Langgam.id — Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang akan digelar Sabtu 19 April 2025 di seluruh wilayah Kabupaten Pasaman bukan sekadar agenda elektoral lanjutan. Bagi dua pakar politik dari Universitas Andalas—Prof. Dr. Asrinaldi dan Dr. Aidinil Zetra—PSU ini merupakan medan dialektika penting antara hukum, kepercayaan publik, serta masa depan demokrasi lokal.
"Legitimasi PSU itu tidak bisa lagi dipertanyakan karena sudah berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding," tegas Prof. Asrinaldi, dalam keterangannya dikutip, Sabtu (19/4/2025).
Namun, Dr. Aidinil Zetra menambahkan dimensi sosial dari legitimasi tersebut. "Jika dasar hukum PSU adalah fakta yuridis, maka legitimasi publik adalah fakta sosial. Transparansi dan partisipasi menjadi kuncinya." kata dia.
Keduanya sepakat bahwa tantangan terberat PSU bukan lagi legalitas, melainkan menumbuhkan kepercayaan publik yang sempat mengendur akibat ketidaktahuan, disinformasi, dan kejenuhan politik.
"Bagi warga, Pilkada 27 November lalu sudah menjadi puncak emosional. PSU bisa dianggap pengulangan yang melelahkan," ujar Asrinaldi. Aidinil menambahkan, "PSU sering dianggap sebagai panggung elitis yang tak menyentuh kepentingan rakyat. Maka pendekatannya harus partisipatoris, berbasis komunitas, dan menyentuh hati."
Soal netralitas penyelenggara, Asrinaldi percaya instrumen pengawasan sudah tersedia, tinggal ditegakkan. Sementara Aidinil menyoroti pentingnya memperkuat tiga aspek: institusional, kultural, dan teknis. "Netralitas harus menjadi amanah moral, bukan sekadar kepatuhan administratif," tegasnya.
Tentang praktik politik uang yang kerap membayangi PSU, keduanya bersuara senada: ini tradisi yang salah namun terus berlangsung. "Politik uang telah mengakar, bahkan dalam pemilihan wali nagari atau ketua partai. Penegakan hukum dan sanksi tegas adalah jalan satu-satunya," kata Asrinaldi. Aidinil menekankan peran tokoh adat dan pemuda lokal sebagai pelindung moral demokrasi. "Masyarakat harus diberdayakan, bukan dibeli."
Dalam konteks sosial Pasaman yang berbasis nagari dan ditandai oleh polarisasi utara-selatan serta keragaman etnis, keduanya sepakat bahwa tokoh adat dan agama memainkan peran krusial. "Apa yang dikatakan tokoh adat seringkali lebih menentukan dari seruan kampanye," ujar Asrinaldi.
Aidinil menyarankan pendekatan berbasis nilai-nilai lokal seperti "kok malu dek kampuang" sebagai fondasi netralitas dan partisipasi.
Di era digital, disinformasi menjadi musuh baru. Asrinaldi menyoroti hoaks yang menyebutkan calon tertentu sudah pasti menang sebagai tantangan serius. Aidinil mendorong strategi komunikasi KPU yang lebih proaktif dan kontekstual. "Gunakan simbol dan humor lokal. Bangun jaringan influencer demokrasi berbasis komunitas," sarannya.
Polarisasi politik pun menjadi perhatian. "Pasaman mungkin tidak multi-etnis, tapi ada faksi utara dan selatan yang nyata," ungkap Asrinaldi. Menurut Aidinil, rekonsiliasi harus dirancang pasca-PSU, bukan dibiarkan alami. "Libatkan semua kelompok dalam struktur pemerintahan. Demokrasi kita bukan soal menang-menangan, tapi merawat keberagaman."
PSU juga dinilai sebagai cermin kelemahan sekaligus peluang reformasi. "Satu celah dalam penyelenggaraan bisa jadi dasar gugatan dan membatalkan hasil pemilihan. Profesionalisme dan seleksi ketat penyelenggara mutlak," kata Asrinaldi.
Aidinil menambahkan pentingnya membangun sistem pemilu yang lentur, tangguh, dan didukung infrastruktur informasi yang transparan.
Keduanya menilai kampus seperti UNAND punya peran strategis. "PSU harus jadi living laboratory of democracy," ujar Aidinil.
Prof. Asrinaldi menekankan pentingnya evaluasi yang menyentuh akar persoalan, melibatkan kampus dan masyarakat sipil sebagai mitra reformasi.
Terakhir, keduanya seiya sekata: narasi PSU harus dibangun sebagai koreksi, bukan kekacauan. "Kita tak sedang mengulang karena gagal, tapi sedang menyempurnakan proses karena percaya bahwa suara rakyat terlalu berharga untuk dicemari cacat prosedural," pungkas Aidinil.
Sebagaimana ditegaskan oleh dua akademisi ini, demokrasi tidak diukur dari absennya kesalahan, tapi dari kesanggupan kita memperbaikinya dengan terbuka, jujur, dan bermartabat. (*/fs)