Pria berkacamata, berkemeja lengan pendek berwarna marun, bercelana bahan, dan bersepatu pantofel itu berjalan sendirian ke arah kami berempat yang sudah duduk di sebuah meja restoran di sebuah mal di Kuningan, Jakarta Selatan. Dia tersenyum ramah dan menyalami kami semua.
Saya lalu memperkenalkannya kepada atasan saya saat itu, Brian Hanley, seorang warga negara Amerika, yang duduk di sebelah saya. “Nezar Patria, The Jakarta Post chief editor,” kata saya. Namun saya menambahkan kepada Direktur Asia Internews itu bahwa Nezar juga merupakan salah satu pendiri Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan juga mantan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Hari itu, 13 Februari 2020, saya selaku Country Representative Internews mengundang AMSI untuk berkenalan dengan Brian Hanley dan project manager Internews Firmansyah untuk membuka dialog mengenai peluang kerjasama antara dua organisasi ini. Sebenarnya yang menyanggupi hadir hanya pendiri AMSI Suwarjono. Namun ternyata Nezar juga ikut menghadiri pertemuan makan siang ini.
Bagi saya tentu ini sebuah kehormatan karena berhasil mendatangkan dua pendiri AMSI sekaligus dua mantan Ketua Umum AJI yang juga bukan kebetulan adalah dua mantan atasan saya di VIVA.co.id. Keduanya adalah mantan redaktur pelaksana VIVA.co.id, jabatan yang kemudian saya sempat emban setelah mereka berdua meninggalkan media yang segrup dengan tvOne itu. Di Viva, Nezar adalah redaktur pelaksana untuk liputan khusus dan wawancara, sementara Suwarjono adalah redaktur pelaksana untuk general news, politik, olahraga, hiburan, dan metropolitan.
Makan siang kami berlangsung hangat. Nezar yang merupakan jurnalis media berbahasa Inggris sangat fasih berbincang dengan Brian. Salah satu pembicaraan adalah mengenai krisis industri media di Indonesia. Pertemuan ini menjadi milestone kerjasama Internews dengan asosiasi media online terbesar di Indonesia itu.
Usai pertemuan saya sempat mengobrol sebentar dengan Nezar. Saya berusaha mengonfirmasi sebuah gosip bahwa Nezar menolak tawaran Presiden untuk memimpin sebuah institusi negara. Nezar membenarkan gosip itu. Dia lalu menjelaskan alasannya menolak saat itu.
“Jika masuk politik, jangan sebelah kaki. Kedua-duanya sekaligus,” kata Nezar. Dan Nezar merasa belum sampai pada putusan untuk menceburkan kedua kakinya ke politik pada saat itu. Dia masih ingin mempertahankan keindependensiannya sebagai wartawan.
Sambil berjalan kaki meninggalkan restoran tempat pertemuan, saya menyampaikan sebuah permintaan pribadi pada Nezar agar memberi sebuah surat referensi pada saya untuk bisa berkuliah di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Nezar yang lulusan filsafat Universitas Gadjah Mada itu menyanggupi.
*
Di VIVA, meski secara struktural posisi saya berada di bawah Jono, namun saya merasakan semangat kolektif kolegial dari para redaktur-redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi saat itu. Secara formal, saya berada di bawah Jono, namun saya sering berada di bawah koordinasi Nezar ketika turun melakukan peliputan-peliputan mendalam atau mewawancarai tokoh-tokoh tertentu.
Dari Jono saya belajar manajemen media digital, maka dari Nezar saya belajar teknik lobi dan persuasi, jurnalisme, dan menulis. Saya beberapa kali diajak Nezar menemui tokoh-tokoh tertentu untuk kepentingan peliputan. Salah satu yang saya ingat adalah, Nezar membawa saya menemui Haryanto Taslam yang kala itu memimpin operasi media calon presiden Prabowo Subianto. Saya lupa tanggalnya, namun tahunnya saya perkirakan sekitar akhir 2013, beberapa bulan sebelum Pemilu 2014 dilangsungkan.
Haryanto Taslam dan Nezar adalah sama-sama korban penculikan ’98. Jika Haryanto diculik karena aktivitasnya mendukung Megawati sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, maka Nezar karena memimpin Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang dituduh sebagai dalang di balik peristiwa 27 Juli 1996.
Dari Nezar, saya belajar untuk connecting the dots dan sikap rendah hati. Salah satu cara mewawancarai seorang tokoh yang terkenal sulit diwawancara adalah dengan pertama kali mendekati orang-orang kepercayaan mereka.
Sekilas orang mengira Nezar adalah seorang yang keras dan galak karena pernah memimpin organisasi mahasiswa melawan kediktatoran Orde Baru, namun selama enam tahun saya bekerja bersama, tak sekalipun saya melihat dia marah atau berkata dengan nada tinggi kepada orang lain. Nezar lebih banyak melakukan persuasi saat bekerja sehingga membuat orang-orang yang bekerja bersamanya termotivasi untuk melakukan yang terbaik.
Meski sering berada di luar kantor karena kesibukannya di luar misal sebagai Ketua Umum AJI dan kemudian menjadi anggota Dewan Pers, saya mendapatkan beberapa momen obrolan yang berisi dengan Nezar di kantor. Satu kali, saya bertanya mengapa buku “Hegemoni Gramsci” yang dia tulis bersama Andi Arief ketika masih kuliah di Yogyakarta tidak diterbitkan ulang. Buku “Hegemoni Gramsci” ini menjadi semacam buku bacaan wajib aktivis-aktivis mahasiswa. Saya juga turut membaca.
“Ada yang salah (di buku itu),” kata Nezar terkekeh.
Dia kemudian bercerita, saat menempuh S2 di London School of Economics (LSE) di Inggris, Nezar kerap mengikuti diskusi-diskusi yang digelar Neo-Gramscian di kota itu. Dari diskusi-diskusi dan beberapa bacaan yang dia dapatkan di London, dia baru menyadari beberapa kekeliruannya mengenai Gramsci. Sayangnya, Nezar tak sempat mengelaborasi di mana saja kekeliruannya. Saya tinggal berharap suatu hari “Hegemoni Gramsci” direvisi Nezar atau Andi Arief.
*
Beberapa bulan setelah makan siang kami di Kuningan, saya diterima kuliah di Singapura. Tak lupa saya mengabarkan Nezar bahwa saya diterima kuliah berikut dengan beasiswanya. Dia pun mengucapkan selamat.
Saat kuliah di Singapura, terdengar kabar Nezar meninggalkan The Jakarta Post untuk menduduki posisi Direktur di PT Pos Indonesia. Ketika kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliah S2, akhir 2021, saya mendatangi Nezar bersama Jono. Kami diterima di kantornya yang nyaman di Jakarta Pusat. Dari obrolan itulah, saya melihat Nezar sudah menceburkan kedua kakinya di politik, meski mungkin sebatas mata kaki.
Awal 2023, saya membaca berita Nezar kini menjadi komisaris di Pegadaian, masih badan usaha milik negara. Sayup-sayup saya mendengar kpirah Nezar kerap mendampingi Menteri Negara untuk BUMN Erick Thohir dalam acara-acara. Awal Juli 2023 ini pun saya membaca berita Nezar mewakili Menteri BUMN ke Dewan Pers mengadukan sebuah tayangan podcast. Kedua kaki Nezar benar-benar kini di dalam politik.
Minggu malam, 16 Juli 2023, saya mendapatkan pesan berantai bahwa Presiden Joko Widodo akan mengumumkan beberapa Menteri baru pada keesokan Senin. Pesan berantai itu juga ditambahkan dengan kemungkinan Nezar Patria diangkat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, sebuah posisi baru.
Senin pagi, laki-laki sederhana yang ke mana-mana berkemeja lengan pendek itu akhirnya dilantik menjadi Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika. Nezar kini tak hanya sekadar mendaratkan kedua kakinya di politik. Nezar kini berenang di politik. Semoga selamat sampai ke tujuan.
Arfi Bambani (Mantan Redaktur Pelaksana viva.co.id & Head of English Content & Business Development Suara.com)