Langgam.id – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud RI bekerjasama dengan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, resmi meluncurkan pedoman perubahan perilaku protokol kesehatan 3M dalam 77 bahasa daerah. Pedoman tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk bahasa Minang dan bahasa Mentawai.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menyebutkan hal itu ditujukan agar masyarakat lebih mudah memahami kampanye perubahan perilaku.
“Saat ini ditengarai pesan-pesan yang disampaikan oleh pemerintah melalui kampanye pencegahan penyebaran covid-19 masih perlu ditingkatkan agar semakin mudah dipahami oleh masyarakat,” ujar Nadiem, Selasa (1/12/2020).
Bahasa daerah diyakini dapat menjelaskan maksud kampanye perubahan perilaku dengan lebih baik. Pasalnya bahasa daerah merupakan bahasa ibu dari kebanyakan masyarakat Indonesia, sehingga lebih dekat dengan masyarakat.
Pembuatan pedoman tersebut mengalami beberapa perubahan. Awalnya Satgas merencanakan pedoman dibuat dalam 34 bahasa daerah, namun kemudian berubah menjadi 77 bahasa mengingat banyaknya bahasa daerah di Indonesia.
Adapun 77 bahasa daerah tersebut adalah Bahasa Aceh, Bahasa Gayo, Bahasa Melayu Bangka, Bahasa Bali, Bahasa Jawa Dialek Banten (Jawa Bebasan), Bahasa Sunda Dialek Banten, Bahasa Lembak, Bahasa Melayu Kota Bengkulu, Bahasa Rejang, dan Bahasa Serawai.
Selain itu, juga ada Bahasa Gorontalo, Bahasa Suwawa, Bahasa Melayu Jambi, Bahasa Kerinci, Bahasa Madura, Bahasa Sunda, Bahasa/Dialek Jawa Cerbon Dermayu, Bahasa Jawa Dialek Tegal, Bahasa Dayak Ahe, Bahasa Melayu Pontianak, dan Bahasa Dayak Tamambalo.
Selanjutnya, Bahasa Banjar (Dialek Hulu), Bahasa Banjar (Dialek Kuala), Bahasa Dayak Ngaju, Bahasa Dayak Katingan, Bahasa Dayak Maanyan, Bahasa Banjar Samarinda, Bahasa Kutai, Bahasa Melayu, Bahasa Lampung Dialek A, dan Bahasa Lampung Dialek O.
Kemudian, Bahasa Alune, Bahasa Hitu, Bahasa Seram Dialek Geser, Bahasa Melayu Dialek Ternate, Bahasa Tidore, Bahasa Ternate, Bahasa Melayu Kupang, Bahasa Manggarai, Bahasa Lamaholot, Bahasa Ngada, Bahasa Dawan, Bahasa Sasak, Bahasa Samawa, dan Bahasa Mbojo.
Tidak lupa, Bahasa Jawa Ragam Krama, Bahasa Tolaki, Bahasa Wolio, Bahasa Muna, Bahasa Kulisusu, Bahasa Wakatobi, Bahasa Bugis, Bahasa Makassar, Bahasa Toraja, Bahasa Mandar, Bahasa Tolour/Tondano, dan Bahasa Tombulu.
Selanjutnya, Bahasa Buol, Bahasa Kaili, Bahasa Mori, Bahasa Taa, Bahasa Pamona, Bahasa Melayu Riau Dialek Bengkalis, Bahasa Melayu Riau Dialek Kampar, Bahasa Mentawai, dan Bahasa Minang.
Serta terdapat juga, Bahasa Batak Toba, Bahasa Karo, Bahasa Langkat, Bahasa Mandailing, Bahasa Nias, Bahasa Pakpak, Bahasa Pesisir Tapanuli, Bahasa Komering, Bahasa Palembang, Bahasa Melayu Papua, dan Bahasa Ambai Papua.
“Bahasa daerah adalah salah satu cara kita untuk bisa mempercepat sampainya informasi kepada masyarakat, mengingat sebagian besar istilah-istilah yang dipakai dalam konteks covid-19 seringkali merupakan bahasa asing atau serapan dari bahasa asing,” ujar Kepala Satgas Penanganan Covid-19, Doni Monardo.
Sementara itu, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, E. Aminudin Azis mengatakan pembuatan pedoman perubahan perilaku tersebut membutuhkan proses yang panjang. Ia menuturkan pihaknya sangat hati-hati dalam proses penerjemahan.
“Kami uji coba juga pada ahli bahasa daerah setempat, lalu kami perbaiki, baru kami uji coba lagi kepada masyarakat,” tutur Aminuddin. (Fath/ABW)