Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045

Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045

Robby Kurniawan. (Foto: Dok. Pribadi)

SAAT ini pemerintah tengah berkonsentrasi menyusun rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2025-2045. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI yang memiliki tugas dan fungsi menyiapkan rancangan tampak giat menjaring pelbagai masukan. Pada awal Juni 2023 lalu misalnya, untuk kesekian kalinya mereka menggelar diskusi terbuka. Banyak pakar dan ahli dari berbagai kalangan ikut urun rembuk. Mereka memberikan komentar, catatan, dan juga usulan. Rancangan yang disusun pun diketengahkan ke publik. Agar masyarakat secara terbuka dapat menimbang dua puluh tahun Indonesia ke depan.

Diskusi-diskusi tersebut disiapkan sebagai langkah penyusunan RUU RPJPN 2025-2045. Mengingat pentingnya posisi undang-undang ini dalam rangkaian program pembangunan nasional, persiapan RUU tentu demikian strategis. Selain berperan sebagai haluan perjalanan bangsa, perencanaan yang akan disahkan dalam undang-undang ini selanjutnya akan menjadi dasar penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dan selanjutnya lagi, menjadi pondasi dalam merangkai isu-isu prioritas yang akan ditangani pemerintah ke depan.

Bekaca dari RPJPN sebelumnya, pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, RUU RPJPN 2025-2045 ini juga memperlihatkan tujuan pembangunan nasional yang dibagi dalam beberapa kluster dan stasi. Pada dokumen lampiran RUU RPJPN 2025-2045 yang disebarkan ke publik tertanggal 31 Mei 2023, disaksikan bahwa arah pembangunan Indonesia akan dijalankan dengan delapan misi yang terintegrasi, mulai dari transformasi sosial, supremasi hukum, hingga pemerataan wilayah pembangunan. 

Di antara rangkaian misi tersebut, esai ini akan memberi perhatian pada soal agama dan keagamaan. Digolongkan dalam Misi 5, pembangunan agama dan keagamaan menjadi bagian dari misi ketahanan sosial, budaya dan ekologi. Ia pun masuk sebagai landasan transformasi Indonesia, sekelompok dengan pembangunan keluarga berkualitas, kesetaraan gender, ketahanan energi, dan resiliensi atas perubahan iklim.

Perhatian atas pembangunan agama dan keagamaan ini selaras pula dengan upaya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) untuk berbenah. Dalam beberapa forum, organisasi keagamaan ini menyatakan tengah menata organisasi mereka. Setelah sekian dekade tampak tiarap berselimut problem-problem internal, mereka berkomitmen untuk turut sedia berkontribusi. Menjadi bagian dari usaha pembangunan Indonesia ke depan. Esai ini pun diharapkan dapat menjadi bahan sumbang saran atas program keorganisasian yang kabarnya tengah disusun.

Kedudukan Agama dalam RPJPN 2025-2045

Dalam dokumen RUU RPJP yang telah disebutkan tadi, dikatakan, tugas meraih ketahanan sosial, budaya dan ekologi diwujudkan dengan mengembangkan agama dan berkeagamaan yang maslahat dan berbudaya maju. Kemaslahatan dan kemajuan menjadi kata kunci di sini. Secara umum, kedua kata tersebut dipadankan dengan beberapa diksi lain yang acap disebut dalam dokumen untuk menunjukkan hal serupa, seperti berdaya, modern, tangguh, inovatif, dan adil. Kata-kata tersebut seterusnya berwujud pada beberapa citra keberhasilan pembangunan, seperti menurunnya angka kemiskinan, naiknya pendapatan nasional, hingga semakin kuatnya pengaruh dan kepemimpinan nasional di kancah internasional.   

Secara khusus, beragama yang maslahat dan berbudaya maju dirumuskan dalam empat usaha taktis, yaitu; 1) mengembangkan kehidupan agama yang inklusif, toleran, dan demokratis; 2) mengembangkan dana sosial keagamaan, filantropi, dan pemberdayaan umat; 3) pembinaan ideologi Pancasila dan penguatan identitas bangsa; dan 4), meningkatkan budaya literasi, kreativitas dan inovasi.

Taktik pertama tak lain merupakan tindak lanjut dari hasil pembacaan kondisi umum keagamaan yang turut menjadi tantangan pembangunan dalam dua puluh tahun terakhir. Dipahami, dalam rentang waktu tersebut, kondisi keagamaan di Indonesia dihadapkan pada problem penafsiran agama yang berpotensi menimbulkan disintegrasi sosial. Konflik intra dan antar kelompok keagamaan, tindakan ekstremisme hingga terorisme yang mengatasnamakan agama menjadi cerita yang terus menggema dalam dua dekade terakhir. Belum lagi dengan masuknya paham keagamaan yang sempit dalam pembicaraan politik, yang belakangan diejawantahkan dengan istilah politik identitas.

Baca Juga: Idealisme Islam dan Politik Perti

Tantangan tersebut sejatinya telah direspon dalam RPJPN 2005-2025, dan RPJMN dalam ulur tahun tersebut. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 mengamanatkan perlunya usaha meningkatkan peran agama sebagai dimensi moral dan etik dalam pembangunan. Dalam menanggulangi konflik keagamaan, undang-undang memerintahkan adanya mekanisme yang dapat mempertebal rasa saling percaya dan toleransi antar kelompok keagamaan.

Salah satu program yang paling menonjol dan mendapatkan perhatian serius dari usaha ini adalah pengarusutamaan moderasi beragama. Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024 memperlihatkan hal tersebut. Setidaknya sepuluh kali kata Moderasi Beragama dicatat dalam narasi lampiran undang-undang ini. Moderasi Beragama didudukkan sebagai strategi pembangunan karakter bangsa, agenda revolusi mental, dan penguatan serta harmoni sosial.

Empat indikator moderasi beragama, meliputi komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan pada budaya lokal menjadi tumpuan pengarusutamaan program. Meski mendapatkan banyak catatan kritis, apresiasi tidak kurang diberikan. Terlebih lagi dengan telah disusunnya Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama (2020). Dalam peta tersebut, tahun 2023 ini sepatutnya agenda moderasi beragama telah menyasar keterlibatan masyarakat untuk memfasilitasi program. Hingga pada 2024 dapat tercapainya pemenuhan regulasi berbasis moderasi beragama dan penurunan jumlah konflik atas nama agama.

Namun menariknya, dalam dokumen lampiran RUU RPJP 2025-2045 yang tengah kita sorot ini, kata Moderasi Beragama absen disebutkan. Kaul yang mirip, seperti kata “moderat” hanya disebutkan sekali. Itu pun dalam barisan keterangan belum terwujudnya hak kebebasan beragama yang diharapkan. Tentu saja ini menjadi perhatian tersendiri bagi para pihak yang berkepentingan dengan program ini. Apakah pengarusutamaan dapat naik level menjadi paradigma nasional, atau sebaliknya; turut bertransformasi dalam program-program lain dengan tujuan serupa.

Selanjutnya pada usaha kedua; mengembangkan dana sosial keagamaan. Taktik ini menunjukkan perhatian mendalam pemerintah pada kelompok keagamaan untuk meningkatkan pemberdayaan umat melalui dana sosial keagamaan. Mengoptimalkan zakat, infak, sedekah (ZIS) menjadi agenda yang tidak boleh lagi dipandang sebelah mata. Anggito Abimanyu (2023) menyebutkan potensinya sangat besar sekali. Namun, realisasi masih jauh dari target yang diharapkan. Dosen Universitas Gajah Mada tersebut menyatakan, zakat penghasilan pada 2022 lalu hanya berkisar di angka 25 persen dari jumlah yang dapat diraih.

Belum lagi mengingat potensi filantropi Indonesia yang demikian tinggi dibandingkan negara lain. Charities Aid Foundation (CAF), organisasi internasional yang memberi perhatian pada pengelolaan amal dan donasi, menyebutkan Indonesia merupakan negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi di dunia. Teratas dalam lima tahun terakhir secara berturut-turut, mengalahkan Amerika dan Australia. Dalam analisisnya, CAF menyebutkan agama dan tradisi masyarakat yang suka bergotong-royong telah menjadi faktor pendorong yang penting untuk mempertahankan kedermawanan. Bahkan pada kondisi krisis secara nasional, seperti pandemi Covid-19 lalu (2022).

Tantangannya jelas saat ini adalah soal pengelolaan dana charity tersebut. Kelompok keagamaan di Indonesia bukannya tidak memberikan perhatian. Berbagai pranata filantropi, seperti lembaga amil zakat, organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam pengelolaan dana kemanusiaan, hingga lembaga keuangan mikro syariah, telah dibentuk dan berpotensi terus tumbuh dan menyebar seantero Indonesia. Secara nasional, tentu saja demikian membutuhkan pengawasan dan pemantauan lebih lanjut. Agar pemberdayaan umat melalui pengelolaan dana tersebut dapat diarahkan dengan maksimal.

Terkait usaha ketiga, pembangunan keagamaan diupayakan dengan pembinaan ideologi Pancasila dan penguatan identitas bangsa. Ini dapat dimaknai sebagai jawaban atas persoalan laten yang terus menghantui bangsa Indonesia. Dalam menghadirkan pesan-pesan keagamaan, hingga hari ini masih ditemukan sebagai kelompok keagamaan yang mempertentangkan ajaran agama dengan konstitusi. Sebagian lagi mengingkari kenyataan sosial bangsa Indonesia yang majemuk. Sebagian yang lain menerjemahkan ajaran agama dengan sembrono; hadir sebagai ulama yang suu’ atau pemerintah dengan kebijakan yang diskriminatif. Demikian menjadi koreksi menyeluruh dalam menatap pembangunan nasional dalam bidang keagamaan. 

Usaha keempat dalam meningkatkan budaya literasi, kreativitas dan inovasi dapat dilihat sebagai opsi mencari jalan keluar dari persoalan keagamaan yang ada. Kehidupan beragama yang inklusif dan toleran -sebagaimana yang hendak dituju melalui rancangan RPJPN ini- membutuhkan landasan pemikiran keagamaan yang kuat dan berorientasi pada nilai-nilai yang dimaksud.  Teks-teks keagamaan yang otoritatif dan kompetensi untuk menganalisis teks tersebut menjadi potensi yang dibutuhkan.

Dalam hal ini, pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi keagamaan menjadi demikian sentral. Sebab itu, daripada menghanyutkan diri dalam arus dan urus yang bersifat artifisial, menguatkan kelembagaan sebagai pusat pengetahuan dan literasi keagamaan amatlah krusial untuk menjawab kebutuhan Indonesia ke depan. Penguatan kelembagaan dalam ranah inilah selanjutnya yang dapat kita golongkan sebagai usaha kemajuan, ketangguhan, dan kemoderenan beragama.

Meskipun begitu patut pula diwaspadai potensi kerawanan dan masalah baru yang dapat ditimbulkan dari usaha ini. Kreativitas dan inovatif sebagai sifat yang dilekatkan dalam pembangunan bidang keagamaan, jika tidak awas, dapat dimaknai peyoratif. Dalam khazanah Islam, misalnya, kreativitas dan inovasi kadang-kadang terpeleset dimaknai sebagai bid’ah. Meskipun dalam literatur keislaman dikenal pula bid’ah yang baik (hasanah), namun kecenderungan umum jamak melekatkan kata tersebut pada sisi buruknya (dhalalah).

Sebab itu, kreativitas dan inovasi. termasuk juga dengan langkah taktis yang disebutkan di atas tadi -yang mungkin tidak ditemukan secara eksplisit dalam khazanah klasik- mesti dimaknai sebagai dimensi tazkiyah; yaitu metode untuk membersihkan kehidupan beragama dari anasir-anasir yang merusak (tadsiyah). Dengan mempertimbangkan usaha-usaha yang diuraikan, dan kemungkinan baik yang dapat timbul darinya, kehidupan beragama akan menjadi mekanisme dam berperan efektif dalam pembangunan nasional.

Perti dan Rencana Pembangunan Nasional Kehidupan Beragama

Saya harus berani mengatakan, dalam dua puluh tahun terakhir, Perti bukanlah pemain penting dalam skema pembangunan nasional. Bukan karena melihat perbandingannya dengan organisasi keagamaan serupa, namun dari ketidakberdayaan organisasi ini dalam mengonsolidasikan sikap atas berbagai problem keagamaan dan kebangsaan yang dihadapi.  Dalam banyak kasus, sikap-sikap keagamaan ditunjukkan secara berhamburan. Sulit untuk menangkap produk kolektif yang dapat dikoreksi sebagai kontribusi dalam pembangunan umat dan bangsa.

Dua puluh tahun belakang bisa saja berbeda dengan dua puluh tahun ke depan. Sifat alam yang berubah, dapat dipegang sebagai sebuah aforisme. Termasuk juga dalam soal apakah Perti akan turut berkontribusi dalam skema yang tengah dirancang pemerintah; apakah secara kelembagaan, organisasi ini memiliki catatan kritis atas skema tersebut; ataukah Perti memilih jalan dan kontribusi lain, yang secara langsung atau tidak langsung dapat juga berdampak maslahat untuk kehidupan orang banyak. Pilihan tersebut berpulang pada organisasi yang tumbuh dan mengakar di Sumatera Barat ini.

Esai ini mengandaikan, secara institusional, Perti mengambil sikap untuk terlibat secara aktif dalam usaha pembangunan keagamaan dengan kerangka yang disebutkan di atas. Jika pengandaian tersebut terjadi, setidaknya terdapat dua hal yang perlu Perti lakukan guna memaksimalkan peluang yang tersedia untuk organisasi keagamaan. Dua hal ini tentu saja di luar tugas-tugas yang sudah sewajibnya dilakukan organisasi, seperti kaderisasi, penguatan lembaga, atau penguatan basis lembaga.

Hal yang perlu dilakukan tersebut adalah; Pertama, menciptakan ruang afirmasi atas usaha-usaha baik yang dilakukan pemerintah untuk pembangunan nasional. Artinya, aktif memberi sumbangan nilai, etik, dan pengetahuan atas program-program yang relevan untuk menjawab persoalan umat. Ruang afirmasi ini tidak sebatas “sepakat” saja atas program yang dilaksanakan, tapi juga turut menyumbangkan esensi keagamaan yang dapat dijadikan landasan untuk menyempurnakan program tersebut.   

Pengalaman khas Perti atas hal ini pernah dilakukan Syekh Sulaiman Arrasuli saat menyatakan dukungan Presiden Soekarno sebagai pemerintah yang sah. Ketika problem muncul terkait legitimasi, dengan kerangka usul fikih, Syekh Sulaiman Arrasuli menyumbangkan pemikiran dengan menyatakan kedudukan presiden sebagai waliyul amri daruri bi tsauqah. Ini menjawab kekosongan pandangan keagamaan yang dibutuhkan untuk melanjutkan program dan agenda kebijakan publik lainnya yang berkaitan dengan kedudukan lembaga negara.

Sumbangan serupa sejatinya dibutuhkan hingga saat ini, untuk beragam agenda pembangunan nasional. Terkait moderasi beragama atau toleransi misalnya, Bagaimana sumbangan pemikiran Perti terkait program, baik dari sisi fikih, usul fiqih, maupun tasawuf; atau Adakah kerangka keislaman yang dapat digunakan untuk menjalankan dan mengevaluasi program. Itu semua merupakan pertanyaan yang perlu dijawab kelompok yang tidak mungkin terjawab oleh pemerintah secara komprehensif tanpa bantuan kelompok keagamaan, seperti Perti.    

Selain menyediakan ruang afirmatif, hal Kedua yang tak kalah perlu disediakan Perti adalah mekanisme konsultatif untuk mengintegrasikan kebutuhan masyarakat dengan usaha strategis yang disiapkan pemerintah. Dalam hal ini Perti menjadi organisasi yang dapat menghubungkan kedua belah pihak. Sebagai sebuah organisasi keumatan, sudah seharusnya pula Perti dituntut untuk merekam problem kemasyarakatan dan menyampaikannya pada pemerintah.

Dalam tugas ini, Perti mesti memiliki metode sendiri untuk menganalisa kondisi masyarakat. Metode analisis inilah selanjutnya yang dapat menjadi alat ukur untuk menunjukkan kualitas organisasi. Sehingga layak diterima oleh pemangku kebijakan sebagai sebuah pertimbangan.  

Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang tersebar di berbagai daerah, sejatinya menjadi bagian integral yang potensial dalam mekanisme konsultatif ini. Hanya saja kondisi madrasah yang belum sejahtera, ditambah dengan tekanan tugas sebagai institusi pendidikan, menjadi problem awal yang perlu diselesaikan. Tanpa itu sukar untuk mengharapkan madrasah bekerja lebih, sebagai pusat pengetahuan. Kedua usaha ini sekaligus menjadi bekal untuk Perti. Sebagai organisasi yang akan berusia satu abad, sudah selayaknya pula Perti kembali pada sejarahnya, menjadi bagian dari pengembangan pengetahuan dan kajian keislaman yang berkontribusi konkret untuk masyarakat dan pemerintah. Sehingga tantangan dalam pembangunan Indonesia dapat turut dituntaskan. (*)

Robby Kurniawan, Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang, Jamaah Perti

Tag:

Baca Juga

Gamawan Fauzi
Semua Ada Akhirnya
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Gosip Online
Gosip Online
Jokowi Sumbar, pengamat,
Dinamisnya Pencalonan Presiden
Medsos, Reuni dan Perceraian
Medsos, Reuni dan Perceraian