Pertemuan Pemikiran Paulo Freire dan Tan Malaka dalam "Pedagogy of the Oppressed"

Pertemuan Pemikiran Paulo Freire dan Tan Malaka dalam "Pedagogy of the Oppressed"

Habibur Rahman. [foto: Dok. Penulis]

Oleh: Habibur Rahman

Buku "Pedagogy of the Oppressed" karya Paulo Freire merupakan salah satu karya monumental dalam wacana pendidikan kritis yang tetap relevan hingga kini. Filsuf terkemuka abad ke-20 ini mengajukan konsep pendidikan yang tidak sekadar "banking" — di mana guru menjadi otoritas tunggal yang mentransfer pengetahuan kepada murid pasif — melainkan menekankan pentingnya dialog dan kesadaran kritis (conscientização) sebagai bagian dari proses pembebasan.

Freire menekankan bahwa pendidikan harus menjadi alat emansipasi, memberdayakan kaum tertindas untuk menyadari penindasan yang mereka alami dan bergerak melawan sistem yang menindas. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran feminis Gloria Jean Watkins (dikenal sebagai Bell Hooks) dalam "Teaching to Transgress" serta Antonio Gramsci, seorang teoretikus Marxis yang menyoroti peran pendidikan dalam menciptakan kesadaran sosial.

Freire juga mengkritik sistem pendidikan tradisional yang sering kali memperkuat hierarki kekuasaan, di mana pengetahuan hanya dikuasai oleh segelintir pihak dan disampaikan secara sepihak kepada massa. Konsep "banking education" ini mengingatkan pada pemikiran Marxis mengenai bagaimana kapitalisme memanipulasi kesadaran rakyat agar tetap pasif dan tidak kritis terhadap struktur penindasan. Sebagai solusi, Freire memperkenalkan "pendidikan dialogis" yang mengedepankan interaksi aktif antara guru dan murid dalam membangun pengetahuan serta kesadaran kritis bersama.

Dalam "Pedagogy of the Oppressed", Freire membahas tentang dehumanisasi yang dialami oleh kaum tertindas, di mana penindasan politik, ekonomi, dan sosial merampas martabat mereka. Pendidikan, bagi Freire, harus menjadi sarana untuk mengembalikan kemanusiaan melalui dialog, refleksi, dan aksi (praxis) yang memungkinkan kaum tertindas memahami realitas dan bertindak untuk mengubahnya.

Jika dilihat dari konteks Indonesia, pemikiran Paulo Freire sangat relevan dengan semangat pendidikan Tan Malaka. Sebagai seorang revolusioner, Tan Malaka dalam bukunya "Madilog" (Materialisme, Dialektika, dan Logika) juga melihat pendidikan sebagai sarana pembebasan. Ia menekankan pentingnya pendidikan yang mendorong massa untuk berpikir kritis dan memahami kondisi material mereka agar mampu melawan penindasan kolonialisme dan feodalisme. Baik Freire maupun Tan Malaka sama-sama memiliki visi bahwa pendidikan adalah alat untuk transformasi sosial yang radikal.

Tan Malaka menegaskan bahwa pendidikan harus membebaskan pikiran dari dogma dan takhayul yang membelenggu perkembangan kritis. Dalam "Madilog", ia mendorong pemikiran ilmiah dan logis sebagai landasan perjuangan kelas pekerja dan petani. Gagasan ini sangat sejalan dengan Freire, yang juga menolak model pendidikan dogmatis di mana pengetahuan disampaikan secara otoriter tanpa ruang untuk refleksi kritis dari murid.

Relevansi lain dari pemikiran Freire dengan Tan Malaka terletak pada konsep kesadaran kritis. Freire berpendapat bahwa hanya dengan mengembangkan kesadaran kritis, kaum tertindas dapat memahami akar penindasan mereka dan bergerak untuk mengubahnya. Tan Malaka, dengan semangat yang sama, meyakini bahwa massa rakyat harus memiliki kesadaran revolusioner agar dapat memahami kontradiksi sosial yang mereka hadapi. Bagi Tan Malaka, pendidikan bukan sekadar sarana peningkatan kemampuan individu, melainkan bagian integral dari perjuangan kolektif melawan struktur sosial yang menindas.

Keduanya juga menolak pendekatan paternalistik dalam pendidikan. Freire mengkritik model pendidikan di mana guru berperan sebagai otoritas tunggal, sementara Tan Malaka mengkritik cara pemerintah kolonial Belanda menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kontrol atas rakyat Indonesia. Mereka sepakat bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses pembebasan, di mana semua pihak yang terlibat saling belajar dan membangun kesadaran bersama.

Secara keseluruhan, "Pedagogy of the Oppressed" memiliki relevansi mendalam dengan semangat pendidikan Tan Malaka. Keduanya memperjuangkan pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan hanya untuk mengatasi kebodohan, tetapi juga untuk melawan sistem penindasan. Pendidikan, dalam pandangan ini, adalah tentang pemberdayaan, kesadaran kritis, dan transformasi sosial. Dengan demikian, baik Freire maupun Tan Malaka memberikan landasan yang kuat bagi pendidikan revolusioner yang berfungsi untuk melawan ketidakadilan dan mewujudkan masyarakat yang lebih adil.

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.

Tag:

Baca Juga

Pemko Payakumbuh terima kunjungan kuliah lapangan praja muda angkatan XXXIV IPDN Kampus Sumatra Barat Prodi Teknologi
Pemko Payakumbuh Terima Kunjungan Kuliah Lapangan 55 Praja Muda Angkatan XXXIV IPDN
Penjabat (Pj) Wali Kota Padang, Andree Algamar melakukan peletakan batu pertama bedah rumah keluarga miskin di Kelurahan Koto Lalang,
Sediakan Hunian yang Layak, 12 Unit Rumah Dibedah PT Semen Padang Tahun Ini
Sekda Dharmasraya, Adlisman membuka Rapat Koordinasi Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), dengan Tema "Transportasi Yang
Sekda Dharmasraya Buka Rakor Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat kembali menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan potensi akademik dan jejaring internasional.
UM Sumatera Barat Kirimkan 8 Mahasiswa Pertanian Ikuti Inbound Mobility Program di UiTM Malaysia
Fadly Amran menarik perhatian ribuan warga dalam kampanye yang digelar di Kecamatan Lubuk Begalung dan Lubuk Kilangan, Kota Padang
Fadly Amran Kampanye di Lima Titik Dalam Sehari: Janjikan BPJS dan Seragam Gratis
Seorang pria bernama Riki Rahma Doni alias Fatur (31) ditangkap oleh Polresta Padang pada Senin (14/10/2024) sekitar pukul 12.00 WIB.
Polisi Tangkap Pelaku Pencurian di Gudang Fuji Film Padang, Kerugian Capai Rp30 Juta