Peran Media Sosial dalam Diskursus Human Capability di Indonesia

Peran Media Sosial dalam Diskursus Human Capability di Indonesia

Muhammad Thaufan Arifuddin, MA (Foto: Dok. pribadi)

Media sosial telah mengubah cara berkomunikasi dan berdiskusi serta memberikan peluang untuk memajukan isu-isu yang lebih sophisticated terkait human capability dan human development di Indonesia. Dalam konteks ini, media sosial dapat berfungsi sebagai trigger deliberasi dan diskusus di ruang publik (Habermas, 1964), dan proses mendorong agenda-agenda penting terkait kualitas hidup, kebebasan, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia (Sen dan Nussbaum, 1993).

Media sosial Instagram, TikTok dan digital lainnya baru saja menviralkan beberapa isu sensitif terkait jumlah gaji di Indonesia, sistem zonasi sekolah, dan pengesahan Undang-Undang Kesehatan. Semua isu ini hanyalah serpihan dari isu dan pemikiran tentang human capability yang dapat mempengaruhi opini publik mengenai pentingnya meningkatkan keadilan sosial dan kesempatan serta akses bagi semua individu untuk meraih kebebasannya yang sejati (Sen, 2000).

Walhasil, media sosial digital hari ini memungkinkan masyarakat dan elit politik di Indonesia mudah berbagi informasi viral terkait human capability. Sebab pemikiran tentang human capability masih asing di telinga masyarakat dan elit politik. Padahal, isu ini penting dipahami agar masyarakat bisa belajar perkembangan terkini hak asasi dan agar elit politik mampu berpikir jauh dan komprehensif serta memiliki cakrawala berpikir dan orientasi dalam membuat kebijakan.

Human capability adalah pemikiran yang dikembangkan oleh Amartya Sen dan Martha Nussbaum (Sen dan Nussbaum, 1993; Nussbaum, 2006;2011; Alexander, 2008; Deneulin dan Shahani, 2009). Human capability memotret pentingnya pembangunan sebuah bangsa dan suatu negara diarahkan kepada upaya membangun kemampuan dan memperluas kesempatan setiap orang untuk mengakses standar hidup yang layak, pendidikan, kesehatan, dan beberapa hak-hak manusiawi lainya.

Nussbaum (2006) menyebutkan sekitar sepuluh wujud  human capability yang seharusnya dicapai termasuk manfasilitasi kemampuan dan kebebasan setiap orang untuk berimajinasi dan berpikir. Human capability lainnya menurut Nussbaum (2006) mencakup harapan hidup lebih tinggi dan tidak mati secara prematur, kesehatan jasmani dan integritas, emosi yang sehat, akal praktis dan kebebasan beragama, afiliasi sosial, perhatian terhadap spesies lain, kemampuan bermain, dan kontrol atas lingkungan politik dan materi.

Aspek-aspek human capability ini mencerminkan pentingnya mencapai keselarasan antara kehidupan fisik, emosional, dan sosial untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama. Apakah human capability ini telah tercapai di Indonesia?

Gaji Rendah

Dalam beberapa percakapan di media sosial terutama Instagram dan Tiktok, beberapa orang asing heran dengan gaji atau pendapatan di Indonesia yang sangat rendah di sekitar Rp 4 juta per bulan. Keheranan ini sangat rasional karena gaji atau pendapatan mayoritas kelas menengah di negara maju sekitar Rp 78 juta per bulan.

Juga, kenyataan ini miris mengingat segelintir elit di dalam negeri memiliki gaji atau pendapatan yang sangat timpang dengan kelas menengah dan bawah. Misalnya akumulasi gaji atau penghasilan Gubernur BI sekitar Rp 199 juta per bulan, Komisaris Utama Pertamina sekitar Rp 170 juta per bulan, dan juga anggota DPR memiliki gaji, tunjangan dan fasilitas yang bernilai ratusan juta rupiah per bulan (sekitar Rp 355,83 juta).

Sedangkan, sekitar 40 persen penduduk miskin Indonesia hanya bisa mendapatkan Rp 48.740 rupiah per hari atau Rp 1.462.200 per bulan (Rachman, 2023).

Isu gaji yang rendah di Indonesia telah menjadi perhatian masyarakat luas, seolah hal yang normal dan tanpa perlu dipertanyakan. Ini cermin mental elit kolonial di negeri ini. Media sosial seharusnya mulai berperan penting dalam membuka ruang diskusi dan pemahaman tentang dampak pendapatan yang rendah terhadap human capability dan human development.

Para pekerja, aktivis, akademisi, dan masyarakat umum dapat saling berbagi pengalaman, informasi, dan pandangan terkait isu gaji dan penghasilan ini. Terutama mengarahkan isu ini pada pertanyaan, “bagaimana membangun sistem yang berkeadilan dan humanis di negeri ini mulai dari penghasilan agar batas standard kemanusiaan dan human capability tercapai dan tidak hanya dinikmati oleh satu persen penduduk Indonesia?”

Sistem Zonasi Sekolah

Zonasi sekolah mencerminkan masalah dalam tata kelola pendidikan di Indonesia yang tidak menyasar problem struktural. Niat awalnya untuk membuat akses pendidikan yang inklusif agar setiap siswa bersekolah di zona masing-masing. Tetapi, kebijakan zonasi ini tidak terintegrasi dengan perbaikan sistemik, mulai dari perbaikan fasilitas pendidikan, gaji dan kesejahteraan guru, biaya tambahan sekolah yang seharusnya bisa ditutupi oleh dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

Dengan kata lain, perbaikan kualitas semua sekolah seharusnya telah tercapai dan tidak lagi membedakan antara sekolah yang ada, antara sekolah negeri unggulan dan bukan unggulan, atau sekolah  negeri yang kurang inovatif versus sekolah swasta yang canggih sistem, infrastruktur dan kurikulumnya. Walhasil, karena tidak tercapainya prakondisi tersebut maka berbagai masalah muncul di lapangan, dari melobby lewat jendela hingga memanipulasi data Kartu Keluarga (KK) untuk masuk sekolah unggulan.

Media sosial selayaknya menjadi ruang demokratis bagi masyarakat untuk berbicara tentang kesulitan mereka dalam mengakses pendidikan yang berkualitas di balik berbagai kebijakan pendidikan hari ini di semua level dari TK hingga universitas.

Dampak dari biaya pendidikan yang biayanya cenderung unpredictable dan terasa lebih besar dibandingkan tingkat pendapatan mayoritas rakyat, sistem zonasi yang melahirkan mental pemburu rente dan diskriminasi, dan potret PTNBH yang selalu menyisakan kesedihan dari banyaknya mahasiswa yang kesulitan bahkan seringkali tak mampu membayar UKT.

Walhasil, tujuan utama pendidikan untuk memanusiakan manusia, wujud hak asasi manusia dan human capability makin digilas oleh kepentingan komersialisme pendidikan dan tentu mengancam masa depan negeri ini.

Pengesahan UU Kesehatan

Pengesahan Omnibus Law UU Kesehatan dilakukan dalam Rapat paripurna Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 pada hari Selasa (11/7/2023). UU Kesehatan ini ditolak oleh sejumlah organisasi profesi seperti Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) karena dianggap tidak transparan, memberi akses bagi tenaga medis dari luar dan dihapusnya mandatory spending 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.

Kesehatan masih dianggap mahal dan tertinggal di Indonesia. Tenaga kesehatan di Indonesia hanya 0,21 persen dari total penduduk Indonesia. Dokter spesialis lebih banyak di Jakarta dan fasilitas kesehatan lebih banyak di kota-kota besar. Sementara pendanaan kesehatan kita belum ideal dari total  15 persen  dari APBN menurut WHO. Di sisi lain, biaya pendidikan menjadi tenaga kesehatan sangat mahal di negeri ini.

Walhasil, problem struktural kesehatan di negeri ini belum terbidik secara sempurna untuk memastikan kesehatan itu murah dan dapat diakses sebagai hak asasi dan human capability setiap individu dan kelompok masyarakat.

Kata Eko Prasetyo (2013), orang miskin dilarang sakit. Media sosial seharusnya terdepan menyuarakan ini.

*Pengamat Media dan Demokrasi, Dosen Komunikasi Fisip Universitas Andalas

Baca Juga

Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar
Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar
Tak Hanya Internal, Klinik Mediska Padang Milik KAI Berikan Layanan Kesehatan untuk Umum
Tak Hanya Internal, Klinik Mediska Padang Milik KAI Berikan Layanan Kesehatan untuk Umum
Hingga Akhir Agustus 2024, Ditemukan 2.903 Pasien TB di Padang
Hingga Akhir Agustus 2024, Ditemukan 2.903 Pasien TB di Padang
Dinkes Sebut Belum Ada Kasus Cacar Monyet di Padang
Dinkes Sebut Belum Ada Kasus Cacar Monyet di Padang
Menggali Peran Perawat Pediatrik dalam Menunjang Kesehatan Anak
Menggali Peran Perawat Pediatrik dalam Menunjang Kesehatan Anak
Mengungkap Faktor Risiko Utama Wasir dan Strategi Pencegahannya
Mengungkap Faktor Risiko Utama Wasir dan Strategi Pencegahannya