Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW (Sebuah Refleksi Kritis atas Leadership dan Solidaritas Kemanusiaan)

Peringatan Maulid Nabi merupakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan.

Rahmad Tri Hadi.

Oleh: Rahmad Tri Hadi

Peringatan Maulid Nabi merupakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah di Kota Mekkah.

Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW (Masruri, 2018: 282).

Baginda Nabi Muhammad SAW merupakan rahmat bagi sekalian alam. Bahkan dalam bukunya Michael H Hart yang merupakan seorang astrophysicist yang berjudul The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) yang menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai peringkat pertama dalam 100 tokoh yang berpengaruh dalam sejarah, yang bahkan mendahului Isac Newton dan Nabi Isa As atau Yesus Kristus dalam teologi Kristen (Hart: 1989).

Kita mengenal kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai kepemimpinan profetik. Di mana kepemimpinan profetik merupakan kepemimpinan yang melandaskan kepribadian dari Rasulullah SAW dalam menjalankan kepemimpinannya.

Pada momentum maulid Nabi Muhammad SAW kali ini penting bagi kita selaku umatnya untuk merefleksikan, merenungi bagaimana tipikal kepemimpinan baginda Nabi Muhammad SAW dengan memproyeksikan dengan keadaan di zaman sekarang.

Jika kita berkaca kepada kepemimpinan Genghis Khan dengan Nabi Muhammad SAW ada satu kontradiktif yang jelas sekali. Yakni pada saat pasca berakhirnya kekuasaan Genghis Khan sebagai penguasa besar Mongolia mengalami kemerosotan.

Sedangkan di masa Nabi Muhammad SAW justru sebaliknya. Kendati Nabi Muhammad SAW sudah wafat, namun ajarannya, dan penyebaran dakwah Islam tetap eksis dan berkembang hingga saat ini.

Sebab, Genghis Khan menjadikan dirinya sebatas penguasa, bukan pemimpin. Sebab, ia tidak menimbulkan inspirasi orang untuk mempertahankan ajarannya. Sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin dengan pengertian beliau mewariskan ajarannya.

Ada empat hal prasyarat kepemimpinan (leadership) Nabi Muhammad SAW yang relevan dengan kondisi saat ini. Pertama adalah kejujuran (siddiq). Nabi Muhammad SAW selalu menekankan pentingnya kejujuran, termasuk mengakui kesalahan. Jujur merupakan pondasi dalam segala hal.

Justru ketika jujur, merupakan tanda kedewasaan, tanda mempunyai ketajaman dan kedalaman moral, apalagi menjadi seorang pemimpin. Karena ketika kejujuran diperjualbelikan; kata dan perbuatan berbeda, maka saat itu nilai kepemimpinan secara moral sudah hilang.

Kalau kita proyeksikan sama halnya dengan transparansi dan integritas kepemimpinan, artinya tidak ada yang ditutup-tutupi, dan tidak ada underline transaction demi kepentingan pribadi maupun suatu kelompok (moral hasrat). Jika tidak adanya integritas seorang pemimpin, maka akan melahirkan pragmatisme kepemimpinan. Dengan kata lain, tidak akan menghasilkan leadership, tapi dealershit.

Kedua, amanah (bertanggung jawab). Ia bertanggung jawab, karena amanah itu artinya titipan. Nabi Muhammad SAW hingga akhir hayatnya senantiasa bertanggung jawab atas kepemimpinannya, baik fungsinya sebagai pemimpin spiritual, maupun sosial. Dalam menjalankan fungsi tanggung jawabnya, perlu diimbangi dengan perasaan equality (persamaan; kesetaraan; solidaritas) yang menjadi dasar paling utama.

Perasaan equality ini dengan memperlakukan semua sama, khususnya kepada rakyat kecil menjadi ciri utama dalam kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurrassyidin. Tidak ada yang dibeda-bedakan, baik secara gender, ras, suku, agama, maupun hukum. Hal ini juga sejalan sebagaimana yang tertuang dalam sila Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Ketiga, tabligh artinya visioner, yakni ia memiliki arah, tujuan dan visi yang jelas tentang apa yang mau dibangun dari umatnya demi kemaslahatan dan keselamatan umat. Nabi Muhammad SAW. sebagai visioner ditandai dengan adanya: 1) visi kebesaran/keagungan, 2) misi agung di muka bumi, 3) tujuan, sasaran dan target dalam mencapai risalah Isalam, 4) rencana tindakan yang telah dibuat dengan matang, dan 5) ajaran untuk membagi kekalifahan (Noer, 2011: 19).

Hal ini dapat kita cermati bagaimana Nabi Muhammad SAW menghalangi oligarki Mekkah pada saat itu untuk sekedar memperkaya diri, dan Nabi Muhammad SAW menerangkan apa yang namanya solidaritas sosial dan kemanusiaan.

Di samping itu, pendekatan emosional kerakyatan. Sebagaimana kita ketahui, Nabi Muhammad SAW bukanlah seorang yang elitis atau raja yang hanya duduk di kursi tahtanya dan jauh dari rakyatnya, bahkan bergaul hanya sebatas formalitas semata.

Nabi Muhammad SAW justru seorang yang memimpin dengan penuh cinta dan kasih, dengan surplus akhlak dan moral yang senantiasa turun langsung ke lapangan. Beliau berkumpul dengan masyarakatnya, bahkan pada suatu cerita Nabi pernah membantu seorang Arab Badui memikul barang-barangnya, yang padahal ia tidak mengenal sosok Nabi itu sendiri (al-Mubarakfury, 2006).

Nabi juga ikut berkumpul, dan bermusyawarah dengan para sahabat-sahabatnya dalam situasi apapun, baik dalam suka maupun duka, sehingga tahu bagaimana persoalan di lapangan langsung. Yang bahkan detik-detik sebelum Nabi Muhammad SAW menghela nafas terakhirnya masih menyebut dan mengingat umatnya. Kedekatan inilah yang membangun bounding dan legitimasi kepemimpinan yang dicintai, dan dirindukan, dan bukan hanya karena posisinya saja.

Keempat, fathanah artinya memiliki kecerdasan. Allah memberi kecerdasan, kecerdikan, dan kepandaian kepada Nabi Muhammad SAW, baik kecerdasan intelektual, adversity, spiritual, emosional, maupun transendental, sehingga mampu menyampaikan ajaran agama Islam dengan baik. Ada banyak peristiwa yang menunjukkan sifat fathanah Nabi Muhammad SAW, melalui ilham.

Jika dipahami dalam konteks kecerdasan, maka dapat dipahami ilham datang dari persenyawaan antara kemampuan berpikir dan kemampuan untuk menghasilkan harapan. Salah satu contohnya adalah Piagam Madinah. Itu adalah hasil pikiran yang cerdas dan bijaksana yang diolah untuk kepentingan kemampuan diplomatik di dalam rangka Nabi SAW. memperhatikan pluralitas masyarakat pada waktu itu (Haif, 2014).

Fathanah dapat diartikan sebagai kemampuan intelektual, cerdik, kreatif, percaya diri, dan bijaksana. Oleh karena itu. seorang pemimpin yang cerdas di samping dimaknai sebagai seorang yang memahami, mengerti, dan menghayati segala kewajiban dan tugasnya secara cerdas dan bijaksana, ia juga diuji dalam berbagai hal supaya ia mempergunakan secara maksimal potensi kecerdasan dan kebijaksanaannya dengan baik.

Kendati kalau kita menggunakan parameter kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dengan kondisi saat ini yang mungkin tidak compatible, tetap dasarnya sama yakni adanya ethical imperative untuk menghalangi orang berkuasa sepenuh-penuhnya tanpa adanya legitimasi dari rakyatnya. Maka dari itu penting bagi kita bersama-sama membangun pagar etis bagi kepemimpinan, supaya menghasilkan leader dan bukan dealer.

Dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, kita jadikan momentum refleksi leadership dan solidaritas kemanusiaan. Yakni dengan memproyeksikan kepemimpinan profetik ini, dengan harapan menjadi sebuah kebaikan, kemaslahatan, dan rahmat bagi sekalian alam.

* Penulis dan Mahasiswa S3 Filsafat Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi serta dosen pemikiran Islam di UIN Imam Bonjol Padang.

Baca Juga

Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar
Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar
Peran Strategis Wanita Tani dalam Kewirausahaan Pertanian dan Pembangunan Ekonomi Lokal
Peran Strategis Wanita Tani dalam Kewirausahaan Pertanian dan Pembangunan Ekonomi Lokal
Studi Kelayakan Bisnis: Kunci UMKM Pangan Menjadi Unggul di Pasar Kompetitif
Studi Kelayakan Bisnis: Kunci UMKM Pangan Menjadi Unggul di Pasar Kompetitif
Melestarikan Warisan: Pangan Tradisional Sebagai Sorotan di Perjamuan Penting
Melestarikan Warisan: Pangan Tradisional Sebagai Sorotan di Perjamuan Penting
Membangkitkan Ekonomi Kamang Lewat Kerupuk Ubi Udang Rebon: Strategi Optimalisasi Sumber Daya Lokal
Membangkitkan Ekonomi Kamang Lewat Kerupuk Ubi Udang Rebon: Strategi Optimalisasi Sumber Daya Lokal
Ekonomi Indonesia di Persimpangan Jalan: “Melihat Pemikiran Joseph E. Stiglitz dalam Konteks Ketimpangan, Globalisasi, dan Kapitalisme Progresif”
Ekonomi Indonesia di Persimpangan Jalan: “Melihat Pemikiran Joseph E. Stiglitz dalam Konteks Ketimpangan, Globalisasi, dan Kapitalisme Progresif”