Perempuan Minangkabau di Masa Sekarang

PalantaLanggam - Mungkin sebagian orang banyak yang tidak mengetahui tentang adanya Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 maret. Perayaan tahun 2020 menyerukan peningkatan pembelaan terhadap hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.

Hari permpuan pertama kali digelar sebagai perayaan nasional di New York pada 28 Februari 1909. Dengan adanya hari besar tersebut menjadi bukti bahwa perempuan-perempuan bukanlah kaum yang lemah, perempuan adalah kaum yang memiliki keistimewaan sendiri yang harus dijaga.

Perempuan selalu menjadi topik yang tidak kunjung usai dibahas, diteliti dan diperbincangkan, tak terkecuali perempuan Minangkabau. Perempuan dalam susunan masyarakat adat Minangkabau memiliki peranan yang khas. Sistem kekerabatannya adalah matrilineal atau menurut garis keterunan ibu. Secara umum, sistem matrilineal juga memberikan legalitas kepada perempuan untuk berkuasa. Oleh sebab itu sistem adat matrilineal tidak hanya penarikan garis keturunan berdasarkan ibu, akan tetapi kekuasaan juga berada di tanggan perempuan.

Pada masyarakat Minangkabau, wanita dikelompokkan kedalam empat tingkatan berdasarkan ciri fisik, kematangan emosional, dan perannya di dalam masyarakat. Yang pertama adalah batino, seorang wanita yang baru lahir sampai dia menempuh masa kanak-kanak sampai sebelum akil balig.

Urutan yang kedua adalah gadih, yaitu wanita dari masa akil balig sampai masa sebelum menikah. Wanita pada urutan ketiga adalah padusi, yaitu wanita yang sudah bersuami.

Dan yang terakhir adalah parampuan, yaitu wanita yang sudah memiliki usia lanjut yang dimulai ketika dia sudah menjadi nenek dalam sebuah keluarga.

Sedangkan berdasarkan status sosialnya, sebagai seorang ibu, maka wanita disebut juga dengan mande, ande atau mandeh. Sedangkan yang dituakan diantara mereka dan ditunjuk dengan mekanisme adat, disebut juga dengan Bundo Kanduang.

Adat minangkabau telah mengatur sedemikian rupa peran perempuan dalam kemasyarakatnya. Anak gadis Minang dalam perspektif adat, pada suatu ketika akan menjadi Bundo Kanduang.

Secara harfiah dua kata itu berarti “ibu kanduang”. Bundo Kanduang adalah perkumpulan perempuan-perempuan yang paling tua pada suatu kaum.

Ia adalah sosok yang menunjukan posisi mulia perempuan Minangkabau dalam tatanan adat masyarakatnya. Fungsi dari Bundo Kanduang ini adalah sebagai penerima waris dari pusako tinggi, menjaga keberlangsungan keturunan, dan sebagai perlambang moralitas dari masyarakat Minangkabau.

Perempuan tidak hanya berfungsi sebagai penerus keturunan, tetapi juga terlibat dalam musyawarah di keluarga, kampung, daerah, dan negerinya.

Hal ini sangat sejalan dengan pernyataan bahwa perempuan Minangkabau merupakan limpapeh rumah gadang atau tiang utama dan juga sebagai kunci harta pusaka keluarga. Jika ditafsirkan perempuan Minang adalah seorang ibu.

Dialah maha guru sang anak sejak dari rahim, maka ia wajib menjadi contoh baik dari segi iman yang didapat dari agama dan Tuhannya. Sejalan dengan falsafah Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.

Berdasarkan falsafah itu juga, maka bagi orang Minangkabau, menghormati perempuan sama halnya dengan menjalankan perintah agama Islam.

Dalam Islam perempuan sangat dihormati, perempuan adalah ibu yang melahirkan kita, generasi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.

Berdasarkan pernyataan tersebut jelaslah bahwasanya peranan perempuan di Minangkabau sangat penting bagi keturunannya. Hal ini dari zaman nenek moyang sudah diajarkan kepada perempuan Minang melalui adat istiadat sehari-hari yang sesuai dengan isi alquran dan Hadist.

Pada dasarnya seorang perempuan yang buruk hatinya serta perangainya akan melahirkan seorang anak yang akan mudah menjadi buruk pula. Namun sebaliknya perempuan yang berwatak baik akan melahirkan keturunan yang baik pula.

Apa yang terjadi di Indonesia hari ini khususnya Minangkabau sangat memprihatikan, para perempuan Minang tidak lagi mengetahui harkat dan martabatnya sebagai perempuan minangkabau, mereka terlena dan terpengaruhi oleh kecangihan dunia sekarang dan lebih suka melihat gaya-gaya orang barat yang pakaiannya cenderung menampakan aurat, menurut mereka pakaian seperti itu cantik dan modern. Hal itu membuat perempuan Minang sudah sepenuhnya lepas dan berjarak dari adat kebudayaanya. Pribadi perempuan Minang tempo dulu yang selalu mencitrakan tentang keanggunan, kewibawaan, simbol moralitas, beradat, bermatabat tidak lagi ada pada diri perempuan masa sekarang.

Sebagai generasi milenial, anak gadih Minang saat ini lebih cepat mengetahui, menerima dan mencontoh nilai-nilai baru, tren-tern baru terkait dengan gaya hidup, makanan, tokoh idola dan lain sebagainya. Mereka sangat mudah menemukan semua itu melalui gadget canggih yang ditangannya.

Melalui aplikasi sosial media seperti, Facebook, WhatsApp, Instagram, Twiteer, Line dan lain sebagainya. Hubungan melalui media sosial itu terjadi antara individu dengan individu yang dikenal dengan istilah chatingan dan bicara langsung yang di kenal dengan video call.

Mudahnya akses informasi secara global telah memberikan andil besar dalam perubahaan wanita atau gadih Minang saat ini. Mereka lebih mahir menggunakan jari-jarinya dalam mengusap smartphone daripada mempelajari kebudayaannya dan peranan dirinya yang sebenarnya dalam masyarakat Minangkabau.

Di Minangkabau dikenal dengan istilah “Tungku Tigo Sajarangan, tali tigo sapilin”. Ini merupakan istilah untuk tiga orang unsur pemimpin yang sangat menentukan sistem nilai dan norma yang mengatur segala aktivitas sosial dalam masyarakat.

Tiga unsur itu adalah Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Masing-masing mempunyai fungsi sosial berdasarkan status sosial mereka di tengah masyarakat. Niniak Mamak, adalah laki-laki yang dituakan secara adat.

Cadiak Pandai adalah laki-laki yang dianggap memiliki ilmu dan wawasan yang sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan.

Dan Alim Ulama adalah laki-laki yang dituakan dan memiliki kemampuan yang cukup dalam hal keagamaan. Akan tetapi, realitas yang ada sekarang menunjukan sistem nilai itu sudah bergeser, jangankan menghukum perbuatan yang salah, untuk menegur perbuatan yang salah saja seolah berat untuk melakukannya.

Hal itu terjadi mungkin karena berbagai macam alasan. Bisa jadi karena merasa bukan dia yang pantas menegur, karena status sosial yang rendah, dan mungkin karena kekurangan ilmu dalam hal tersebut.

Perubahan sosial telah membuat peran Ayah, ibu dan Niniak Mamak secara adat semakin melemah. Jika dibiarkan, maka badai globalisasi yang membawa nilai yang berbeda dan tidak cocok dengan budaya Minangkabau akan mengikis seluruh sistem sosial yang ada.

Alangkah banyaknya nanti generasi-generasi muda yang kehilangan jati diri dan menjadi wanita yang tidak sopan atau disebut juga dengan gadih nan indak bataratik.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menghindari hal tersebut adalah dengan dilakukannya kembali pembelajaran sedari dini, seperti yang dilakukan orang-orang tempo dulu kepada anak-anaknya tentang kebudayaan minangkabau dan peranan perempuan di dalamnya.

Tentu saja dalam hal tersebut diperlukan orang yang mengerti dan paham akan kebudayaan Minangkabau, maka dari itu dari sekarang perlu adanya sekolah-sekolah yang memberi pelajaran tentang kebudayaan Minangkabau tersebut.

Dan hal lainnya adalah dengan menunjuk Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, dengan orang-orang yang mempunyai pendidikan tinggi dan yang pasti juga tegas dan mempunyai pengetahuan banyak tentang kebudayaan Minangkabau.

 

Baca Juga

Plt Gubernur Sumbar Minta Perkumpulan Bundo Kanduang Maksimalkan Potensi Sokong Pelestarian Adat dan Budaya
Plt Gubernur Sumbar Minta Perkumpulan Bundo Kanduang Maksimalkan Potensi Sokong Pelestarian Adat dan Budaya
Bundo Kanduang Malaysia, Australia dan Turki Resmi Dikukuhkan
Bundo Kanduang Malaysia, Australia dan Turki Resmi Dikukuhkan
Bundo Kanduang Luar Negeri (BKLN) Terbentuk, Kepengurusan Pertama Dikukuhkan
Bundo Kanduang Luar Negeri (BKLN) Terbentuk, Kepengurusan Dikukuhkan
Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Lima perempuan Minang yang pernah jadi ibu negara, dari Indonesia hingga Malaysia.
Ini 5 Perempuan Minang yang Pernah Jadi Ibu Negara, dari Indonesia hingga Malaysia
Ratna Sari, "Singa Podium" Kongres Perempuan 1935
Ratna Sari, "Singa Podium" Kongres Perempuan 1935
lisda
Cerita Kombes Lisda Cancer: dari Dokter Gigi Menjadi Srikandi Polri