Suatu hari, para istri Nabi SAW mematut-matut dan membandingkan tangannya satu sama lain. Itu terjadi setelah Nabi berujar bahwa istrinya yang paling awal menyusulnya adalah yang paling panjang tangannya. Maksudnya, yang paling awal meninggal dunia kelak.
Lantas diketahui, istri Nabi yang tangannya paling panjang adalah Saudah r.a, karena memang posturnya paling tinggi. Namun kemudian, sejarah membuktikan bahwa istri Nabi yang lebih dulu wafat adalah Zainab r.a., bukan Saudah (yaitu sepuluh tahun setelah Nabi wafat). Padahal, Zainab termasuk perempuan berperawakan kecil.
Apakah omongan Nabi meleset? Aisyah r.a. kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan panjang tangan oleh Nabi saat itu adalah yang paling gemar bersedekah, bukan yang posturnya tinggi. Kenyataannya memang, Zainab adalah istri Nabi yang paling gemar bersedekah. Penjelasan ini bisa dibaca dalam Sahih Bukhari.
Keterangan tersebut jadi satu bukti bahwa untuk memahami teks Hadis, termasuk Alquran, tak cukup hanya dengan cara tersurat. Alquran dan Hadis itu adalah teks. Setiap teks punya metodenya sendiri, punya kaidahnya sendiri. Maka untuk memahami setiap teks, perlu memahami kaidahnya lebih dulu.
Bayangkan kalau tanpa kaidah yang tepat! Frasa "tangan yang paling panjang" (teks hadisnya: athwalukunna yadan) akan dipahami sebagai panjang tangan secara fisik (postur). Terbukti pemahaman seperti itu meleset.
Dalam kajian kebahasaan Arab, “tangan panjang” itu masuk dalam pembahasan “majaz”, yaitu gaya bahasa yang menggunakan kiasan dan metafora, untuk menampilkan kesan keindahan dalam berbahasa. Majaz ini tidak hanya dibahas dalam ilmu balaghah, tapi juga ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tauhid, dan ushul fiqh. Ada banyak teks Alquran dan Hadis yang menggunakan gaya bahasa majaz ini.
Di telinga orang Indonesia, "panjang tangan" bermakna lain lagi. Itulah kiasan bagi orang yang suka mencuri. Bayangkan betapa "panjang tangan" yang makna awalnya sangat mulia bisa berubah jadi teramat nista, kalau metodenya sembrono.
Hal ini sekaligus mengisyaratkan agar pegiat ilmu-ilmu keislaman selayaknya juga mendalami ilmu sosial, ilmu alam, sastra, dan seterusnya. Para penstudi hadis, misalnya, juga perlu belajar sosiologi, sehingga bisa lebih tepat membedakan antara makna sosial “panjang tangan” di Arab dengan di Indonesia, misalnya. Demikian juga pada kasus-kasus lainnya.
Situasi pandemi korona ini adalah desakan kuat ke arah itu. Mengapa penjelasan medis seringkali ditentang oleh sebagian kalangan menggunakan dalil-dalil agama, padahal belum tentu relevan? Salah satunya, karena kita defisit pakar hukum Islam yang punya kemampuan medis, atau ahli kedokteran yang mampu menjelaskan dalil-dalil agama. Literasi keagamaan dan literasi kesehatan kita teramat pincang.
Ketika sebuah kebijakan publik diterapkan, tak jarang dibantai oleh sebagian kalangan menggunakan dalil-dalil keagamaan. Namun, ketika ditanya betul, apa solusi strategisnya menurut dalil yang dikemukakan itu? Kepala si penentang tadi langsung tertakur. Bingung, tak tentu mau berkata apa. Itu gejala betapa ahli agama kita mesti mengerti ilmu kebijakan publik, atau ahli kebijakan publik yang perlu meningkatkan wawasan keagamaannya.
Sejumlah lembaga pendidikan Islam sebenarnya sudah lama mengarah ke sini. Kita bisa temukan informasi dengan mudah bahwa di Universitas al-Azhar Mesir, misalnya, tidak sekadar terdapat Fakultas Sains dan Kedokteran, tetapi juga para syekh-nya yang ahli di bidang fikih sekaligus berlatar pendidikan sarjana kedokteran; atau para pakar tafsir dan hadis yang juga ahli teknik.
Prof. Quraish Shihab, pengarang Tafsir al-Misbah, berbagi pengalaman saat belajar di Universitas Al-Azhar. Ia belajar dan dibimbing oleh seorang pakar tafsir yang dulunya menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Sorbonne, Prancis. Cerita ini beliau tulis dalam pengantar bukunya, Rasionalitas al-Qur’an.
Itu contoh baik yang perlu ditiru oleh bangsa ini untuk pengembangan pendidikan. Hanya saja, informasi seperti ini kadangkala kurang berimbang di tengah masyarakat, sehingga mahasiswa Indonesia yang diutus ke kampus-kampus keagamaan ternama di luar negeri, rata-rata masuk fakultas keagamaan, dan amat minim masuk fakultas sains.
Minangkabau punya contoh spektakuler dalam hal ini. Lebih seabad silam, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mengkritik sistem kewarisan di tanah kelahirannya ini, seraya melabelinya dengan fatwa haram, fasiq, zindiq, ahli neraka, dan sebagainya. Kritik keras tersebut bisa dibaca dalam risalah yang beliau tulis sendiri dari tanah Makah, “al-Da’ al-Masmu’ fi Radd ala Man Yuritsu al-Ikhwah wa Awlad al-Ikhwah”.
Namun, Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul) menangkis kritikan gurunya itu dengan memberikan penjelasan sosiologis yang benderang tentang tanah di Minangkabau. Berangkat dari penelusuran sosiologisnya itu, Inyiak Rasul menyimpulkan bahwa kewarisan harta pusaka di Minangkabau tidak tepat disorot dengan fikih mawaris, tapi mestinya dengan fikih wakaf.
Dari telaah Inyiak Rasul inilah kemudian lahir konsep “Harta pusaka tinggi” dan “harta pusaka rendah” di Minangkabau. Penjelasan itu beliau tulis dalam kitabnya, “al-Fara’idh” dan disinggung pula di karangannya yang lain, “Sendi Aman Tiang Selamat”. Penjelasan Inyiak Rasul diikuti oleh sebagian besar ulama di Minangkabau, termasuk ulama-ulama yang sebelumnya berseberangan dengan beliau, seperti Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) dan Syekh Khatib Ali Padang.
Bahkan, Inyiak Canduang adalah salah satu ulama yang gencar mengampanyekan agar harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah ini diterapkan di Minangkabau, melalui konsep Pertalian Adat dan Syara’. Syekh Khatib Ali lah, menurut sebagian kalangan, yang pertama kali menerapkan konsep harta pusaka tinggi dan pusaka rendah ini.
Kalaulah boleh berandai-andai pada sejarah: jika fatwa Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dari Makkah sana diaminkan saja oleh ulama-ulama di Minangkabau (yang sebagian besar adalah muridnya sendiri) tanpa penelusuran sosiologis yang memadai, tentau sistem kewarisan harta pusaka tua ini sudah disepakati haram semenjak lebih dari seabad lalu.
Kalau sudah haram, maka semua tanah di Minangkabau ini mesti diserahkan ke negara. Oleh negara, harta itu boleh dijual kepada siapapun yang mau dan berpunya, lalu mereka bisa memperjual-belikannya lagi ke siapapun yang dimau.
Alur kewarisan “dari niniak turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan” tak bakal lagi ada. Semuanya tanah bisa dijual-belikakan sebebasnya. Tak ada lagi pusako tinggi. Jika itu terjadi, apa lagi yang tersisa dari Minangkabau hari ini?
Konsepsi Inyiak Rasul dkk. itulah yang—pada adat—menyelamatkan Minangkabau sampai sekarang. Minangkabau berhutang besar pada para ulama itu.[]
Nuzul Iskandar, Dosen Hukum Islam IAIN Kerinci