Langgam.id - Pusat Kajian Gerakan Bersama Anti Korupsi UNP (PK-Gebrak-UNP) menghadiri acara Diskusi Publik bertajuk “KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi” yang digelar di Gedung Tahir Foundation, Universitas Andalas, Selasa, 9 Juli 2024. Acara ini diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TI-Indonesia) bekerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako-UNAND).
Diskusi ini mengundang berbagai kalangan, termasuk perguruan tinggi, media, masyarakat sipil, serta pusat studi antikorupsi dari berbagai universitas negeri dan swasta, seperti Universitas Bung Hatta dan UMSB.
Mewakili PK-Gebrak-UNP, Kepala PK Gebrak UNP, Mohammad Isa Gautama menekankan pentingnya memperbaharui dan merevitalisasi strategi gerakan antikorupsi. "Selama ini gerakan kita parsial dan elitis, tidak menyentuh akar rumput, dan cenderung mengabaikan pencegahan edukatif sejak dini di institusi pendidikan. Meski sudah ada kurikulum antikorupsi, namun masih mayoritas berupa sisipan dalam mata pelajaran dan mata kuliah, belum berdiri sendiri dan menjadi kurikulum inti. Ke depan, kita juga perlu memasifkan kampanye dan edukasi antikorupsi melalui media digital dan sosial," ujar Isa.
Dalam paparan berdasarkan studi Transparency International Indonesia mengenai penilaian kinerja KPK dalam Anti-Corruption Agency (ACA) Assessment 2023, sejumlah temuan mengonfirmasi melemahnya KPK pasca revisi UU KPK. Hasil studi menunjukkan bahwa mayoritas dari 50 indikator yang terbagi dalam enam dimensi pengukuran mengalami penurunan signifikan dibandingkan dengan kinerja KPK sebelum revisi UU.
Peneliti TI-Indonesia, Sahel Muzzammil, mengungkapkan bahwa penurunan terbesar terjadi pada dimensi Independensi (55%), Penindakan (22%), dan Kerja Sama Antar Lembaga (25%). Tiga dimensi lainnya yaitu Sumber Daya Manusia dan Anggaran, Akuntabilitas dan Integritas, serta Pencegahan juga mengalami penurunan.
"Kesimpulannya, dari semua indikator, keenam-enamnya menurun dari 2019. Bisa dikatakan, KPK kembali ke titik nol, kalau tidak bisa dikatakan minus," pungkas Sahel.
Ichsan Kabullah, Ph.D., dari Pusako Unand, menilai bahwa revisi UU KPK tahun 2019 membuat kinerja KPK menurun drastis. "Perbedaan mencolok antara KPK sebelum 2019 dan setelah 2019 bagai bumi dan langit. Dari lembaga independen menjadi bergantung, dari penindakan menjadi pencegahan, dari hirarki yang simpel menjadi berbelit, dari superbody ke 'over-body', dan status pegawai dari otonom menjadi ASN. Dibutuhkan kesadaran publik terhadap KPK," ungkap Ichsan.
Annisa Azzahra, peneliti dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia), menyoroti fenomena State Capture Corruption (SCR) yang semakin marak. SCR adalah korupsi terstruktur yang "legal", yang mengakibatkan minimnya keberpihakan negara. "Salah satunya dengan cara pelemahan lembaga eksekutif, kriminalisasi masyarakat sipil, pelemahan KPK, dan intervensi lembaga kehakiman," jelas Annisa.
Koordinator Divisi Penegakan Hukum AURIGA, Roni Saputra mengajak audiens untuk menyimak angka-angka memprihatinkan terkait SCR di sektor sumber daya alam. "Kasus limbah tailing Freeport yang dialirkan ke sungai hingga laut menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, dengan lebih dari 6.000 jiwa terdampak. Ini menunjukkan betapa korupsi di negara kita tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga perekonomian," kata Roni.
Nanang Farid Syam, bekas pegawai angkatan pertama KPK dan aktivis Wadah Pegawai KPK, menegaskan bahwa masa depan pemberantasan korupsi bukan hanya di tangan KPK, melainkan di tangan kita semua, kalangan pendidikan tinggi, dan masyarakat sipil.
"Saya mengajak kita semua untuk semakin memperkuat jaringan dan gerakan antikorupsi," tutup Nanang. (*/Yh)