PalantaLanggam - Memahami persoalan agraria di dunia, tidak bisa dilepaskan dalam analisis transformasi global khususnya dinamika struktur dan sistem kapitalisme.
Meletakkan kapitalisme global sebagai titik berangkat dalam analisis agraria akan membawa pada pemahaman relasi sosial, relasi kuasa, dan relasi produksi.
Hal ini disampaikan oleh Pendiri dan Peneliti Senior Agrarian Resources Center/ARC Bandung, Dianto Bachriadi, dalam Sekolah Keadilan Agraria dan Lingkungan II (SKALA II) yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Keadilan Agraria dan Lingkungan (SANGKAKALA) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas (UNAND) Padang, Kamis (30/1).
Dengan materi tentang perubahan dalam dinamika agraria global dan krisis kapitalisme mutakhir, Dianto yang akrab dipanggil Gepenk menyebutkan, persoalan agraria muncul seiring dengan kelahiran kapitalisme, yang harus menjadi pertanyaan mendasar adalah keterkaitan tentang struktur penguasaan kapital atau modal dalam agraria ( agrarian questions of capital ).
"Pertanyaan selanjutnya adalah keterkaitan tentang pembagian kerja dan ketenagakerjaan dalam agraria ( agrarian questions of labours ). Dari dua pertanyaan mendasar terkait agraria tersebut, maka akan berlanjut dengan pertanyaan tentang perlu dan penting atau tidaknya mengorganisir gerakan agraria khususnya pengorganisiran petani, yang harus dibedakan dengan buruh (terutama buruh tani)," jelasnya.
Kapitalisme global dalam konteks keagrariaan khususnya, menurutnya, mengalami dinamika pasang naik dan pasang surut, yang secara ilmiah biasanya disebut sebagai krisis kapitalisme.
Persoalannya kemudian, sambungnya, adalah krisis kapitalisme seringkali tidak semata-mata alamiah namun ilmiah dalam artian krisis tersebut diciptakan. Penciptaan krisis kapitalisme dilakukan untuk keperluan akumulasi kapital, dalam kepentingannya mengatasi masalah mulai dari berlebihnya produksi ( over production ) dan berlebihnya kapital/modal yang terakumulasi ( over accumulation ).
Dikatakannya, kebutuhan untuk mengorganisir petani dan buruh (termasuk buruh tani) adalah untuk mengakhiri struktur dan sistem kapitalisme yang selalu melahirkan ketimpangan sosial, dan terutama ketimpangan ekonomi.
"Ketimpangan-ketimpangan tersebut dapat dipahami muncul karena terciptanya perbedaan kelas sosial yang disebut kelas borjuis dan kelas proletar. Sehingga inti dari perjuangan untuk perubahan sosial dalam mewujudkan keadilan agraria (dan lingkungan) adalah mengubah relasi kuasa dalam produksi agraria," terangnya.
SKALA II SANGKAKALA diikuti oleh 30 orang peserta dari berbagai latar belakang: petani, mahasiswa, aktivis NGO/LSM, jurnalis, dan akademisi/dosen. Sebelum mengikuti SKALA II, para peserta diseleksi oleh SANGKAKALA agar penyelenggaraannya lebih efektif. Sebab peminat SKALA II sejak dibuka pendaftarannya pasca SKALA sebelumnya, terus mengalami peningkatan mencapai 60-an orang.
Sehingga, jelas Direktur Sangkakala Virtuous Setyaka, mereka yang akhirnya belum bisa mengikuti SKALA II, diarahkan untuk mengikuti SKALA III dan seterusnya.
SKALA II, katanya, diselenggarakan dalam dua hari ini (Kamis-Jumat, 30-31/01/2020). "Materi hari ini diakhiri dengan analisis masa depan gerakan sosial di Indonesia. Akan dilanjutkan dengan materi-materi lainnya esok hari oleh Hilma Safitri dan Frans Ari Prasetyo (yang keduanya juga dari ARC Bandung)," papar Virtuous.