"Ibo hati awak. Nak mambaok anak-anak awak mandi basanyuik di Pangkalan, indak bisa le, olah abih usak sadonyo. Olah ilang tompek mandi tojun di Batang Ponji, dan aliran batang Maek nan lain".
Selarik pesan singkat lewat WhatsApp dalam bahasa Pangkalan Kota Baru, saya terima dari seorang teman yang sekarang menetap di Pekanbaru, Riau. Pesan yang jika ditranslate dalam bahasa Indonesia, kira-kira seperti ini : “Iba hati saya. Ingin membawa anak-anak mandi di sungai Pangkalan, tapi sudah tidak bisa lagi karena kerusakan aliran sungai. Sudah hilang tempat mandi di Batang Ponji dan aliran batang Mahat yang lain".
Rasa gundah gulana terasa dari pesan kawan tadi. Pangkalan Kota Baru, sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, sudah sejak bertahun-tahun lalu rusak karena praktek penambangan galian C. Batang sungai yang dulu dalam, tempat mandi dan mencari ikan anak-anak negeri sekarang sudah hilang. Selain pinggiran sungai yang sudah berubah menjadi dataran tanah gersang karena pasir dan kerikilnya dijarah, aliran yang tersisa juga sudah berubah warna menjadi sangat keruh.
Padahal, daerah aliran sungai ini sudah sedemikian dekat dengan kehidupan sosial masyarakat Pangkalan sejak ratusan tahun lalu. Salah satunya adalah tradisi Potang Balimau.
Dengan laju tingkat kerusakan seperti saat ini, siap-siap saja tradisi Potang Balimau tidak bisa diselenggarakan lagi dalam waktu lima sampai sepuluh tahun yang akann datang.
Sulit dipungkiri bahwa menambang galian C berupa batuan kerikil, dan pasir sungguh menggoda. Apalagi saat proyek inftrastruktur seperti proyek jalan tol yang sedang dibangun di Riau menjadi pasar yang siap menampung berapa pun pasokan galian C. Istilahnya galian C ini, “barang Tuhan yang diambil sekarang besok datang lagi dan semuanya akan menjadi uang.”
Tapi tentu praktek lancung ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ancaman kerusakan lingkungan yang sudah terjadi, dan mungkin akan semakin parah, tidak boleh dibiarkan. Masih belum lekang dari ingatan, betapa banjir besar yang melanda Pangkalan Kota Baru pada tahun 2017, 2018, 2019, dan terakhir Februari 2020 lalu. Sudah seperti hari raya, bencana ini datang setiap tahun. Banjir yang membuat ¾ kawasan Pangkalan Kota Baru teremdam. Ratusan rumah digenani air bah sampai atap, lahan pertanian rusak, ternak mati, bahkan ada yang merenggang nyama.
Soal kerugian, pada peristiwa banjir 2017 lalu, Badan Nasional Penganggulan Bencana mencatat kerugian akibat longsor dan banjir di Pangkalan Kota Baru dan Kabupaten 50 Kota mencapai Rp 252,9 miliar. Kerugian ini meliputi bidang pendidikan, pertanian, pekerjaan umum, perikanan, kesehatan, dan perdagangan.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten 50 Kota tentu tidak boleh abai dengan kabar buruk bencana banjir dan longsor yang rutin terjadi. Sudah menjadi kabar, bahwa bencana yang menyusahkan rakyat di Pangkalan Kota Baru karena praktek penambangan galian C.
Demikian juga dengan Kepolisian Daerah Sumatera Barat dan Polres 50 Kota, kerusakan lingkungan yang terjadi akibat galian C mesti diusut tuntas. Baik itu penambangan galian C yang lalu dan meninggalkan kerusakan, sedang berlangsung sampai sekarang, dan mengawasi perusahaan-perusahaan yang sedang atau sudah dapat izin. Tidak ada lagi argumentasi lain, dan sudah menjadi fakta di banyak daerah di Indonesia, bahwa galian C itu hanya memberi mudarat yang besar, dengan manfaat yang hanya dinikmati orang lain.
Selain itu, dengan itikad serius para pelaku penambangan, dan pemberi izin juga akan sulit berkelit dari peraturan perundang-undangan yang ada. Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan, pengrusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung/ tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Lalu, Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), dengan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menjelaskan dengan detail sanksi pidana bagi para pelaku kejahatan lingkungan.
Simak saja ketentuan pidana pelanggaran ketentuan dalam UU No 4 Tahun 2009:
1. Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan karena penyalahgunaan kewenangan berarti terdapat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik atau kepala daerah tersebut, dimana kewenangannya disalahgunakan. Hal terebut melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal 3. Sudah banyak kepala dearah yang diseret Komisi Pemberantasn Korupsi karena penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan.
Tentu selain pemerintah, dan lembaga penegak hukum, masyarakat dan warga perantau yang tergabung dalam Persatuan Keluarga Pangkalan (PKP) di banyak kota mulai lebih serius memperhatikan kampung halaman. Pangkalan Kota Baru harus dijaga dari praktek penambangan galian C. Pilihan yang yang mau tak mau harus dilakukan, jika tidak ingin bencana rutin seperti banjir besar dan longsor akan terus terjadi. Dan jika ini terus terjadi, Pangkalan Kota Baru akan hilang dari peta karena lenyap ditelan banjir besar dan kerusakan lingkungan alam.
Lalu, anak dan cucu kita nanti hanya mengenang Pangkalan Kota Baru, sebagai nagari yang indah, asri dan asyik untuk mandi di sungai. Semuanya hanya menyisakan catatan sejarah.
Yusra Hayati, Anak Nagari Pangkalan Koto Baru, Mahasiswi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)