Perempuan Minang Diduga Diperkosa dan Dibunuh, Mana Suara Para Pemimpin?

Perempuan Minang Diduga Diperkosa dan Dibunuh, Mana Suara Para Pemimpin?

Ilustrasi pembunuhan. (Ilustrasi: Niek Verlaan/pixabay.com)

Kita kembali tersentak. Belum hilang rasa sakit melihat kasus pencabulan di sebuah madrasah di Canduang, kini kita dikejutkan dengan kabar yang lebih mengerikan dari Kayutanam. Nia, seorang perempuan sederhana, pejuang ekonomi keluarga, harus meregang nyawa dengan cara yang kejam. Pemberitaan media massa menyebutkan, ia diduga diperkosa dan dibunuh tanpa ampun. Nia bukanlah sosok yang sering kita dengar sebagai "penyebab" dari tindakan tak senonoh ini. Ia hanya seorang pedagang gorengan yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya.

Namun, apakah keadilan akan segera datang untuk Nia? Atau kisah tragis ini akan menjadi bagian dari catatan panjang kejahatan seksual yang tak pernah selesai di Sumatera Barat? Kita berharap para pelaku segera ditangkap dan diadili seberat-beratnya. Dan ada perbaikan sistematis, agar kejadian seperti ini tak terulang lagi di masa depan. Mengapa? Karena di tanah Minangkabau, yang sering dibangga-banggakan sebagai pusat moral dan adat yang kuat, kita malah dihadapkan pada keheningan yang memekakkan telinga dari para pemimpin dan tokoh adat.

Keprihatinan saya semakin mendalam ketika menyadari bahwa para tokoh adat, pemimpin daerah, hingga calon-calon yang hendak berlaga di pilkada, tidak ada yang secara tegas bersuara. Apakah kasus kejahatan seperti ini dianggap remeh? Apakah nyawa dan kehormatan perempuan Minang tak lagi berharga di mata mereka? Belum ada satu pun pernyataan tegas yang mengutuk peristiwa ini. Di mana para tokoh yang selama ini mengklaim diri sebagai penjaga adat dan pelindung masyarakat? Di mana suara mereka ketika moral dan kemanusiaan dipertaruhkan?

Di Jakarta, di seberang sana, para perantau Minang yang sukses dan dikenal luas tetap asyik dalam diskusi-diskusi yang penuh nostalgia. Mereka sibuk mengangkat tema "mambangkin batang tarandam," sibuk berbicara tentang kebesaran masa lalu Minangkabau, tentang nilai-nilai luhur adat yang konon siap menghadapi tantangan nasional dan global. Diskusi mereka lengkap dengan acara dendang, tawa, bahkan tarian seolah tidak ada masalah di tanah kelahiran mereka. Ironisnya, di saat yang sama, tanah Minang yang mereka puja-puja ini sedang berlumuran darah. Seorang perempuan diperkosa dan dibunuh secara brutal, tapi mereka tetap asyik mengenang masa lalu.

Mengapa kita takut membahas isu-isu seperti ini? Mengapa kita takut membuka aib kampung sendiri? Bukankah kita selalu mengagungkan pepatah "tibo di mato indak dipicingkan, tibo di paruik indak dikampihkan"? Mengapa kita diam saja ketika sesuatu yang jelas-jelas salah terjadi di depan mata kita? Di mana keberanian kita untuk berbicara lantang, untuk membela mereka yang menjadi korban? Atau mungkin kita terlalu sibuk menjaga citra kampung, terlalu khawatir dianggap memperburuk reputasi daerah di mata luar?

Kita mungkin sudah terlalu lama terbuai dengan kebesaran masa lalu. Kita terlalu sibuk memuji-muji adat dan budaya kita, hingga lupa melihat kenyataan pahit yang ada di depan mata. Mungkin sudah waktunya kita, orang Minang, berhenti sejenak memuji kehebatan masa lalu. Mungkin sudah waktunya kita menyimpan sementara pepatah-petitih yang sering kali hanya menjadi topeng bagi kebanggaan semu. Mari kita tanya pada diri kita sendiri: Apakah kita sudah benar-benar menjaga nilai-nilai yang kita banggakan itu? Apakah kita sudah berani mengakui bahwa kampung kita sedang menghadapi masalah besar, dan bukan sekadar masalah kecil yang bisa diabaikan?

Apakah kita berani mengakui kelemahan dan kesalahan kita tanpa terus-menerus mencari pembenaran bahwa orang lain juga menghadapi masalah yang sama? Kejahatan seksual, pembunuhan, dan pelanggaran terhadap kemanusiaan seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, apalagi hanya demi menjaga citra dan harga diri. Sebagai masyarakat yang bangga dengan adat dan budaya, seharusnya kita menjadi yang paling pertama dan paling keras menentang kebiadaban semacam ini. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kita masih terlalu takut untuk membuka mata, masih terlalu takut untuk mengakui bahwa ada sesuatu yang salah.

Di saat seperti ini, kita hanya bisa memohon kepada Tuhan agar Nia mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada Nia, menerima segala amal baiknya, dan memberikan kedamaian yang abadi. Untuk keluarga yang ditinggalkan, kita berdoa semoga mereka diberikan ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan yang begitu berat ini. Tak ada kata yang bisa menghapus luka, tapi semoga mereka dikuatkan untuk terus bertahan.

Kebungkaman ini justru akan memperparah keadaan. Jika kita terus bersembunyi di balik pepatah dan nilai adat yang seharusnya melindungi, tapi kini malah menjadi tameng untuk diam, maka kita telah mengkhianati apa yang kita anggap sakral. Kejayaan masa lalu yang kita banggakan itu tidak akan berarti apa-apa jika kita membiarkan kejahatan seperti ini terus berlanjut tanpa ada tindakan nyata.

Semoga tragedi yang menimpa Nia menjadi cermin bagi kita semua. Bukan sekadar sebuah berita duka yang segera dilupakan, tetapi sebagai panggilan untuk berani bersuara, untuk berani mengutuk kejahatan ini secara terbuka, dan untuk berani melawan kebungkaman yang selama ini kita pelihara. Kita tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik kebanggaan akan adat dan budaya, sementara di masa kini, kehormatan dan martabat perempuan Minangkabau dihancurkan begitu saja. (*)

Yoss Fitrayadi, pemerhati budaya,

Baca Juga

Usai berhasil menangkap IS (28), tersangka utama dalam kasus pembunuhan Nia Kurnia Sari (18), polisi kini mendalami kemungkinan keterlibatan
Polisi Dalami Kemungkinan Tersangka Lain dalam Kasus Pembunuhan Nia Kurnia Sari
IS (28), tersangka utama dalam kasus pembunuhan Nia Kurnia Sari (18), akhirnya ditangkap setelah sempat bersembunyi di loteng rumah kosong
Kronologi Pelarian Tersangka Pembunuhan Gadis Penjual Gorengan, Berakhir di Loteng Rumah Kosong
Polres Padang Pariaman terus mendalami kasus pembunuhan tragis Nia Kurnia Sari (18), seorang gadis penjual gorengan yang ditemukan
Kapolres Padang Pariaman: Tersangka IS Akui Perkosa Korban
Epyardi-Ekos dan Ribuan Warga Padang Pariaman Doa Bersama untuk Nia Gadis Penjual Gorengan
Epyardi-Ekos dan Ribuan Warga Padang Pariaman Doa Bersama untuk Nia Gadis Penjual Gorengan
Kepolisian Resor Padang Pariaman berhasil menangkap IS (28), tersangka kasus pembunuhan Nia Kurnia Sari (18), seorang gadis penjual gorengan,
Tersangka Pembunuhan Gadis Penjual Gorengan Sembunyi di Loteng Rumah saat Penangkapan
Minim Perhatian Pemerintah, Epyardi Asda Bantu Bedah Rumah Orangtua Nia
Minim Perhatian Pemerintah, Epyardi Asda Bantu Bedah Rumah Orangtua Nia