Langgam.id - Hasil survei yang dilakukan oleh Spektrum Politika Institute pada September 2020 menyebutkan 39,9 persen masyarakat Sumatra Barat percaya Covid-19 merupakan konspirasi negara-negara besar di dunia.
Kepercayaan itu tidak hanya menunjukkan kaitannya dengan tingkat pendidikan, tetapi juga berkorelasi dengan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap penerapan protokol kesehatan yang dinilai belum maksimal yakni masih 60 persen (kompas.id, 5 Oktober 2020).
Sekalipun bisa diperdebatkan, namun temuan survei itu menarik sekaligus agak mengejutkan.
Masyarakat Sumbar yang sering dianggap memiliki pemikiran rasional dan terbuka, di mana di masa lalu banyak tokoh pemikir dan pendiri bangsa berasal dari Minangkabau, ternyata bagian cukup besar pada saat ini (hampir 40 persen!) justru percaya pada teori konspirasi yang sebenarnya tergolong sebagai “sains semu” (pseudoscience) yang “metodologi”-nya bertolak belakang dengan kaidah ilmiah atau ilmu pengetahuan.
Persepsi diri
Memang adanya persepsi diri atau anggapan umum bahwa masyarakat Minangkabau memiliki pandangan dan pemikiran lebih rasional, modern dan terbuka dalam batas tertentu menemukan sejumlah konfirmasinya, sekalipun juga bisa diperdebatkan.
Di masa kolonial, misalnya, Sumbar termasuk daerah luar Jawa pertama mendapatkan pencerahan lewat pendidikan Barat yang kemudian menghasilkan banyak tokoh yang menelurkan ide-ide modern untuk merintis Indonesia merdeka maupun keperluan masyarakat bangsa pada masa-masa sesudahnya.
Anggapan semacam itu masih tetap bertahan sampai era reformasi, bahkan sekarang ini. Orang Minang agaknya masih menganggap dirinya masih lebih rasional, setidaknya dalam lapangan politik. Tingginya popularitas Amien Rais pada Pilpres 2004, SBY (2004 & 2009), dan bahkan Prabowo Subianto (2014 & 2019) di Sumbar diklaim sebagai cermin politik rasional orang Minang.
Padahal untuk konteks terakhir, kalau memang relatif lebih rasional, kenapa kelompok yang percaya pada teori konspirasi dalam konteks penyebaran Covid-19 masih cukup tinggi di Sumbar? Di sinilah terkesan paradoksnya.
Kenapa klaim rasionalitas dalam politik seolah tidak “nyambung” dengan rasionalitas berpikir dalam bidang kesehatan? Jangan-jangan adanya irasionalitas dalam merespon masalah kesehatan (40 persen itu) atau pun ekonomi sebagai cermin irasionalitas dalam bidang lainnya, malah termasuk politik itu sendiri.
Keyakinan Teori Konspirasi
Kepercayaan masyarakat pada teori konspirasi sebenarnya ada di mana-mana baik di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju.
Di Indonesia sendiri, masyarakat dalam jumlah yang cukup signifikan juga mempercayai teori konspirasi tentang banyak hal dan isu, termasuk Covid-19.
Sebuah survei terhadap masyarakat kota Bogor baru baru ini misalnya menunjukkan, sekitar 19 persen di antaranya juga percaya Covid-19 adalah hasil konspirasi tertentu (Sumber: tempo.co).
Selain itu, sejumlah tayangan di kanal Youtube yang mengangkat tema Covid-19 dan mengaitkannya dengan konspirasi para globalis, terutama di AS dan China, juga memiliki jutaan penonton dan subscriber serta dikomentari ribuan warga net.
Narasi dan visual yang disajikan presenter dalam tayangan itu sangat meyakinkan, bahkan disertai data statistik tertentu, sehingga seolah informasi yang disampaikannya tak hanya ilmiah dan logis, tapi juga dianggap out of the box, seolah menolak teori-teori mainstream dalam dunia ilmu pengetahuan terkait virus.
Di negara maju sendiri, seperti Amerika Serikat dan Inggris, sebagian warganya juga ternyata percaya teori konspirasi terkait Covid-19. Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa 28 persen warga negara Paman Sam itu percaya Bill Gates ingin menggunakan vaksin untuk menaruh chip ke tubuh orang-orang.
Tak hanya itu, para anti-vaksin pun akan menggunakan media sosial untuk mengajak orang-orang agar tidak melindungi diri mereka dari vaksin corona.
Padahal kurang apa negara itu dalam bidang pendidikan warga. Hal yang sama juga berlaku di negara maju lainnya, seperti Inggris, yang mana berdasarkan survei Mei 2020 lalu, seperlima orang dewasa di negeri Ratu Elizabeth itu meyakini Covid-19 sebagai hoaks (kompas.com).
Muncul dan berkembangnya teori konspirasi dalam suatu masyarakat sebenarnya bisa dijelaskan, antara lain dari kajian ilmu psikologi dan komunikasi. Sejumlah penelitian menunjukkan kaitan antara stres, keadaan mudah dipengaruhi dan teori konspirasi, bahwa ketika seseorang tak menguasai dirinya sepenuhnya, ketika mengalami stres, teori konspirasi akan menjadi masuk akal.
Selain itu, semakin sering orang terpapar teori konspirasi, semakin besar kemungkinannya percaya dengan teori konspirasi tersebut (https://www.bbc.com)
Hasil kajian lain juga memperlihatkan teori konspirasi mempertajam polarisasi di masyarakat dan meningkatkan peluang konflik, termasuk antara orang yang percaya dan skeptis dengan teori konspirasi tersebut.
Pertentangan antara dua kubu ini malah sering kali mengganggu hubungan sosial, seperti belakangan terjadi di tengah masyarakat kita dalam merespon isu TKA, kebangkitan komunis, dominasi China, sampai isu Covid-19 itu.
Pseudosains
Ditinjau dari perspektif filsafat ilmu, teori konspirasi yang berkembang dalam masyarakat tergolong ke dalam pseudosains atau sains semu. Pseudosains terdiri dari pernyataan, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah dan faktual, tetapi tidak sesuai dengan metode ilmiah.
Selain itu pseudosains sering dicirikan oleh klaim yang kontradiktif dan berlebihan, bias konfirmasi; kurangnya keterbukaan untuk evaluasi oleh ahli lain; tidak adanya praktik sistematis saat mengembangkan hipotesis dan kaidah ilmiah lainnya.
Filsuf Karl Popper mengklasifikasi pseudosains sebagai demarkasi good science dan bad science.
Bias konfirmasi dalam pseudosains misalnya merupakan suatu kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari bukti-bukti yang mendukung pendapat atau kepercayaannya serta mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya.
Kesalahan pemikiran ini menyebabkan penarikan kesimpulan yang salah dan merintangi pembelajaran yang efektif. Bias konfirmasi adalah kecenderungan orang menyukai informasi yang memperkuat keyakinan atau nilai-nilai mereka, dan sulit untuk dihilangkan ketika mereka sudah meyakininya.
Batas antara sains dan pseudosains memiliki implikasi filosofis dan ilmiah. Sementara perbedaan sains dari pseudosains memiliki implikasi praktis seperti dalam kasus perawatan kesehatan, kesaksian ahli, kebijakan lingkungan, dan pendidikan sains sendiri.
Oleh karena itu membedakan fakta dan teori ilmiah dari keyakinan sains semu, seperti yang ditemukan dalam penolakan perubahan iklim, astrologi (ilmu “perbintangan”), alkimia, dan pengobatan alternatif adalah bagian dari pendidikan sains dan literasi ilmiah yang perlu digalakkan di tengah masyarakat (sumber: wikipedia).
Pseudosains memang bisa berbahaya. Bidang kesehatan umpamanya. Jika banyak orang meninggalkan pengobatan medis dan kemudian lari ke pengobatan “alternatif”, seperti kasus gelang anti-corona tempo hari, dalam batas tertentu adalah sebagai bentuk pengaruh pseudosains di tengah masyarakat.
Paling tidak untuk sekarang ini, masih banyaknya orang menganggap Covid-19 sebagai konspirasi juga telah berdampak pada tidak optimalnya tingkat kepatuhan warga pada protokol kesehatan yang diserukan pemerintah maupun WHO.
Dalam konteks ini, kita berharap sewaktu vaksinasi massal nantinya, kepatuhan warga lebih membaik.
Apapun, hasil survei ilmiah, seperti atas kasus Sumbar di atas, dapat menjadi semacam warning tidak hanya bagi warga, tetapi juga otoritas terkait untuk bekerja lebih keras lagi dalam mengedukasi masyarakat di tengah pandemi.
Namun juga harus diingat, edukasi untuk membangun sikap rasional dalam bidang kesehatan masyarakat itu harus simultan dengan upaya membangun rasionalitas dalam bidang kehidupan lainnya, termasuk isu politik. (*/)
* Dosen Sejarah Universitas Andalas