Langgam.id - Sekalipun belum menyebut nama partainya, mantan Ketua Umum PAN Amien Rais sudah menyatakan akan segera membentuk sebuah partai baru bercorak Islam.
Terlepas apapun latar belakang pembentukannya, kehadiran partai baru Amien tentu saja akan menambah deretan partai-partai Islam yang akan bertaruh menghadapi agenda politik mendatang.
Padahal beberapa waktu sebelumnya, sudah muncul pula beberapa partai atau cikal partai yang notabene juga mewakili aspirasi umat. Selain kehadiran Partai Gelora, yang menjadi semacam “pecahan” PKS, beberapa politisi dan aktivis Islam lainnya juga sudah atau sedang mematangkan kelahiran “Masyumi Reborn” yang mengaku memiliki “tali darah” dengan Masyumi, partai Islam terbesar dekade 1950-an.
Tentu saja sangat tidak mudah bagi partai-partai Islam baru di tengah fragmentasi politik keumatan dewasa ini. Mereka tidak hanya harus bersaing dengan partai-partai Islam yang relatif sudah lebih “mapan”, seperti PPP dan PKS, tetapi juga partai berbasis massa Islam, seperti PKB dan PAN, alih-alih bersaing dengan partai nasionalis yang mendominasi panggung politik Indonesia dewasa ini.
Oleh karena itu dalam batas tertentu mungkin menarik juga menyimak kembali ide aktivis Islam Din Syamsuddin beberapa waktu lalu tentang partai Islam tunggal yang diperlukan sebagai wadah aspirasi umat.
Din mengatakan adanya satu partai Islam yang besar diperlukan dalam proses pengambilan keputusan strategis kenegaraan, baik di legislatif maupun eksekutif.
Gagasan satu partai Islam tentu bisa dianggap sebagai ide yang baik, sekalipun juga tidak mudah. Betapa idealnya seluruh kekuatan dan aspirasi Islam politik di Indonesia mengejewantah dalam satu partai saja.
Begitu pula di sisi lain, aspirasi politik nasionalis dan minoritas non-Islam lainnya bisa pula menyatu dalam satu atau dua partai, sehingga kelak negeri kita hanya punya dua atau tiga partai saja, seperti di banyak negara demokrasi maju lainnya.
Sejarah Partai Islam
Soal satu partai Islam, jika merujuk ke sejarah awal Indonesia, kita memang pernah punya satu partai sebagai wadah aspirasi Islam politik, yakni Masyumi, yang di dalamnya terdapat berbagai unsur politik umat Islam.
Namun sayang umurnya singkat saja, karena menjelang Pemilu 1955, unsur NU, Perti dan lainnya keluar dari Masyumi dan menyatakan berdiri sendiri sebagai partai politik Islam (Noer, 1987).
Melihat latar belakang historis semacam itu, gagasan partai tunggal Islam memang memiliki presedennya sendiri, sekalipun usianya relatif singkat.
Latar belakang agak berbeda terjadi pada partai beraliran nasionalis di mana sejak awal memang tak ada partai tunggal yang mengakomodasi seluruh elemen nasionalis. PNI, Murba, PSI, IPKI, PRN, dan banyak lainnya sejak awal memang sudah berdiri sendiri-sendiri sebagai partai (Feith, 1957).
Banyaknya partai Islam mencerminkan pluralitas aliran politik pada masyarakat Islam Indonesia. Masyumi misalnya dianggap mewakili kelompok Islam modernis; NU mewakili Islam tradisionalis; Perti mewakili Islam tradisional khususnya dengan basis di wilayah luar Jawa; dan beberapa lainnya.
Partai-partai Islam tersebut pernah pula kompak menghadapi kubu nasionalis pada sidang-sidang di Konstituante tahun 1950-an untuk merumuskan (kembali) dasar negara.
Namun ketika sidang-sidang itu kemudian menemui “jalan buntu” dan Presiden Soekarno menyatakan kembali ke UUD 1945, aspirasi Islam politik pun mulai “terpecah”.
Masyumi sebagai partai Islam terbesar malah kemudian dibubarkan karena tokoh-tokohnya dianggap terlibat pemberontakan PRRI (1958-1961). Semasa Demokrasi Terpimpin (1958-1965) eks Masyumi tak bisa berkutik, bahkan sebagian dipenjarakan.
Sementara NU dan Perti justru mengambil jalan “kompromistis” terhadap sistem otoritarian, bahkan ambil bagian dalam pemerintahan “Nasakom”.
Setelah Pemerintahan Soekarno jatuh dan kemudian Orde Baru tampil sebagai penguasa baru, ada usaha merehabilitasi Masyumi, tapi ternyata penguasa militer tak memperkenankannya.
Untuk mengakomodasi aspirasi kelompok modernis, Soeharto dan militer merestui wadah baru bernama Parmusi yang notebene sudah “disterilkan” dari anasir-anasir Masyumi lama, sehingga pada pemilu 1971, pemilu pertama Orde Baru, suara partai Islam modernis ini kalah jauh dari Golkar sebagai partai pemerintah.
Pada 1973, rezim militer Orde Baru malah memaksa semua partai Islam melakukan fusi dalam wadah PPP. Tujuan penguasa sudah tentu bukan untuk menjadikan PPP sebagai wadah otentik aspirasi politik umat atau “rumah bersama umat Islam”, tetapi justru untuk dengan mudah “dikerdilkan” dan dikendalikan demi stabilitas politik untuk mendukung pembangunan ekonomi sebagai basis legitimasi kekuasaannya.
Pada awal 1980-an, pemerintah bahkan memaksa semua partai dan organisasi berasaskan Pancasila yang telah dikukuhkan sebagai Asas Tunggal. PPP pun mengganti asas partainya dari Islam ke Pancasila dan juga lambangnya dari gambar Ka’bah ke bintang. Sejak itu, identitas Islam PPP makin terkikis.
Alhasil pada pemilu-pemilu Orde Baru berikutnya suara partai yang notabene “rumah besar” umat Islam itu makin melorot.
Ketika memasuki era reformasi dan demokrasi multipartai, muncul kembali banyak partai Islam. Ada sejumlah partai baru yang dianggap punya “tali darah” dengan partai Islam lama (dekade 1950-an).
Namun dari sekian partai baru yang punya hubungan “tali darah” dengan partai Islam lama itu, tak satu pun masuk “papan atas”. Termasuk PKB, yang kelahirannya “dibidani” NU dan PAN yang kemunculannya diinisiasi tokoh-tokoh Muhammadiyah, sekalipun kedua partai ini tidak lagi menyatakan dirinya sebagai partai Islam.
PBB yang kelahirannya di awal era reformasi juga diinisasi sebagian eskponen Masyumi lama bahkan sejak tiga pemilu terakhir gagal lolos ke Senayan. Pembubaran Masyumi enam dekade lalu dan proyek “deislamisasi politik” atau “depolitisasi Islam” selama 32 tahun Orde Baru sungguh memukul dan memecah eksistensi politik Islam, khususnya sayap “modernis”, yang pengaruhnya sangat terasa sampai sekarang.
Memang PPP, sebagai sisa proyek politik Islam Orde Baru masih bisa eksis. Namun apakah ke depan partai berlambang Ka,bah ini masih bisa mempertahankan raison d’ etre-nya? Hasil pemilu 2019 lalu justru menunjukkan hasil terburuk PPP sepanjang sejarahnya. Partai ini nyaris gagal ke Senayan.
Selanjutnya PKS sebagai partai yang lahir dari “rahim” reformasi ternyata pamorya juga naik turun. PKS bertahan sebagai partai “papan tengah” saja. Walaupun dianggap memiliki organisasi yang solid dan kader militan, namun dengan kehadiran Partai Gelora menunjukkan partai “dakwah” tersebut juga tidak imun dari perpecahan, sebagai salah satu masalah pelik partai pasca Orde Baru.
Sebab utama lainnya, banyak aktivis Islam yang punya “tali darah” dengan spektrum Islam politik lama justru memilih mendirikan dan bergabung dengan partai non-keagamaan, seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasdem, Hanura, Perindo dan PSI.
Sebagian kecil bahkan ke PDIP. Peran politik mereka tak hanya mencerminkan perubahan orientasi politik umat Islam, tetapi juga menggerus basis-basis pendukung partai Islam.
Fusi Partai
Bagaimana mungkin menyatukan semua partai Islam yang beragam tersebut di tengah perubahan “zeitgeist” (jiwa zaman)? Memang kalau menyimak gejala perpolitikan nasional dewasa ini khususnya dua Pilpres terakhir, kesannya semua elemen Islam politik yang ada bisa saja disatukan.
Apa yang dalam batas tertentu dianggap sebagai rivalitas kubu “Islamis” dan “nasionalis” sebagai perwujudan persaingan “politik identitas” yang kuat dalam Pilpres lalu bisa saja kemudian dianggap sebagai pijakan awal untuk merintis pembentukan kesatuan-kesatuan politik besar.
Namun tentu saja hal itu masih merupakan gejala dini, permukaan dan temporer sekali. Sebab karakter pokok partai-partai dan politisi yang ada, termasuk partai dan politisi Islam, adalah pragmatisme tinimbang idiologi yang “ketat”.
Alih-alih menyatukan semua partai Islam, yang sering dan nampaknya terus berulang justru saling silang kepentingan politik jangka pendek yang berangkat dari realitas makin kaburnya perbedaan platform dan idiologi partai-partai politik yang ada.
*Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas