Parasit di Perguruan Tinggi Itu Bernama Feodalisme

Oleh: Habibur Rahman

Feodalisme yang umumnya dalam diskursus selalu dikaitkan pada struktur sosial abad pertengahan, di mana kekuasaan dan hak istimewa terkonsentrasi di tangan segelintir elite, tampaknya memiliki relevansi yang justru kerap kita sadari dalam konteks perguruan tinggi.

Meskipun dunia akademik seharusnya mencerminkan serta memperlihatkan kepada kita idealisme meritokrasi dan egalitarianisme, beberapa praktik dan struktur dalam universitas kontemporer menunjukkan adanya sisa-sisa feodalisme yang berakar pada kekuasaan yang hierarkis dan relasi yang tidak setara antara dosen, mahasiswa, dan begitu juga administrasi.

Secara historis, feodalisme dikenal sebagai sistem ekonomi dan politik yang melibatkan pemberian tanah oleh raja atau bangsawan kepada vasal sebagai imbalan atas kesetiaan dan layanan militer.

Dalam konteks perguruan tinggi, konsep feodalisme tidak dapat diartikan secara harfiah, tetapi lebih berfungsi sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana kekuasaan terkonsentrasi dan bagaimana hubungan patron-klien terbentuk antara dosen, mahasiswa, dan juga pejabat universitas.

Karena itu, Robert Alexander Nisbet seorang profesor di University of California Berkeley, Amerika Serikat mengatakan bahwa "usaha apa pun untuk memahami iklim akademik kontemporer harus dimulai dengan pengakuan atas dua fakta yang sangat penting, yang pertama adalah struktur universitas yang bersifat aristokratik, dan bahkan feodal, dan juga hubungan historisnya dengan tatanan sosial," ungkapnya.

Perhatikan baik-baik ungkapan mengenai pengakuan dua fakta yang dibeberkan oleh Robert di atas, salah satunya "feodal" dalam pernyataan tersebut. Mengindikasikan bahwa praktik itu sedari lama sudah mengakar dalam model kampus kontemporer hari ini.

Di samping itu, dalam perguruan tinggi, relasi kekuasaan yang tidak setara tampak jelas antara dosen dan mahasiswa. Dosen sering kali memegang otoritas penuh dalam menentukan penilaian, memberi kesempatan riset, dan memandu karier mahasiswa.

Relasi ini bisa menjadi problematik jika otoritas dosen digunakan secara sewenang-wenang, yang menyebabkan mahasiswa berada dalam posisi yang rentan dan dependen secara struktural.

Teori kekuasaan dari Max Weber bisa digunakan untuk memahami fenomena ini. Weber membedakan tiga tipe kekuasaan: kekuasaan karismatik, tradisional, dan legal-rasional. Dalam konteks perguruan tinggi, kekuasaan tradisional dan legal-rasional sering kali berperan penting.

Kekuasaan tradisional muncul dari budaya dan praktik yang telah berlangsung lama, di mana dosen dipandang sebagai sosok otoritatif yang tak terbantahkan. Sementara itu, kekuasaan legal-rasional muncul dari aturan formal dalam institusi pendidikan yang memberikan dosen otoritas dalam menentukan kurikulum, evaluasi, dan disiplin akademik.

Hierarki dalam universitas juga mencerminkan struktur feodal, di mana ada tingkatan tertentu yang harus dilewati sebelum mencapai puncak kekuasaan akademik. Dosen muda atau staf pengajar non-permanen sering kali berada di lapisan bawah, sementara profesor penuh atau mereka yang memegang posisi administratif memiliki kekuasaan yang lebih besar.

Hal ini serupa dengan struktur sosial feodal di mana bangsawan rendah tunduk pada bangsawan tinggi, dan kekuasaan berjenjang dari bawah ke atas.

Feodalisme akademik juga tercermin dalam sistem patronase yang sering terjadi antara dosen dan mahasiswa. Dalam banyak kasus, mahasiswa atau asisten riset sangat tergantung pada dosen untuk mendapatkan bimbingan, dana penelitian, dan rekomendasi untuk karier masa depan.

Relasi ini dapat dianalisis melalui teori dependensi, yang dikembangkan oleh Theotonio Dos Santos dalam studi ekonomi politik. Dalam konteks perguruan tinggi, mahasiswa berada dalam posisi yang dependen terhadap dosen atau pembimbing akademik mereka, sehingga relasi yang terbangun sering kali bersifat asimetris.

Jika dilihat lebih jauh, sistem ini menciptakan pola relasi patron-klien, di mana mahasiswa bertindak sebagai "klien" yang membutuhkan dukungan dari "patron", yaitu dosen. Dalam kondisi ideal, hubungan ini dapat saling menguntungkan, tetapi dalam banyak kasus, ketimpangan kekuasaan menyebabkan eksploitasi.

Contohnya, ada kasus di mana mahasiswa dipaksa untuk bekerja berlebihan dalam proyek penelitian dosen tanpa kompensasi yang memadai, atau bahkan mengalami pelecehan kekuasaan di lingkungan akademik.

Selain hubungan kekuasaan antara dosen dan mahasiswa, feodalisme di perguruan tinggi juga dapat dilihat dalam struktur birokrasi universitas. Otonomi akademik sering kali dikorbankan demi kepentingan administrasi atau pejabat universitas yang memegang kendali atas anggaran dan kebijakan.

Michel Foucault, melalui konsep kekuasaan dan pengetahuan yang dihadirkannya, dapat membantu menjelaskan bagaimana institusi seperti universitas mengendalikan produksi pengetahuan dan mengawasi aktivitas akademik melalui mekanisme birokrasi.

Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya beroperasi secara langsung melalui kekerasan atau ancaman, tetapi juga melalui pengetahuan dan norma yang diterapkan secara halus.

Di universitas, kekuasaan ini berwujud dalam regulasi ketat terkait penerbitan, pembagian dana penelitian, hingga evaluasi kinerja dosen. Dengan demikian, mereka yang berada di puncak hierarki universitas sering kali memiliki kontrol atas arah intelektual dan riset akademik.

Dampak dari feodalisme akademik bisa sangat merusak. Mahasiswa mungkin merasa terperangkap dalam sistem yang tidak memberikan kebebasan akademik sepenuhnya. Mereka mungkin takut untuk bersuara atau mengkritik dosen atau institusi karena khawatir dengan konsekuensi karier mereka.

Selain itu, dosen-dosen muda yang masih berusaha mendapatkan posisi permanen sering kali terpaksa mengikuti aturan yang sudah ada dan enggan melakukan inovasi karena takut kehilangan kesempatan naik jabatan.

Fenomena ini menghambat terciptanya lingkungan akademik yang sehat dan progresif, di mana seharusnya diskusi intelektual dan kebebasan berpikir menjadi prioritas. Mengatasi feodalisme akademik membutuhkan perubahan struktural dan kultural dalam universitas. Otonomi akademik perlu dijaga, dan regulasi yang lebih adil dan transparan harus diterapkan untuk melindungi kepentingan mahasiswa dan dosen.

Feodalisme di perguruan tinggi adalah masalah yang kompleks, mencakup relasi kekuasaan, patronase, dan hierarki birokratis. Penggunaan teori kekuasaan Weber, teori dependensi Dos Santos, dan analisis kekuasaan Foucault membantu kita dalam melihat lebih jauh ataupun memahami bagaimana struktur akademik sering kali mencerminkan bentuk-bentuk feodalisme yang tidak sehat.

Dengan mendorong otonomi akademik yang lebih besar, memperbaiki sistem evaluasi, dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, perguruan tinggi dapat membebaskan diri dari praktik-praktik feodal yang menghambat perkembangan intelektual.

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.

Baca Juga

Islam dan Barat dalam Perspektif Orientalisme Kontemporer
Islam dan Barat dalam Perspektif Orientalisme Kontemporer
Filsafat sudah menjadi bahan pembicaraan dan konteks diskusi yang digandrungi oleh berbagai kalangan di Indonesia saat ini. Bahkan dari
Filsafat Timur: Kearifan Pergumulan Pemikiran dari Dunia Timur
Ungkapan "suara rakyat, suara Tuhan" sering kita dengar untuk menggambarkan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi.
Vox Populi, Vox Dei: Harapan Luhur di Tengah Manipulasi Realitas
Langgam.id - KPK RI menetapkan Nagari Kamang Hilia, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam masuk 10 besar Desa Antikorupsi 2022.
Mencegah Korupsi Sejak Dini: Pentingnya Peran Pendidikan
Sebelum memahami hubungan antara misionarisme, orientalisme, dan kolonialisme, penting untuk terlebih dahulu mendefinisikan masing
Dinamika Tiga Poros: Misionarisme, Orientalisme, dan Kolonialisme di Dunia Timur
Stop Korupsi, Bangun Perilaku Antikorupsi Demi Masa Depan yang Lebih Baik
Stop Korupsi, Bangun Perilaku Antikorupsi Demi Masa Depan yang Lebih Baik