Puing-puing dari bangunan berukuran 290 meter persegi itu berserakan di lahan seluas 800 meter persegi. Lokasinya sangat strategis, di jalan Ahmad Yani No. 12 Kelurahan Padang Pasir Kecamatan Padang Barat Kota Padang. Hanya sepelemparan batu dari rumah dinas Wali Kota Padang.
Sepekan terakhir, dinding atap yang mengepungnya tak mampu menyurukkan perihal kehancurannya dari muka media dan publik . Meski rumah itu punya pribadi, tapi yang disoroti adalah statusnya yang ternyata cagar budaya sebagai rumah yang pernah ditinggali Bung Karno selama berada di Sumatra Barat, lebih kurang 5 bulan di tahun 1942.
“Bangunan tersebut telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya melalui Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Padang nomor 3 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kotamadya Padang,” jelas Plt. Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Undri, tempo hari.
Uraian yang dipampang di situs Kemendikbud, rumah itu dulunya milik Ema Idham yang pernah ditinggali Sukarno di masa transisi penjajahan, Belanda ke Jepang pada tahun 1942.
Situs ini tercatat dengan Nomor Inventaris 33/BCB-TB/A/01/2007, sebagaimana bangunan cagar budaya, karena berhubungan pernah ditinggali Bung Karno, sang proklamator dan Presiden RI pertama.
“Rumah Ema Idham pernah dipergunakan untuk penginapan Soekarno saat Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, saat itu Soekarno yang ditahan Belanda di Bengkulu diungsikan Belanda ke Kota Cane (Aceh),” mencuplik deskripsi soal bangunan cagar budaya rumah singgah Sukarno dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/rumah-ema-idham-tempat-tinggal-soekarno-saat-belanda-menyerah-kepada-belanda/.
“Bangunan ini berupa rumah hunian dengan gaya lokal. Denah bangunan ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang dengan luas bangunan 290 m². Hampir keseluruhan bangunan ini terbuat dari cor semen, namun beberapa bagian rumah terbuat dari kayu, seperti tiang serambi, kerangka atap, jendela, pintu. Atap bangunan terbuat dari seng dengan bentuk atap limas.”
Lebih lanjutkan, dinarasikan, tatkala Belanda semakin terdesak dengan kedatangan Jepang di Sumatra, Sukarno yang kala itu sedang diasingkan ke Bengkulu, hendak dibawa ke Australia oleh Belanda.
Namun, pada pertengahan bulan Februari 1942, pihak Belanda mendapat kenyataan Jepang telah menguasai Padang. Akhirnya Sukarno tak jadi dibawa, karena pejabat dan tentara Belanda lebih memilih menyelamatkan diri masing-masing. “Kapal terakhir yang ada di Teluk Bayur dapat berangkat, namun tak sampai di tujuan karena dekat perairan Pulau Enggano, karam diterjang meriam Jepang,” tulis Mestika Zed, Emizal Amri dan Edmihardi dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Kota Padang dan Sekitar.
Pada akhirnya Sukarno terdampar di Padang hingga 5 bulan kemudian, dan menggoreskan banyak kisah seperti mendirikan Komite Rakyat. Sukarno dan rombongan terdampar di Padang, suasana Padang sedang kacau-kacaunya.
“Di sana aku membentuk Komando Rakyat yang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk menjaga ketertiban,” kata Sukarno, mencuplik buku Biografi Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat, karya Cindy Adams.
Sukarno menjelaskan suasana Kota Padang di masa transisi penjajahan itu. Padang diselubungi oleh suasana chaos, suasana bingung dan ragu. Hanya dalam satu hal orang tidak ragu lagi, yaitu bahwa Belanda penakluk yang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para pedagang meninggalkan tokonya. Terjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup.
"Lihat, kata seorang Belanda, yang tingginya satu meter delapan puluh lima, mengejek ketika dia hendak lari membiarkan kami tidak dilindungi. Belum lagi kami pergi, kamu orang Bumiputera sudah tidak sanggup mengendalikan diri sendiri,” beber Sukarno.
Setelah kehebohan berhari-hari penghancuran situs yang diklaim kediaman Sukarno di Padang, Pemko Padang bersikap reaktif. Pemko Padang segera membantu mediasi antara pemilik dan Dirjen Perlindungan Cagar Budaya Kemendikbud dan BPCB.
Pemerintah Kota Padang mengungkapkan pemilik bangunan yang merupakan tempat tinggal sementara Bung Karno (Presiden Soekarno) di Padang tidak mengetahui bahwa yang dibongkar adalah bangunan cagar budaya.
"Terkait bangunan cagar budaya di Jalan A Yani kepemilikan sudah berganti-ganti, ini dia alpa. Kita dulu ada plang merek, pasca gempa tidak ada. Nah ini dibongkar pemiliknya," kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang, Yopi Krislopa.
"Pemiliknya susah dimediasi dan akan membangun replika seperti itu. Dan Alhamdulillah pemilik menyanggupi itu," jelasnya lagi.
"Ketika izin disampaikan ke PU, tim akan membahas bagaimana bentuknya. Tapi stori tetap bahwa Bung Karno pernah tinggal selama tiga bulan, sebelum zaman kemerdekaan 1942," sambung Yopi.
Terkait pembongkaran, Pemko Padang membantah kecolongan, meski letak rumah berada di seberang rumah dinas Wali Kota Padang Hendri Septa.
Yopi menyebutkan aktivitas pembongkaran tidak diketahui pemerintah kota. "Kalau pembongkaran dengan alat berat (memakan waktu) sebentar, kita tidak tahu. Pemilik juga tidak tahu bahwa bangunan itu cagar budaya," ungkapnya.
Maka itu, Yopi menyebutkan, pemerintah kota akan kembali memetakan dan merevisi seluruh bangunan cagar budaya yang ada di Kota Padang. Pemilik juga telah menyanggupi membangun kembali mirip seperti awal.
"Dibangun ulang, hampir sama seperti rumah bung Hatta di Bukittinggi. Hampir sama bentuknya, tapi kita akan ada sejarahnya bahwa bung Karno pernah tinggal di situ," tegasnya.
Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) organisasi yang berhaluan ideologi Sukarno, sangat menyayangkan kejadian ini. Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PA GMNI Sumbar Yogi Yolanda mengaku bingung soal respons ketidaktahuan walikota Padang pada bangunan itu.
“Bangunan telah runtuh baru dibangun kembali, ini yg namanya "habih cakak silek takana". Walikota Padang yg rumah dinasnya berhadap hadapan dengan situs cagar budaya ini mengaku tidak tahu terkait pembongkaran. Saya jadi bingung apa diketahui oleh Walikota Padang ini,” kata Yogi.
“Selain itu Balai Pelestarian Budaya ini kemana saja, jika dulu alasan plang ini hilang tahun 2009 akibat gempa, kenapa selama 13 tahun ini dibiarkan kosong melompong,” dia menambahkan.
Menurut Yogi, paling tidak yang bisa dilakukan hari ini, Kementerian terkait membuat laporan polisi terkait pengrusakan benda cagar budaya sesuai dengan UU No.11 th 2010, agar bisa mendatangkan efek jera dan Bangunan Cagar Budaya lain yang terancam hilang bisa terselematkan.
"Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini Balai Pelestarian Cagar Budaya harus bertanggung jawab karena lalai menjaga Benda Cagar Budaya. Walikota Padang harus meminta maaf kepada publik akibat lalai dalam menjaga Benda Cagar Budaya," tegas Yogi.
Benarkah Itu Rumah yang Ditinggali Sukarno?
Ada beberapa hal yang menarik untuk mengulik bangunan itu ditetapkan sebagai cagar budaya dengan alasan pernah ditinggali Sukarno. Pertama, selain Ema Idham, ada dua sosok penting lainnya menyangkut tempat tinggal Sukarno selama di Padang pada masa transisi penjajahan Belanda ke Jepang di tahun 1942.
Pertama Alex Wawarontu. Ia disebut pernah tinggal di rumah Ema Idham tersebut, sehingga logikanya Sukarno tinggal di rumah Wawarontu adalah tatkala tinggal di rumah Ema Idham yang disebut pemilik bangunan cagar budaya tersebut. Kedua, Egon Hakim, seorang pengacara dan anak Abdoel Hakim, Wali Kota Padang 1947-1949. Sukarno juga disebut pernah tinggal di rumahnya, sebelum pindah ke rumah Waworuntu.
Dalam penelusuran penulis sejauh ini, kisah Sukarno di Padang tak pernah penyebutan nama Ema Idham. Sebaliknya, Waworuntu kerap disebut Sukarno dalam pengisahan hidupnya kepada Cindy Adams.
"Sesampai di hotel (Padang) aku mengatakan pada Inggit; Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu di sini. Dimana‐mana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburu‐buru pada detik‐detik terakhir. Kau mau kemana? tanya Inggit gemetar ketakutan. Kawanku Waworuntu tinggal di sini. Aku harus mencarinya dan berusaha mencari tempat tinggal," kisah Sukarno kepada Cindy Adams.
Persuaan Bung Karno dengan Waworuntu penuh kehangatan. Bak konco yang sudah lama tak berjumpa. Waworuntu memeluk erat Sukarno. "Sukarno, saudaraku! Dia berteriak dan air mata mengalir ke pipinya. Saya mendapat rumah bagus di sini dan banyak kamarnya, tapi saya sendirian saja. Isteri saya dan anak‐anak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saya. Bawalah keluarga Bung Karno ke sini. bawalah kesini dan anggaplah ini rumah Bung sendiri," Sukarno menceritakan kembali awal mula dia akhirnya tinggal di rumah Waworuntu, kepada Cindy Adams.
Menurut Sukarno, Waworuntu adalah orang yang baik hatinya. Bahkan, dengan kedatangan Sukarno dan istrinya Inggit, Waworuntu dengan inisiatif sendiri pindah dari kamar‐tidurnya yang besar di depan di sebelah ruang tarnu.
“Ia mengosongkannya untuk Inggit dan aku,” kata Sukarno kepada Cindy Adams.
Syahdan, Sukarno menegaskan bahwa selama berbulan tinggal di Padang khususnya, ia tinggal di rumah Waworuntu. Bahkan bujuk rayu Jepang, dengan tawaran untuk menginap di hotel sebagai upaya mengumbuk Sukarno mau menurut kepada Jepang, ditampiknya. Ia memilih tetap tinggal di rumah Waworuntu.
“Baiklah, apakah tuan Sukarno perlu rumah tempat tinggal yang lain?. Dan aku menjawab… tidak, terimakasih. Saya tinggal di rumah Waworuntu tidak membayar. Rumah itu cukup buat kami. Saja tidak memerlukan perlakuan yang istimewa,” demikian salah satu petikan percakapan Sukarno dengan Panglima Tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang di Sumatra Barat Kolonel Fujiyama, yang dicurahkan kembali kepada Cindy Adams.
Hal ini semakin menguatkan, bahwa Sukarno memang lama tinggal di rumah Waworuntu, kala berada di Padang berbulan-bulan lamanya. Narasi ini pun yang menjadi alasan Pemko Padang kembali mendorong pemilik rumah di Ahmad Yani membangun rumah sekaligus jadi situs rumah singgah Bung Karno nantinya.
Namun, pertanyaan krusial, apakah Sukarno yang menyebutkan tinggal di rumah Waworuntu itu maksudnya rumah sekarang yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya? Apakah sudah ada fakta sejarah yang terang terkait hal itu?.
Dalam pengisahan Sukarno kepada Cindy Adams, Sukarno tak pernah menjelaskan detail soal rumah Wawarontu yang ia tinggali. Tak pernah disebutkan dimana alamat rumah itu. Ini menjadi kesulitan dalam memastikan rumah mana yang dimaksud.
Lalu, darimana sumber yang menjadi rujukan penetapan bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Padang nomor 3 Tahun 1998?
Dikulik lagi deskripsi yang dilampirkan pada situs Kemendikbud soal penetapan bangunan cagar budaya, perihal fakta sejarah kaitan rumah Ema Idham menjadi rumah singgah Bung Karno terasa kurang memadai. Sumbernya umumnya adalah sumber sekunder. Penulis belum tahu ada rujukan sumber primer di antaranya.
“Kriteria bangunan ditetapkan sebagai CB salah satunya memenuhi kriteria, yakni memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/kebudayaan. Di samping itu memenuhi kreteria; berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa,” terang Undri.
Melacak Rumah Waworuntu Tempat Tinggal Sukarno
Lalu bagaimana upaya melacak dimana posisi rumah Wawarontu yang ditinggali Sukarno itu di tengah seretnya informasi dan dokumen yang gamblang.
Memang agak sulit. Seperti halnya trah Waworuntu yang mencoba melacak kembali jejak Alex Waworuntu di Padang pada tahun 2008. Upaya keluarga itu dilakukan dengan membangun diskusi dan saling menanyakan sana sini di mailing list kebudayaan.
Hannie (W.J.Waworoentoe) asal Tomohon menjelaskan, Alex Waworoentoe anak bungsu dari Carel Zet Waworuntu (Hukum Tua Tondangow-Pendiri desa Tondangow-Mendapat Bintang Dari Ratu Willhelmina). Alex Waworuntu lahir di Tondangow pada 22 Desember 1896. Selesai Hoofdenschool di Tondano lalu melanjutkan pendidikan ke Bogor untuk menjadi dokter hewan. Pendidikan ini diselesaikan di Veeartsenijkunde Faculteit di Universitas Utrecht sekitar tahun 1932 pada waktu beliau mulai bekerja di Lombok. Setelah itu Alex bekerja di Magelang dan selanjutnya di Bengkulu. Di Bengkulu, Alex Waworuntu dekat dengan keluarga Bung Karno. Setelah itu keluarga Alex Waworuntu pindah ke Padang sampai masuknya tentara Jepang. Naas, Alex Waworoentoe gugur dubunuh oleh tentara Jepang di Padang pada waktu perang dan keluarganya akhirnya pulang ke negeri Belanda.
Cuplikan itu tergambar kedekatan Sukarno dengan Alex Waworuntu. Sehingga masuk akal jika ia mencari dan kemudian tinggal di rumah Waworuntu.
Upaya meluruskan sejarah tinggal Sukarno di rumah Waworuntu bukan menafikan bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya, tapi lebih kepada menjernihkan jejak Sukarno di tanah Minang.
Di antara dua nama yakni Ema Idham dan Waworuntu, sosok Egon Hakim dalam kelindan Sukarno di Padang juga menarik dikulik. Perlu diketahui, Sukarno tidak sendirian terdampar di Padang. Ada nama lain seperti istrinya, Inggit Garnasih, Sukarti, dan Riwu.
Ada hal menarik dituturkan Inggit soal rumah Waworuntu yang mereka tinggali di Padang. Dalam biografinya; Perempuan dalam Hidup Sukarno, Inggrit menyebutkan, kabar kedatangan mereka di kota ini ternyata diketahui oleh Woworuntu. Dokter hewan lulusan Belanda itu pernah tinggal di Bengkulu dan menjadi teman Hassan Din, ayah Fatmawati, istri ketiga Bung Karno.
Waworuntu mengajak Sukarno dan Inggit tinggal di rumahnya. Inggrit menceritakan, Waworuntu bertetangga dengan Egon Hakim, seorang pengacara, dimana istrinya adalah kemenakan Muhammad Husni Thamrin.
Petunjuk telepon zaman lampau, ada beberapa alamat Egon Hakim. Yakni di Sawahan, Tarandam, dan Pondok.
Berdasarkan Direktori alamat telepon sezaman pada tahun 1940 menyebut, Egon Hakim tinggal di Terandam No. 7.
“Sementara detail rumah Waworuntu masih samar, Inggit Garnasih menyebut dengan jelas bahwa Woworuntu bertetangga dengan Egon Hakim, seorang pengacara. Direktori alamat telepon sezaman pada tahun 1940 menyebut, Egon Hakim tinggal di Terandam No. 7, lokasi yang di atasnya kini sudah berdiri RSIA Restu Ibu Padang,” jelas Rahmat Irfan Denas, salah seorang peneliti sejarah di Padang.
Selain di Tarandam, petunjuk telepon yang dipublikasikan pada tahun 1951 (Telefoongids-Sumatra-WKP-Pd-1951-KIT), didapati Egon punya dua alamat. Pertama, di Sawahan, tempat kediamannya. Kedua, di Pondok, kantornya sebagai pengacara.
Mengutip yang disampaikan Inggit, rumah Waworuntu berdekatan Egon, maka bisa jadi tempat tinggal Waworuntu yang menjadi rumah singgah Sukarno, di kawasan Sawahan atau Tarandam. Sebab, kroniknya berdekatan.
Sementara kalau dipaksakan, di jalan Ahmad Yani sekarang sebagai rumah tinggal Sukarno, di zaman itu dulunya kalau tata administrasi alamat tak berubah, maka itu dulunya rumah kediaman Mevr B. Barkey.
“Kalau nomor alamat rumah (dulu dan sekarang masih sama), maka rumah Ema Idham di A. Yani no 12 itu masih sama, di buku telepon 1940 tertulis ini pemiliknya (Mevr B. Barkey)," ujar Denas.
“Perlu ditelusuri proses dari awal sampai sekarang, sehingga dapat membuat sikap nantinya. Langkah awal salah satunya menugaskan kawan kawan di kantor mengumpulkan data tentang hal tersebut, dan sekarang kawan kawan sedang di lapangan,” bilang Undri.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumatra Barat Wannofri Samry menilai catatan pemutakhiran data BPCB terlalu berlebihan. "Kata laporan BPCB tentang Sukarno di Padang, bahwa dari rumah Waworuntu itu Sukarno menghimpun kekuatan melawan penjajahan Jepang. Dalam buku Cindy Adams sendiri pun tidak ada itu. Sukarno berkolaborasi dengan Jepang dan tawar menawar," bilang Wannofri.
"Dan juga tak ada kita menemukan rumah atas nama Emma Idham di situ," Wannofri menambahkan.
Sukarno hanya bicara tinggal d rumah Wawarontu. Dan tak ditemukan Wawarontu itu tinggal d rumah Ema. Menurut Wannofri, ini poin menggugat akurasi data sejarah yang jadi pijakan penetapan rumah itu.
Menurut Wannofri, 74 situs di Kota Padang, tak satu pun ada kajian akademiknya. "Perlu kajian akademik sebelum ditetapkan. Kita menyesalkan penetapan tanpa kajian akademik, atau tak tersedianya kajian," tandas dosen Ilmu Sejarah Universitas Andalas ini.
Sekali lagi, muatan dalam tulisan ini bukan menyangsikan bangunan cagar budaya yang diruntuhkan itu adalah rumah singgah Sukarno, tapi bagaimana memastikan situs ini ditetapkan sesuai dengan fakta sejarahnya.
Sukarno berada lebih kurang lima bulan di Sumatra Barat saat transisi penjajahan Belanda ke Jepang, adalah fakta. Sukarno lebih banyak tinggal di rumah Waworuntu adalah fakta. Karena semuanya dikisahkan kembali oleh pelakunya dan diterbitkan menjadi biografi. Yang tak bersua adalah cerita rumah Ema Idham menjadi tempat tinggal Sukarno.
Dan penghancuran bangunan atas nama Ema Idham berstatus cagar budaya di jalan Ahmad Yani adalah fakta, dan itu perbuatan tidak benar.
Mungkin ada yang punya bukti sejarah lain silahkan saja. Yang pasti, kisah Sukarno di Padang berada di labirin yang mungkin ini adalah fase bulan madu Bung Karno dengan tanah Minang.
"Kita harus mendorong penggalian sejarah hubungan harmonis Bung Karno dengan Ranah Minang. Lebih kurang 5 Bulan Bung Karno di Ranah Minang, banyak hal yang dilakukan beliau bahkan ide sila pertama Pancasila, 'Ketuhanan Yang Maha Esa' konon kabarnya didapatkan dari hasil diskusi Bung Karno dengan ulama-ulama Minangkabau," tandas Yogi Yolanda.
Semua kembali ke pemangku kepentingan, apakah kembali menghidupkan barang yang sudah dihancurkan, atau membangun fondasi cerita yang kuat Bung Karno di tanah Minang.