“PR” Toleransi Beragama Kota Padang

Belum genap dua bulan pasca leganya Padang terlepas dari bottom ten score Indeks Kota Toleran se-Indonesia versi Setara Institute,

Dosen UIN Imam Bonjol Padang Dr. Faisal Zaini Dahlan, MAg. (Foto: Dok. Pribadi)

Belum genap dua bulan pasca leganya Padang terlepas dari bottom ten score (skor sepuluh terendah) Indeks Kota Toleran se-Indonesia versi Setara Institute, tiba-tiba kasus Padang Sarai meletus. Keberhasilan kota ini naik peringkat dari posisi hampir sepuluh tahun dicap “intoleran”, sejatinya menjadi turning-point atau titik balik positif yang luar biasa.

Namun, kejadian 27 Juli tersebut sangat potensial mendudukkan Kota Padang kembali ke posisi semula. Meski semua pihak tampak menyepakati insiden itu bukan konflik agama dan suku, tetapi sejumlah lembaga advokasi dan penggiat toleransi -termasuk Setara sendiri- mengecam keras.

Bahkan menurut Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), kasus itu menunjukkan kemunduran toleransi di ibu kota Provinsi Sumatera Barat ini. Lalu, apa yang mestinya dilakukan Kota Padang agar skor di tahun-tahun mendatang tetap bertahan di level toleran? 

Padang Versi Indeks Kota Toleran
Sejumlah lembaga riset di tanah air, secara berjangka mengukur tingkat toleransi maupun kerukunan beragama kota dan provinsi. Salah satu yang sering diacu adalah hasil indeks Setara Institute for Democracy and Peace, LSM yang concern dengan pluralisme, kemanusiaan, demokrasi dan HAM.

Penilaian yang disebut Indeks Kota Toleran (IKT) ini telah dimulai sejak 2015, mengindeks tingkat toleransi pada 94 kota di Indonesia. Sejauh mana suatu kota menjamin kebebasan beragama dan toleransi, diukur melalui indikator yang dikembangkan dari kerangka teori Grim dan Finke, meliputi (1) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/ RPJMD (2) kebijakan diskriminatif, (3) peristiwa intoleransi, (4) dinamika masyarakat sipil, (5) pernyataan publik pemerintah kota, (6) tindakan nyata pemerintah kota, (7) heterogenitas agama, dan (8) inklusi sosial keagamaan.

Semua aspek itu diukur dengan skema skoring skala hipotesis positif rentang nilai 1-7 yang menggambarkan gradasi dari kualitas rendah ke tinggi (Setara, 2024: 3-4).  

Sejak tahun pertama, Padang selalu berada pada posisi indeks yang tidak menggembirakan. Di IKT awal tahun 2015, ia di level 79 dari 94 kota, bahkan dua tahun kemudian melesat terjun ke posisi kedua terbawah, dan berturut-turut hingga 2023 tetap menempati posisi buncit di level 90, 93, 87, 92, dan 91.

Artinya, selama tujuh tahun Padang didapuk sebagai kota dengan indeks toleransi bottom ten score atau skor 10 terendah. Barulah di tahun kemaren mengalami peningkatan angka di level 72, meski tentunya masih jauh dari harapan. Nahasnya, seperti disebut di awal, kabar baik pemajuan toleransi ini kembali terancam dengan peristiwa akhir Juli.

Jika dicermati indikator yang menempatkan Kota Padang di posisi bawah seperti itu, tampaknya tidak sulit untuk mengidentifikasi argumennya. Merujuk rilis IKT 2020, dalam perspektif Setara, kebijakan pemerintah kota yang tergambar dari RPJMD 2019-2024 belum ditemukan nomenklatur eksplisit mengenai toleransi dan kerukunan beragama.

Selain itu, menurut mereka masih ada sejumlah kebijakan “diskriminatif” terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan serta gender. Begitu pula apa yang Setara sebut sebagai “peristiwa pelanggaran kebebasan beragama” masih terjadi, sementara respon pemerintah kota dan masyarakat masih tergolong rendah (Setara, 2020: 175-179).  

Naiknya rangking Kota Padang pada IKT 2024, menurut Setara antara lain didasarkan pada “tapak kaki” menuju ekosistem toleransi yang “perlahan” mulai terlihat. Keberhasilan FKUB Kota Padang dalam membangun ruang-ruang dialog dan perjumpaan lintas agama, serta studi banding ke kota-kota yang relevan dengan toleransi, dinilai sangat positif. Perhatian serius Wali Kota dan Wakilnya dalam mengapresiasi FKUB pada acara temu lintas umat beragama, juga menjadi poin penting dalam kaca mata Setara.

Tak kalah penting kontribusi elemen masyarakat yang dinilai signifikan, seperti geliat Pelita Padang yang menggandeng FKUB dalam penyelenggaraan dialog-dialog lintas agama sepanjang 2024. Langkah ini bagi Setara menunjukkan kepemimpinan kemasyarakatan (societal leadership) yang promotif terhadap pembenahan toleransi di Kota Padang (Setara, 2024: 42).  

Menuju Padang Kota Toleran
Pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa riset menyebut Padang “intoleran”, sedangkan warga sendiri merasa suasana kondusif dan damai? Seperti diungkap Setara, sumber data penelitian diambil dari dokumen resmi pemerintah kota, dokumen laporan lembaga terkait, serta referensi media terpilih.

Artinya, bahan-bahan publikasi dokumentasi amat signifikan sebagai basis utama parameter pengukuran, karena skoring indikator akan merujuk pada dokumen fisik. Lantaran itu bisa saja best practice toleransi dan kerukunan berlangsung di lapangan, tetapi secara teknis tidak bisa menjadi alat ukur selama publikasi dan dokumentasi tidak ditemukan. Singkatnya, riset akan mengukur yang tersurat, bukan yang tersirat.

Dalam konteks itu, secara praksis selain kebijakan toleransi dan kerukunan yang harus termaktub secara eksplisit dalam regulasi pemerintah kota, juga tidak kalah penting adalah menggiatkan aktivitas dan aksi-aksi lintas agama yang relevan dan mendukung indikator IKT. Kantong-kantong komunitas plural cukup banyak yang bisa digerakkan untuk itu.

Tidak saja di tingkat struktur masyarakat dari RT hingga kecamatan, tetapi juga di berbagai lembaga baik pemerintahan maupun swasta, termasuk lembaga pendidikan di berbagai jenjang. Begitu pula LSM, pusat kajian lintas agama, rumah moderasi, dan sejenisnya ada dimiliki perguruan tinggi di kota ini.

Ini semua amat potensial dan kondusif untuk menginisiasi serta menggalakkan ruang-ruang perjumpaan lintas agama. Jangan lupa, semuanya wajib didokumentasi dan dipublikasikan dengan profesional, agar bisa diakses optimal.

Pendek kata, sejatinya peringkat Kota Padang dalam soal toleransi dan kerukunan bakal tidak serendah di indeks, apalagi sempat bertahan bertahun-tahun. Bahkan sebaliknya, tak mustahil justru bisa melejit ke top ten score. Tinggal lagi, persoalannya kembali ke pemerintah daerah, stake holder, dan warga kota, sejauh mana “berminat” meraihnya.

Rumus singkatnya, telaah IKT secara cermat, kemudian bergerak maju sesuai parameter kota toleran. Tentu saja, kepedulian ini akan muncul sepanjang kita merasa risih dengan hasil-hasil riset. Sebagai warga, rasanya berlebihan jika kita menikmati begitu saja julukan “intoleran” disematkan ke kota yang menurut kita damai, sejuk, dan aman-aman saja ini.

Wallahu a’lam

*(Dosen Studi Agama-Agama UIN IB Padang) 

Baca Juga

KPU terus melakukan proses penghitungan suara Pemilu 2024 yang updatenya dapat dilihat di laman pemilu2024.kpu.go.id. Salah satunya yang bisa dilihat
Tidak Penuhi Undangan Pertama, DPRD Sumbar Bakal Surati Lagi Setara Institute
Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: DPRD Sumbar bakal mengundang Setara Institute terkait tiga kota masuk daerah rendah toleransi.
Minta Penjelasan Soal 3 Daerah Masuk Rendah Toleransi, DPRD Sumbar Bakal Undang Setara Institute
Berita Kota Pariaman - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Kota Pariaman masuk sebagai kita yang Intoleran versi Setara Institute.
Disebut Sebagai Kota Intoleran, Ini Tanggapan Pemko Pariaman
Berita Padang - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Pemko Padang Panjang memberikan tanggapan rendah toleransi riset Setara Institute.
Masuk Daerah Toleransi Rendah Versi Setara Institute, Ini Respons Pemko Padang Panjang
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Mengapa Sebuah PMK Berani Menantang UU?
Mengirai Lantamnya Sistem Pertanian
Mengirai Lantamnya Sistem Pertanian