Perang Dagang Sebagai Premanisme Global

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.

Prof Dr Syafruddin Karimi SE MA (Foto: ist)

Di balik jargon kedaulatan ekonomi dan perlindungan industri dalam negeri, perang dagang sesungguhnya adalah bentuk baru dari premanisme global. Ketika Amerika Serikat memaksakan tarif tinggi kepada mitra dagangnya, termasuk negara-negara berkembang, sesungguhnya yang sedang berlangsung adalah pamer kekuatan yang merusak tatanan perdagangan dunia. Negara besar tidak lagi menyembunyikan niatnya untuk menggunakan kebijakan ekonomi sebagai alat koersif, bukan instrumen keadilan.

Kesepakatan tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok di Jenewa pada Mei 2025 sekilas tampak menjanjikan. Kedua negara sepakat menurunkan tarif—dari 145 persen ke 30 persen untuk barang-barang China yang masuk ke AS, dan dari 125 persen ke 10 persen untuk barang AS yang masuk ke China (Jackson, 2025). Namun kenyataannya, gencatan ini hanya bersifat sementara dan selektif. Tarif sebelumnya tetap diberlakukan, dan pengecualian penting seperti pajak atas kendaraan listrik serta penghapusan fasilitas de minimis tetap dipertahankan. Kesepakatan ini lebih menyerupai negosiasi antar preman yang saling berbagi wilayah kekuasaan, bukan pemulihan tatanan ekonomi global yang adil.

Premanisme ini memiliki implikasi nyata terhadap negara-negara kecil dan berkembang. Indonesia adalah salah satunya. Ketika tarif AS diberlakukan secara resiprokal, ekspor Indonesia ke Amerika langsung tertekan. Retaliasi Tiongkok menambah beban. Akibatnya, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 hanya akan berada pada kisaran 4,7 hingga 5,5 persen (ANTARA, 2025a). Sektor industri pengolahan, pertanian, dan ekspor jasa menjadi korban dari manuver dua negara besar yang menjadikan perdagangan sebagai alat politik global.

Dalam skema ini, WTO kehilangan fungsi dasarnya. Trump bahkan memutus pendanaan untuk organisasi itu, menyatakan bahwa WTO telah memberikan keuntungan tidak adil kepada Tiongkok (Reuters, 2025). Dengan tidak adanya lembaga yang berfungsi efektif sebagai penengah, dunia memasuki era di mana hukum yang berlaku adalah hukum yang dimiliki oleh negara terkuat.

Joachim Klement (2025) menunjukkan bahwa terlalu banyak energi pasar dan perhatian media tersedot oleh siklus retorika Trump: ancaman, eskalasi, gencatan, dan kembali ke ancaman. Padahal, menurutnya, masa depan pertumbuhan ekonomi global lebih ditentukan oleh hubungan dagang regional seperti antara Inggris dan Uni Eropa, yang menyangkut integrasi logistik, harga energi, dan arsitektur perdagangan lintas negara. Perspektif Klement memperlihatkan bahwa dalam dunia yang terfragmentasi, kekuatan regional bukan hanya pelengkap, tetapi pemegang kunci masa depan.

Dari sinilah multipolarisme ekonomi mendapatkan momentumnya. Dunia tidak lagi bisa bergantung pada satu kutub kekuasaan. Kerja sama seperti RCEP, ASEAN–China FTA, hingga UK–EU Trade Agreement kini menjadi arsitektur alternatif untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan perdagangan. Dalam forum-forum ini, negara-negara berkembang memiliki lebih banyak ruang untuk menegosiasikan hak dan akses secara setara.

Jeffrey Sachs (2015) telah memperingatkan bahwa globalisasi yang tidak diatur dengan prinsip keadilan akan melahirkan krisis yang terus berulang. Tarif dan sanksi sepihak hanya memperparah ketimpangan antarnegara. Negara maju menutup pasar ketika merasa terancam, sementara negara berkembang terus ditekan untuk membuka pasarnya atas nama kebebasan ekonomi. Perdagangan bebas kehilangan maknanya ketika kebijakan proteksionis dijadikan senjata diplomatik.

Di tengah kekacauan ini, Indonesia harus mengambil sikap yang tegas dan cerdas. Pemerintah tidak bisa sekadar menjadi penonton. Dalam lanskap multipolar, Indonesia memiliki kekuatan sebagai middle power untuk memimpin solidaritas regional. Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah yang tertinggi kedua di G20 setelah Tiongkok, sebuah prestasi yang mencerminkan daya tahan fundamental ekonomi nasional (ANTARA, 2025b). Kekuatan ini harus digunakan untuk membangun posisi tawar dalam perundingan bilateral maupun forum multilateral.

Langkah-langkah diplomatik harus diarahkan pada pembentukan koalisi ekonomi Global South yang menolak intimidasi ekonomi unilateral. Indonesia juga perlu mendorong reformasi arsitektur perdagangan global, termasuk WTO, agar lebih inklusif dan berpihak pada pembangunan berkelanjutan. Dalam forum APEC, suara Indonesia harus lebih lantang: perdagangan yang adil adalah hak, bukan hadiah dari negara kuat.

Perang dagang yang menjelma menjadi premanisme global tidak hanya mengganggu stabilitas harga dan rantai pasok. Ia menghancurkan kepercayaan terhadap sistem internasional. Ketika negara kuat bisa sewaktu-waktu menetapkan tarif semaunya, tidak ada yang menjamin bahwa negara kecil tidak akan menjadi korban berikutnya. Ketidakpastian ini mendorong investor untuk menahan ekspansi, mengganggu perencanaan jangka panjang, dan memperlemah pemulihan pasca-pandemi.

Dunia sedang bergerak menuju tatanan baru. Multipolarisme bukan pilihan ideologis, tetapi realitas geopolitik. Negara-negara berkembang harus bersatu, bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk memimpin. Jika perdagangan terus dijadikan alat tekanan dan tawar-menawar politik, maka hanya ada satu jalan keluar: membangun solidaritas regional dan sistem ekonomi alternatif yang menjunjung prinsip keadilan dan kesetaraan.

Perdagangan seharusnya menjadi jembatan antarnegara, bukan senjata pemaksa. Dunia yang adil adalah dunia di mana tidak ada satu negara pun yang bisa memaksakan aturannya sendiri atas nama kekuatan. Perang dagang harus dibaca sebagaimana adanya: bentuk modern dari premanisme global yang harus dihentikan bersama.

Referensi

ANTARA. (2025a, April 23). BI: Tarif resiprokal AS dapat pengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi RI.

ANTARA. (2025b, May 5). Airlangga: Pertumbuhan ekonomi RI nomor dua tertinggi di kelompok G20.

Jackson, L. (2025, May 12). FACTBOX – What have China and the United States agreed to in Geneva? Reuters.

Klement, J. (2025, May 13). Forget Trump. A UK deal with the EU is what matters. Reuters.

Reuters. (2025, May 13). Asia Pacific trade envoys to discuss multilateral cooperation in tariff era.

Sachs, J. D. (2015). The Age of Sustainable Development. Columbia University Press.

*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)

Tag:

Baca Juga

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Vasektomi untuk Miskin: Kebijakan yang Menyalahi Pancasila
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
IMF, Bank Dunia, dan Diamnya Kritik terhadap Sumber Tsunami Tarif Global
Demokrasi dan Kebisingan Politik
Demokrasi dan Kebisingan Politik
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
TikTok, Trump dan Tiongkok
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Dari Trump ke Tanah Air: Pukulan Ganda terhadap Konsumen Indonesia
Etos Kerja dan Risiko Ekonomi dalam ungkapan Minangkabau: Bajariah Mangko Kabuliah, Barugi Mangko Kabalabo
Etos Kerja dan Risiko Ekonomi dalam ungkapan Minangkabau: Bajariah Mangko Kabuliah, Barugi Mangko Kabalabo