Langgam.id - Puluhan pelajar SMA di Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota berdiskusi soal pewarisan ingatan PDRI, Rabu (14/12/2022). Mereka mengikuti rangkaian Festival PDRI 2022, "Menikam Jejak Budaya Zaman PDRI".
Diskusi yang dipandu oleh Trisha Adhelia tersebut menghadirkan narasumber pemerhati sejarah, Randi Remeina.
Randi menekankan dua aspek penting soal pewarisan ingatan kolektif soal PDRI. Utamanya, kata lulusan sejarah Universitas Andalas ini, perlu ada refleksi bagaimana kita melihat perjuangan PDRI.
"Pembicaraan mengenai sejarah PDRI cenderung berhenti ‘hanya’ sampai pada sebagai penyelamat Republik," ujar Randi. Padahal lanjutnya, sejarah itu adalah sebuah proses.
PDRI tidak terlepas dari banyak hal di luar dirinya. PDRI itu penting, tapi itu bukan satu-satunya sejarah yang bisa membuat Indonesia merdeka. Ada faktor geografis, ada faktor internasional, dan seterusnya.
Poin pertama yang juga harus diingat dan diwariskan, kata Randi, adalah bagaimana melihat PDRI sebagai bagian etos Revolusi Indonesia.
"PDRI adalah bagian dari Revolusi nasional Indonesia di mana kesetaraan dan ide-ide kerakyatan menjadi etosnya. Ini tampak dalam slogan yang ramai pada masa itu yaitu “Daulat Rakjat”. Para penggawa PDRI juga tampak memegang etos tersebut, terutama soal kedaulatan, dan kesetaraan. Buktinya adalah PDRI menolak perundingan Roem Roijen, karena mereka menilai perwakilan Indonesia berada dalam posisi tidak setara dengan negara lain," tutur penulis artikel sejarah itu.
Selain itu, sebagai bagian dari Revolusi Indonesia, PDRI juga adalah bagian dari semangat anti-imperialisme Dunia Ketiga. Dimana negara-negara dunia ketiga menginginkan tatanan dunia yang tidak ada bangsa boleh lagi menjajah negara lain.
Kedua, bersinggungan dengan kehidupan pelajar yang menjadi peserta diskusi, PDRI merupakan bentuk perjuangan organisasi modern. Dimana hal ini berbeda dengan jenis-jenis perjuangan di masa yang lebih awal.
"Dahulu seperti perjuangan Diponegoro, atau Padri dan lainnya, organisasinya bercorak patron-klien. Sedangkan perjuangan PDRI diorganisir secara modern. Karena itu PDRI berumur lebih lama, dan punya efek yang signifikan,” ujar pria yang biasa disapa Bandit itu mengutip Meztika Zed.
Di sini, ulasnya, ada kekuatan gabungan dari pemerintah dan rakyat. Sebuah organisasi pemerintahan yang dikelola secara modern.
"Di masa itu, akar perjuangan itu salah satunya adalah pelajar. Dan perjuangan ini menjadi penting untuk diperhatikan pelajar saat ini," kata Randi.
Beberapa pejuang PDRI dan pejuang Revolusi lainnya, menurut Randi berasal dari organisasi-organisasi pelajar di masa kolonial. Di sana mereka belajar pentingnya organisasi sebagai alat perjuangan.
Festival PDRI 2022 tahun ini turut diisi dengan diskusi soal peranan surau dan sasaran silat di era Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Pemerhati sejarah Kabupaten Limapuluh Kota Syaiful Guci, dan dosen sejarah Universitas Andalas Dr. Zulqayyim M.Hum menjadi pengampu diskusi, di Agamjua Payakumbuh, Rabu (14/12/2022).
Syaiful Guci menjelaskan, surau selain sebagai tempat ibadah di Minangkabau, juga punya fungsi sosial kemasyarakatan. Di antaranya, surau juga menjadi tempat musyawarah, mengajarkan adat, sopan santun, serta sebagai sasaran silat.
Jika merunut istilah surau sendiri kata Syaiful, hal itu terbagi atas dua suku kata. Pertama kata "Su" yang berarti badan diri. Dan "Rau atau Rao" yang berarti tempat mengaji diri.
"Artinya, surau adalah orang yang melakukan kajian kebatinan dengan dirinya dan dengan alam yang disebut 'Alam Takambang Jadi Guru'," jelas Syaiful dalam kertas kerjanya.
Di masa PDRI, tuturnya, surau menjadi basis utama perjuangan. Di sanalah para tokoh PDRI melakukan musyawarah, berkomunikasi, dan mengambil keputusan. Di sana pula, para pejuang dan laskar-laskar mempelajari silek.
Bahkan tutur sejarawan 50 Kota itu, surau juga menjadi tempat deklarasi PDRI, yakni Surau Tadah di Halaban.
"Surau Tadah di Jorong Lambuak, Nagari Halaban adalah tempat Syafruddin Prawiranegara mendeklarasikan PDRI tanggal 22 Desember 1948," katanya.
Kini orang berkunjung ke jorong Tegal Rejo atau Parak Lubang, lokasi pemancar radio Angakatan Udara Republik Indoesia (AURI).
Peneliti sejarah Universitas Andalas, Zulqayyim juga menjelaskan pentingnya surau dalam perjuangan PDRI. "PDRI berkantor di Surau, para pejuang melakukan komunikasi melalui Radio sembari berpindah-pindah dari hutan ke hutan," ujarnya.
Mengutip Mestika Zed dalam buku "PDRI Mata Rantai Sejarah Yang Terlupakan," Dosen Unand itu mengatakan bahwasanya pusat pemerintahan PDRI tidak diketahui pasti.
"Somewhere in the jungle (suatu tempat di hutan), karena pemerintah PDRI itu selalu bergerak-gerak menggunakan mobil," tutur Zulqayyim.
Pada masa perjuangan itu, masyarakat di Limapuluh Kota lah yang membantu perjuangan PDRI. "Orang-orang kampung yang memberi makan, yang membantu Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan," katanya.
Rangkaian Festival 2022 ini juga menggelar kegiatan napak tilas yang diikuti oleh anak silek di Kota Payakumbuh dan Limapuluh Kota. Ada pula lomba Apresiasi Museum PDRI Koto Tinggi.
Festival juga melakukan sayembara lomba esai tokoh PDRI. Sejarawan Fikrul Hanif, Sastrawan Heru Joni Putra, dan Hendra Makmur Jurnalis Sejarah menjadi Kurator/Dewan Juri dalam kesempatan tersebut.
Fikrul Hanif menyebutkan bahwa animo masyarakat dalam menulis tokoh PDRI ini lumayan booming. Biasanya kata sejarawan itu, lomba esai berhenti di 40-50 peserta.
"Kita terkejut artikel yang masuk bisa membuncah. Banyak penulis itu dari kalangan belia seperti pelajar dan mahasiswa," ucap Fikrul.
Namun, dari kebanyakan tulisan masuk 30 artikel lebih menulis soal sosok Sjafruddin Prawiranegara. Dosen Prodi Sejarah STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh itu menjelaskan, dari perlombaan tersebut, mereka ingin memunculkan cerita atau tokoh baru dalam penulisan sejarah PDRI.
"Kita sebenarnya ingin memunculkan cerita tokoh-tokoh lokal yang tidak tercover oleh buku-buku soal PDRI," ujar Fikrul.
Dia menyebutkan tokoh seperti A.A Maramis, Sutan Muhammad Rasyid, Tengku Muhammad Hasan, Syech Abdullah Abbas Padang Jopang.
"Itu yang sebenarnya kita harapkan lebih banyak muncul. Tapi dari draf yang kami jurikan, hanya sekitar 5% yang mengangkat tokoh-tokoh ini," ujar Fikrul.
Sedangkan untuk poin penilaian, karena yang diminta oleh Dinas Kebudayaan Sumatra Barat adalah ketokohan, faktor utama yang menjadi titik tolak adalah latar belakang tokoh.
"Ia dilahirkan kapan, bagaimana perjalanannya, dan apa yang mendorong dia di masa kemerdekaan itu tiba-tiba bisa muncul sebagai tokoh," kata penulis buku "Menuju Lentera Merah" itu.
Satu lagi, ujarnya, dia menginginkan ada sisi humanis tokoh-tokoh PDRI itu yang keluar. "Misal, Sjafruddin bagaimana sih ketika berjumpa dengan orang-orang kecil. Itu yang kita lihat luput dari para penulis artikel," ucap Fikrul.
Baca Juga: Napak Tilas, Anak Silek di Payakumbuh dan 50 Kota Tikam Jejak Budaya Zaman PDRI
Dari 30 lebih artikel yang menulis Sjafruddin Prawiranegara, para juri kurang melihat ada sisi lain Sjafruddin yang dikeluarkan. Sedangkan untuk 5 terbaik, kata Fikrul ada sesuatu baru yang dibawa. Misal tulisan Yose Hendra yang menceritakan kisah Tamimi dan Yacoeb sang penjaga Mercusuar.
Tulisan-tulisan terbaik di atas nantinya mereka harapkan dapat membawa warna lain, dari apa yang telah ditulis oleh para sejarawan.