak. Biarkan beban menjadi beban, asalkan kita tidak merasa terbebani.
Di balik beban, ada nikmat. Di balik nikmat, ada beban. Keduanya tak terpisahkan. Punya mobil bagus adalah nikmat, tapi merawatnya adalah beban. Punya jabatan tinggi, adalah nikmat, tapi tanggungjawab yang melekat di sana adalah beban. Menjadi manusia adalah nikmat, tapi beribadah pada Sang Khaliq adalah beban.
Puasa adalah beban, tapi di baliknya ada maghfirah (ampunan) dari Allah dan taqwa. Syaratnya, puasa harus dijalankan dengan iman dan ikhlas. Ikhlas itu, seperti cinta, mengerjakan sesuatu tanpa pertimbangan untung-rugi. Tanpa manisnya cinta, hidup ini adalah beban, kata Jalaludin Rumi.
Mampu menyelesaikan tulisan ini, bagi saya adalah nikmat, tapi ketika tulisan ini dikritik dan ditanyai ini-itu? Beban!. [ ]
Nuzul Iskandar, Dosen Hukum Islam IAIN Kerinci