Langgam.id - Mulai berdatangan sejak awal Mei 1949, seluruh anggota kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia akhirnya berkumpul di Nagari Silantai dan Sumpur Kudus. Dua nagari itu berada di Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung. Terletak di pelosok batas timur Sumatra Barat, lokasi ini dipilih karena lebih aman dari sergapan Belanda.
"Pertemuan akbar yang disebut Musyawarah Besar PDRI itu berlangsung dari 14 sampai 17 Mei 1949," tulis Sejarawan Universitas Negeri Padang (UNP) Mestika Zed dalam Buku 'Somewhere in The Jungle, Pemerintah Darurat Republik Indonesia' (1997). Peristiwa itu tepat dimulai 70 tahun yang lalu dari hari ini, Selasa (14/5/2019).
Saat pertemuan digelar, menurut Mestika, kabinet PDRI belum menerima hasil perundingan Roem-Roijen. Perundingan itu digagas PBB lewat United Nations Committee for Indonesia (UNCI). Sukarno-Hatta dan para pemimpin yang ditawan Belanda di Pulau Bangka menerima tawaran berunding dan menunjuk Muhammad Roem sebagai ketua delegasi Indonesia.
Roem berhadapan dengan van Roijen yang memimpin delegasi Belanda. Sehingga perundingan itu kelak lebih dikenal dengan sebutan 'Roem-Roijen'. Perundingan berlangsungs sejak akhir April dan disepakati pada 7 Mei 1949. (Baca: Roem-Roijen Tanpa PDRI, Perundingan yang Picu Banyak Pihak Tersinggung)
"Tujuan utama pertemuan tersebut memang untuk sikap PDRI terhadap prakarasa perundingan yang ditempuh Kelompok Bangka dan mengambil langkah-lanhgkah yang diperlukan," tulis Mestika.
Pertemuan dipimpin langsung oleh Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara. Selain ketua, seluruh anggota kabinet yang sebelumnya bermarkas di Bidar Alam, Solok Selatan seperti Mr Teuku Muhammad Hasan, Loekman Hakim, Mananti Sitompul dan Indra Tjahja juga turut hadir.
Dari Koto Tinggi Kabupaten Limapuluh Kota, ada Mr. Mohammad Rasjid, menteri perburuhan PDRI yang merangkap jadi gubernur militer Sumatra Barat. Juga ada M. Nasroen, komisaris pemerintah pusat di Sumatra.
Pertemuan juga dihadiri para pimpinan militer dan kepolisian PDRI. Yang tak hadir hanyalah para menteri kabinet yang berada di Pulau Jawa serta Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sebelumnya sudah mengontak Sjafruddin melalui radiogram.
Salah satu saksi sejarah yang diwawancarai wartawan Langgam.id pada 2012, Intan Sari Datuak Magek Karajan menceritakan suasana pertemuan itu. Ia adalah ketua perbekalan yang melayani kebutuhan logistik dan penginapan seluruh pimpinan sipil dan militer.
"Suasana ramai dan dijaga ketat oleh tentara. Kami melayani kebutuhan makan, minum dan penginapan para tamu itu," katanya.
Menurut Datuak Magek Karajan, pertemuan berlangsung di rumah Wali Perang Silantai. Wali Perang adalah pimpinan nagari yang sebelum PDRI disebut wali nagari. Gubernur Rasjid memang mengubah bentuk pemerintahan menjadi pemerintahan militer, sejak PDRI. Wali nagari berubah menjadi wali perang.
Warga tak ikut dalam pertemuan tersebut. Karena memang, itu adalah rapat kabinet tertutup. Warga lebur dengan para pimpinannya saat mereka melayani makan dengan mendirikan dapur umum, ataupun ketika pintu-pintu rumah dan surau dibukakan sebagai 'hotel' tempat menginap para pimpinan PDRI. (Baca: Surau Tua Silantai, Istana Ketua PDRI)
Mestika menulis, saat memimpin rapat, terlihat sekali kekecewaan Sjafruddin terhadap langkah perundingan yang ditempuh para pimpinan di Bangka. "Sebelum memberikan uraian panjang lebar, dia membacakan satu persatu sejumlah telegram yang diterima dari pimpinan sipil dan militer di Jawa," tulisnya.
Menurut Mestika, sejalan dengan sikap Panglima Besar Jenderal Sudirman yang merupakan panglima APRI dalam PDRI, Sjafruddin menolak hasil perjanjian Roem-Roijen. Alasan penoakan tersebut, PDRI belajar dari pengalaman. setiap perundingan dengan Belanda, negara tersebut selalu diuntungkan.
Selain itu, menurutnya, Sjafruddin merasa dilangkahi. "Jangankan diajak untuk turut serta membicarakan rencana perundingan oleh Kelompok Bangka, berkonsultasi pun mereka tidak pernah."
Padahal, setelah diserahi mandat memimpin pemerintah darurat dengan bergerilya di Sumatra, bersama segenap pimpinan sipil dan militer, PDRI telah melaksanakan mandat dengan baik.
Kalaupun akan berunding, biar PDRI yang maju. "Perundingan yang sedang dilakukan, justru membuat kedudukan Republik menjadi lemah. "Sebab, Belanda berharapan dengan pimpinan Republik yang berstatus tawanan," tulis Mestika.
Dalam pertemuan tersebut, menurutnya, para pimpinan PDRI dan partai politik yang diundang menyesalkan perundingan itu. Di antaranya, yang ikut berbicara Mr. Mohammad Rasjid, Mr. Nasrun, Indratjahja, Djoeir Moehammad, Roesli Rahim, Bachtaruddin dan Kolonel M. Nazir, kepala staf umum ALRI.
"Hampir semua pembicara mengucapkan pidato mereka dengan semangat berapi-api. Nada dan isi pidato mereka pada prinsipnya sama. Semuanya mengecam 'Beleid Bangka' dan menyatakan tidak setuju dengan Roem-Roijen," tulis Mestika.
Bahkan, M. Nazir menyebut, perundingan Roem-Roijen layaknya perundingan antara tawanan dengan sipir pemegang kunci penjara.
Selain penolakan tersebut, pertemuan itu juga menegaskan komitmen PDRI untuk tidak menghentikan perlawanan bersenjata kepada tentara Belanda.
Bahkan Gubernur Rasjid meminta jajaran tentara dan Pasukan Mobil Teras untuk meningkatkan sabotase dan serangan pada kedudukan musuh.
Meski demikian, Sjafruddin juga menyampaikan, pada akhirnya nanti ia akan menyerahkan kembali mandat kepada Sukarno Hatta untuk menghindari perpecahan.
"Semua hadirin diam dan bisa memahami perasaan Sjafruddin sebagai Ketua PDRI yang merasa dikesampingkan begitu saja oleh Kelompok Bangka," tulis Mestika.
Selepas dari Sumpur Kudus, Sjafruddin dan rombongan dari Bidar Alam bersama menuju basis Rasjid di Koto Tinggi, Limapuluh Kota.
Di nagari itu, para pimpinan PDRI berada saat Bung Hatta berusaha mencari sampai ke Aceh. Utusan Sukarno-Hatta yang bertemu dengan para pimpinan PDRI akhirnya adalah rombongan yang dipimpin Natsir pada Juli 1949. Pertemuan yang jadi pintu sebelum berakhirnya PDRI. (HM)