Penyakit Gila dan Sejarah Penanganannya

Penyakit Gila dan Sejarah Penanganannya

Deddy Arsya, pengajar sejarah di IAIN Bukittinggi

Inuh. 45 tahun. Jawara di masa lalu. Tapi entah kenapa kini jadi gila. Oleh tuannya, Tuanku Laras, dibuatkan sebuah rumah kecil untuk dia tinggal. Dia dikurung di situ, sebab kalau dilepaskan suka mengganggu.

Tapi, di hari itu, tengah hari pasar, dia lepas, dan mengamuk! Dengan pisau di tangan. 'Urang gilo baladiang' itu ada dalam roman Balai Pustaka karangan Tulis St. Sati, Sengsara Membawa Nikmat.

Ungkapan itu sendiri telah lama jadi petakut banyak orang. Bagaimana manusia dalam sejarah memperlakukannya? 

Dalam masyarakat tradisional, bukan sekadar terserang penyakit medik, si gila dikira terkena penyakit ghaib: kerasukan setan. Sebelum para Angku Doto' dan Angku Mantari ada, orang-orang menyerahkan penyembuhannya pada dukun.

Yang bertanggungjawab atas "sagalo karadjo si gilo itoe" adalah "sadonjo tatanggoeang ateh diri pamilinjo, korong kampoeangnjo atau nagarinjo." Oleh sebab itu, tugas kerabatnyalah untuk "mamintakkan oebe' atau mantjari doekoen," demikian ditulis dalam Soeloeeh Agam edisi April 1933.

Jika penyakit gilanya tak kunjung reda, seperti kata Pirin Asmara, si tukang rebab legendaris kita itu:  alah batigo dukun maliek, barampek jo tukang tanuang, nan panyakik manyeso juo.  Jika si gila makin menjadi, mengganas dan mencelakai, maka tindakan lain harus segera diputuskan. Kaum kerabatnya, jika tidak lagi mampu menanggungkan ulahnya, dapat bermufakat untuk "mampaboee'kan satoe kandang (toetoepan)" supaya si sakit tidak lagi pergi kian-kemari. Jika si gila berhasil keluar, kerabatnya dapat bersepakat "dikoengkoeang (dipasoeang)", sebelah kakinya atau keduabelahnya. Ada juga yang merantai si gila pada pinggangg dan ujung rantai itu diikatkan ke tunggak gadang.

Itulah yang terjadi di Minangkabau pada masa dahulu. Tidak ada narasi kapal penuh orang gila yang mengantarkan mereka ke pulau-pulau asing di tengah samudra, seperti ditulis Foucault tentang kegilaan di Eropa dalam Madness and Civilization. Bisa jadi karena yang terjangkit sangat jarang di tiap-tiap kampung jadi dapat ditangani secara individual oleh kaum belaka dengan cara-cara setempat pula. Berbeda dengan di Eropa yang jumlahnya bisa membludak terutama akibat terbentuknya kota-kota industri.

Tetapi pemerintah kolonial Belanda telah melarang praktik pasung dan rantai sejak akhir abad ke-19, atau setidak-tidaknya efektif sejak awal abad ke-20. (Di Eropa, kata Foucault, pelarangan itu telah dimulai sekira akhir abad ke-18). Praktik itu dalam hukum kolonial dianggap sebagai kejahatan merampas kemerdekaan seseorang. Pelakunya dapat diancam hukuman penjara selama-lamanya 8 tahun, kalau terdapat catat atau rusak bisa sembilan tahun, dan kalau mati menjadi 12 tahun.

Untuk itu, setiap ada yang gila di antara anak-negeri, kerabatnya harus melaporkan keadaan si gila itu kepada wakil pemerintah kolonial, "dengan memohon pertolongan secara baik". Si sakit itu akan dikirim "kapado Doto" untuk diperiksa. Kalau benar si sakit itu parah penyakitnya, maka mesti dapat penjagaan yang betul. Jika dokter berkeyakinan penyakitnya parah, dia harus diserahkan kepada Toean Koemandoe atau Toean Loehak, supaya ditumpangkan sementara dalam satu tempat (kurungan) selama kira-kira 14 hari.

Jika bertambah juga gilanya, dia ditumpangkan berobat di "roemah gilo koempeni" kelas II yang tersebar di Padang, Palembang, Lubuk Pakam, Banjarmasin, Makasar, Madura, Grogol (Betawi), Semarang, Surakarta, dan Surabaya. (Satu lagi rumah sakit gila tambahan baru akan didirikan di Bali pada 1928, boleh jadi lokasinya di Singaraja atau Denpasar, demikian dilaporkan Pandji Poestaka, 1 Juli 1927). Jika semakin parah, maka dikirim ke rumah sakit gila yang lebih besar, kelas I, yang hanya ada di Sabang, Bogor, Magelang, dan Lawang.

Praktik itu lebih manusiawi, kata dunia modern. Tapi tidakkah nilainya sama saja, merampas kemerdekaan si gila juga?

*

Inuh si gila adalah seorang yang 'tak sempurna akal', kata Tuanku Laras dalam roman Tulis St. Sati di atas.

Tapi bagaimana akal bisa jadi tak sempurna? Itu yang tidak dijelaskan roman itu. Mungkin penulisnya juga belum tahu, kenapa manusia sehat lalu menjadi sakit (gila).

Untuk itu, mungkin kita perlu menelisiknya lebih lanjut pada pandangan-padangan orang dalam sejarah. Dunia medik modern mungkin punya pandangannya sendiri, tetapi itu bukan wilayah yang akan dimasuki artikel ini.

Marsden mencatat dalam History of Sumatra, rasa takut dapat membuat orang sehat menjadi gila atau mungkin juga sebaliknya. Rasa takut juga bisa membuat orang yang sakit ingatan mendapatkan pikiran sehat kembali. Oleh sebab itu, salah satu cara pengobatan yang biasa diterapkan terhadap orang gila ialah membuatnya takut. 1). dibenam ke dalam air berulangkali sampai batas kekuatan nafasnya. Versi Marsden: 2). mengunci si malang pada sebuah pondok, membakar pondok itu sampai setinggi kupingnya, dan membiarkan dia meloloskan diri dari api dengan cara terbaik yang dapat dilakukannya. Ketakutan yang berlebihan itu pulalah yang telah menjangkiti banyak orang pada suatu masa berikut ini?

Dr. Thuenissen, Kepala Departemen Kesehatan Masyarakat (Hoofd van den Dienst der Volksgezondheid), yang melakukan perjalanan ke Sumatera Barat pada 1939, tidak saja melaporkan tentang TBC tetapi juga mengabarkan kalau di daerah itu pada saat itu tengah berkembang penyakit gila (krankzinnigen). Dalam artikelnya pada sebuah jurnal, “Tuberculose in Padang” , edisi 16 September 1939, dia mengabarkan kalau rumah sakit jiwa satu-satunya yang ada di Padang tidak mampu menampung jumlah pasien yang semakin membludak. Pemerintah kolonial, atas dasar itu, lalu berencana untuk membangun rumah sakit jiwa lain di Fort de Kock (Bukittinggi), setidak-tidaknya untuk memindahkan 30 sampai 40 pasien yang tidak lagi tertampung.

Tidak ada sumber yang lebih baik yang bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena ini. Kalau merujuk Marsden di atas, ketakutan yang berlebihlah yang bisa jadi telah menjadi penyebabnya.

Pertama, krisis melanda hampir seluruh dunia pada 1930. Masa malaise, begitu periode itu sering disebut, membuat harga bahan mentah merosot tajam di pasaran dunia. Krisis itu turut memukul jatuh ekonomi di Hindia, tidak terkecuali menampar ekonomi rakyat di Sumatra Barat yang mengandalkan komoditi pertanian seperti kopi, gambir, teh, dan tembakau. Bukan saja melemahkan hasrat produksi perkebunan dan pertanian di kawasan-kawasan pedesaan, tetapi juga melemahkan gairah dagang di kota-kotanya. Pengangguran merebak hebat dan orang miskin bertambah banyak. Kadang, masa malaise itu diplesetkan orang sebagai ‘masa meleset’. (Anehnya, orang gila kadang juga disebut dengan ungkapan 'telah meleset').

Kedua, di samping krisis ekonomi yang melanda dunia itu, diasumsikan bahwa pemberontakan Komunis yang gagal pada tahun 1927 juga berimbas pada mentalitas masyarakat di kawasan itu. Mentalitas sosial terguncang akibat tekanan pemerintah kolonial yang semakin keras dan ketat. Bacalah koran-koran masa itu, bertabur berita penangkapan-penangkapan,  baik terhadap orang-orang Komunis atau yang sekadar terindikasi Komunis, termasuk stigmatisasi sebagai ‘pemberontak’ yang dilekatkan terhadap orang-orang Minangkabau secara umum.

Ketiga, di tengah semua itu, masyarakat telah juga dilanda kebingungan, terguncang oleh perkembangan dunia baru yang telah dimulai sejak awal abad itu. Roman Aman Dt. Madjoindo, Tjerita Boedjang Bingoeng yang tidak begitu terkenal (jika dibandingkan dengan romannya yang lain seperti Si Doel Anak Betawi yang ramai dibicarakan), menggambarkan bagaimana perkembangan kapitalisme mengantarkan masyarakatnya pada kegilaan. Mereka dituntut untuk bergerak mengikuti gelombang-gadang ekonomi uang; bagaimana harus punya dan memiliki benda-benda materil dari produksi global. Gejala baru ini menciptakan ‘depresi’ tersendiri bagi masyarakat yang sebelumnya hanya menyerahkan hak milik pada sistem komunal—pada kepemilikan puak. Ramon Guillermo menyebut novel ini sebagai penggambaran yang sempurna tentang bagaimana konsep ‘uang’—kapital—masuk lebih dalam ke tengah masyarakat tradisional. Ikatan kolektif yang merenggang dalam masyarakat tradisional dan di sisi lain meningkatnya ketergantungan baru kepada negera kolonial dengan ekonomi uangnya yang individual. Ketika tempat bergantung yang baru itu guyah akibat krisis, yang bergantung padanya juga ikut linglung dan limbung.

Kini, ketakutan baru juga tengah melanda kita. Pandemi belum ada tanda-tanda mau reda. Semoga saja kita tidak jadi gila juga karenanya.


Deddy Arsya, dosen sejarah di IAIN Bukittinggi

Baca Juga

Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Tanjung Barulak Menolak Pajak
Tanjung Barulak Menolak Pajak
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas