Paradoks Babi dalam Tradisi di Ranah Minang

Paradoks Babi dalam Tradisi di Ranah Minang

Kegiatan berburu babi di salah satu nagari di Sumbar. (Foto: Doc. Hendra)

Langgam.id - Cerita soal babi kembali jadi perhatian sejak pekan lalu. Berawal dari penggerebekan sate yang dijual Bustami dan istrinya, di kawasan Tugu Api Simpang Aru, Kota Padang, pada Selasa (29/1/2019).

Hari itu, puluhan tusuk daging sate disita petugas Pemerintah Kota Padang. Sate yang mereka jual ditenggarai berbahan baku babi.

Singkat cerita, sate yang dijual Bustami positif daging babi berdasarkan hasil uji labor yang dilakukan Balai Veteriner Bukittinggi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI pada 29 Januari 2019.

Kini, kasus ini sedang ditangani Polresta Padang. Polres menyatakan, masih harus memeriksa ulang dugaan penggunaan daging babi oleh para pedagang.

Sementara itu, Wali Kota Padang Mahyeldi mengingatkan para pedagang yang menjual makanan yang mengandung bahan dari babi atau sejenisnya agar memberikan label haram pada makanannya, atau di tempat ia berdagang.

"Jadi, untuk Kota Padang, yang cocok itu adalah memberi label haram pada makanan yang mengandung bahan dari babi. Bukan memberi label halal pada makanan yang tidak punya unsur babi. Karena, makanan kita pada umumnya halal," ujar Mahyeldi sebagaimana diduplikasi dari rilis Humas Pemko Padang.

Babi yang haram dalam hukum Islam dan kemudian diadopsi oleh adat Minangkabau, dalam mekanisme adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah, sudah hidup dalam keseharian semua orang Minang. Bagi orang Minang, mengunyah babi, apa lagi memakannya adalah pantangan.

Namun, tak bisa ditampik, banyak lelaki Minang selalu 'merindukan' hewan pengerat itu, saban pekan.

Babi merupakan objek yang hidup dalam tradisi dan kehidupan sosial orang Minang. Hewan ini dicari, masuk rimba, keluar hutan, naik bukit, menuruni lembah, dan menyusuri sungai.

Babi diharapkan keluar dari rimba raya, di saat hari-hari perburuan itu. Mereka adalah orang-orang paburu, sebutan Orang Minang untuk para pemburu babi.

Populasi paburu di Ranah Minang cukup tinggi. Dengan hitungan sederhana, nyaris tiap nagari di Minang, mengirimkan orang-orang paburu ke gelanggang perburuan tiap Minggu, bahkan ada tiga kali sepekan.

Ada yang menyebut, paburu yang berhimpun di bawah bendera Persatuan Olahraga Buru Babi (PORBI) populasinya mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang. Meski, secara jumlah pasti tidak bisa disebutkan karena belum ada pendataan sahih.

Heri Soeprayogi meneliti tradiri buru babi dan menulisnya jadi laporan berjudul 'Kajian Antropologis Terhadap Permainan Rakyat Minangkabau Sebagai Salah Satu Pembentuk Identitas Budaya di Sumatera Barat'.

Mengutip Danandjaja, dia menyebutkan, berburu babi merupakan permainan rakyat yang telah jadi bagian dari kehidupan budaya dan masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat. Ia telah menjadi budaya kolektif.

Aktivitas budaya ini merupakan satu bentuk folklor yang masih terpelihara dengan baik. Hal itu karena hingga saat ini, permainan rakyat ini terus diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Folklor merupakan sebagian kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun.

Salah satu budaya yang turun itu adalah solidaritas antar sesama pemburu. Di kalangan masyarakat Minangkabau, pemburu disebut badunsanak (bersaudara).

Petuah adat menyebutnya sebagai, "Rimbonyo satumpak, anjiangnyo saikua, galahnyo sabatang, rantainyo sarawan, badianyo salareh."

Kepuasan bagi orang yang hobi berburu babi adalah babi banyak keluar dari peraduan, lalu anjing-anjing mengejar agresif, melewati lembah demi lembah, bukit demi bukit, hingga akhirnya babi dapat dlumpuhkan.

Kemudian, saat anjing pulang kembali kehadapan tuannya dengan nafas tersengal-sengal, mulut telah dipenuhi darah.

Zainal Arifin dari Jurusan Antropologi Universitas Andalas Padang dalam Jurnal Humaniora terbitan bulan Februari 2012 menyebutkan, buru babi adalah politik identitas laki-laki Minangkabau dalam adat matrilineal.

Ia menulis, buru babi bukan hanya bertujuan membunuh hama tanaman itu. Bukan juga dilandasi motif ekonomi untuk menjual daging babi.

Berburu babi, selain membantu petani atau pun peladang dari ancaman kerusakan tanaman juga membangun solidaritas. Berburu jadi media membangun kesadaran kolektif dan solidaritas tingkat tinggi, bahkan egaliter.

Di pusat konsentrasi buru babi yang sering disebut sasaran, masyarakat setempat juga dapat kesempatan untuk mendapatkan uang. Mereka biasanya membuka warung nasi dadakan dan berbagai penganan. Ekonomi pun menggeliat.

Karena itu, buru babi kemudian selalu jadi pengisi laman-laman Bukit Barisan yang terhampar luas sepanjang Sumatera Barat. Bahkan, tradisi ini berkembang hingga ke daerah tetangga Riau dan Jambi.

“Di Jawa Barat, orang Minang yang umumnya pedagang juga sering menggelar acara buru babi,” kata Fatriz, salah satu pemburu.

Sementara di Sumbar sendiri, buru babi buru babi bisa yang dilakukan secara bergilir di tiap nagari berdasarkan kalender PORBI Sumbar atau atas kesepakatan para pecandu buru babi di daerah yang saling berdekatan.

Hal ini yang membuat buru babi jadi agenda rutin dalam keseharian masyarakat Minangkabau.

Maknya, menurut Fatriz, selain hari Jumat, buru babi dapat ditemui di berbagai kawasan di Minangkabau. Orang yang menggeluti dunia buru babi disebut dengan pecandu buru. Sementara orang yang ahli di bidang itu disebut muncak buru.

Topografis Bukit Barisan yang tinggi-rendah, dihiasai lembah dalam-dangkal, dipenuhi semak belukar dan rimbun pepohonan, menjadi tempat dinamis bagi alek buru babi.

Tiap perbukitan di nagari tidaklah sama, sebab itu aksesnya pun dengan cara berbeda-beda.
Namun,lebih banyak di bukit-bukit dengan kontur mendaki dan lembah menurun yang tajam.

Meski pun demikian, kondisi ini tak menyurutkan libido pecandu buru babi untuk menunjukan kebolehan masing-masing anjing mereka.

Sebuah agenda berburu du sebuah nagari, menurut Fatriz, bisa diikuti ribuan orang dari berbagai daerah.

Pecandu buru, katanya, bukan hanya mereka yang biasanya bekerja sebagai petani atau tukang ojek, tapi juga para pejabat, polisi, tentara, dan juga mereka yang bekerja di ruang agama.

“Salah satu kepala KUA, sering ikut berburu dengan saya. Ia pecinta alam, dan juga hobi menyaksikan anjing berkejar-kejaran. Dan sering juga dia membawa anjing. Para pemburu juga diantaranya ada pak haji,” tukas Fatriz.

Menjadi bagian dari komunitas pemburu sejatinya adalah simpul komunalitas yang terasa begitu hidup.

Tidak terasing dalam debat kusir di warung-warung tradisional, melainkan bagian dari perdebatan itu.

Dan sebuah kebanggaan jika anjing mereka disinggung begitu hebat di hari perburuan itu. (Yose Hendra/HM)

Baca Juga

The Balcone Suites & Resort
The Balcone Suites & Resort Mulai Beroperasi, Hotel Bintang 5 Pertama di Sumbar dengan Pemandangan yang Menakjubkan
Desa Wisata Muntei Mentawai Juara Satu ADWI 2023
Desa Wisata Muntei Mentawai Juara Satu ADWI 2023
Sebanyak 120 pemotor dari berbagai penjuru nusantara mengikuti Touring Merdeka Big Max Indonesia bertajuk Explore Sumatra pada Jumat
Ratusan Pemotor dari Berbagai Penjuru Nusantara Jelajahi Wisata Sumbar
Bagi anda yang ingin berlibur di Sumatra Barat (Sumbar) pada Agustus 2023 nanti, ada banyak beragam iven pariwisata yang digelar pada
Berlibur di Sumbar, Ini Event Wisata yang Bisa Disaksikan di Agustus 2023
Pariwisata di Sumatra Barat
Punya 40 Destinasi Favorit, 11 Daerah di Sumbar Ini Sering Macet Saat Lebaran
Nyarai Masuk 75 Desa Wisata Terbaik, Sandiaga Dijadwalkan Berkunjung Pekan Ini
Nyarai Masuk 75 Desa Wisata Terbaik, Sandiaga Dijadwalkan Berkunjung Pekan Ini