Negara, Kapitalisme dan Kampung Pintar

Pancasila Sumbar Pilkada

Israr Iskandar, SS. MA (Foto: FIB/unand.ac.id)

Langgam.id - Seolah tak mau ketinggalan dengan kampanye dan program kota-kota pintar, beberapa daerah di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan menginisiasi semacam desa pintar, kampung pintar atau nagari pintar.

Pada umumnya salah satu indikator utamanya adalah pelayanan publik dengan pendekatan teknologi informasi.

Namun demikian di beberapa tempat definisi “pintar” justru tidak mengacu pada tata kelola berbasis teknologi informasi itu, melainkan lebih luas sebagai strategi komunitas yang terpinggirkan menanggapi dan mengurangi dampak arus pembangunan neoliberal pada kondisi ketidaksetaraan sosial di wilayah pedesaan maupun perkotaan itu sendiri.

Profesor Melani Budianta dalam tulisan Smart Kampung (2019) atau kampung pintar mengungkap aktivisme dan kebangkitan sejumlah kampung dalam konteks globalisasi justru untuk menunjukkan bagaimana beberapa komunitas di pedesaan dan perkotaan yang terpinggirkan secara bersamaan melawan dan menyesuaikan kekuatan kapitalis.

Sekali lagi, kita tak sedang membahas kebijakan transformasi yang dilakukan pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat di pedesaan, terutama dalam sektor ekonomi. Kampung pintar merujuk pada kampung pedesaan dan perkotaan yang secara strategis justru menanggapi ekspansi urbanitas dengan menempa solidaritas masyarakat melalui aksi kesamaan budaya yang meriah.

Dalam riset tersebut, ada tiga kampung yang menjadi studi kasus, yakni Kampung Cempluk di Malang, kampung Ledokombo di Jember, dan Dusun Karanggeneg di Magelang. Tiga kampung itu dianggap paling menggambarkan inisiatif lokal berbasis komunitas untuk melawan kapitalisme global melalui pengaktifan kembali sumber daya budaya bersama.

Kampung Cempluk, misalnya, desa urban yang memperoleh manfaat terbesar dari pembangunan perkotaan Malang yang pesat, namun juga datang suatu ancaman tertunda: penduduk kampung telah tergoda oleh kesepakatan tanah (dengan pengembang) yang menguntungkan secara ekonomi.

Di Ledokombo, sebagai kampung pengirim TKI dikatakan termarginalisasi karena berlangsung fenomena gaya hidup perkotaan yang terinternalisasi dan praktik konsumsi sebagai bagian dari iming-iming migrasi. Masalah lain anak-anak desa teralienasi dalam perilaku menyimpang, sepeti narkoba, putus sekolah, dan kehamilan remaja, karena absennya pengasuhan orangtua yang merantau sebagai pekerja migran berketerampilan rendah.

Selanjutnya Dusun Karanggeneng, masalah berfokus eksodusnya banyak orang usia produktif ke perkotaan tak hanya membuat kampung kehabisan sumber ekonomi tetapi juga rusaknya sistem sosial karena yang menggejala kuat justru adalah corak perilaku “kota” yang individualistis dan mentalitas mencari rente.

Kondisi itulah yang melatari komunitas kampung-kampung tersebut mengaktifkan kembali praktik-praktik lokal untuk memperbaiki efek yang tidak diinginkan dari urbanisme neoliberal. Melalui strategi itu, komunitas kampung menciptakan lingkungan yang berkelanjutan secara budaya.

Dikatakan, kampung sebagai pemukiman yang terpinggirkan dalam proses transformasi perkotaan merupakan situs strategis untuk menangkap kontradiksi, kontestasi, dan bahkan dinamika budaya lokal-global.

Yang menarik adalah praktik "commoning" sebagai tindakan menciptakan atau mereproduksi akses bebas sumber daya dan menolak komodifikasi oleh negara atau pasar. Sebab yang apa yang hilang dalam masyarakat dalam sistem neoliberal tidak hanya tanah, seperti di Cempluk, tetapi juga praktek budaya berbagi sumber daya untuk kebaikan bersama yang digantikan oleh keserakahan kapitalis.

Munculnya gerakan kampung pintar justru untuk merebut kembali praktik-praktik berbagi yang disebut “semangat gotong royong” dan juga secara bersama-sama, mereka menemukan kembali dan mempelajari kembali seni dan ritual tradisional mereka dan membagikannya untuk kepentingan bersama.

Melalui aksi kesamaan budaya ini, warga kampung menciptakan ikatan sosial dan mengubah lingkungannya menjadi komunitas partisipatif.

Di sini peneliti menggunakan kata kerja "commoning", justru karena praktik budaya (dan sejarah) tidak diberikan atau ditemukan tetapi ditemukan kembali dan disesuaikan kembali secara cair dan terbuka.

Melalui kesamaan budaya, para aktivis kampung yang di masing-masing kampung pintar dipandu seorang tokoh penggerak berusaha membalikkan pandangan modernis terhadap kota dengan (ibaratnya) menyediakan pengobatan untuk penyakit perkotaan kepada kampung-kampung mereka.

Dalam konteks ini, tokoh informal kampung memainkan peran penting justru dalam menjalin aliansi dengan Negara dan pasar untuk melindungi kampung mereka agar tidak termakan oleh gaya hidup perkotaan.

Mereka juga memanfaatkan media sosial untuk membentuk jaringan antar kampung (Japung) sebagai wadah untuk membahas cara-cara mengoreksi gejala “urban”, mulai dari mentalitas pencari rente hingga budaya konsumen perkotaan.

Nagari Pintar

Mencermati apa yang dikerjakan di kampung pintar, saya jadi teringat apa yang disebut nagari pintar di Sumbar. Sebagaimana desa pintar atau kota pintar, konsep nagari pintar dominannya masih mengacu pada pelayanan administrasi pemerintahan berbasis teknologi informasi.

Sekalipun dengan derajat dan variasi permasalahan berbeda, nagari pintar selayaknya juga mengadopsi beberapa konsep kampung pintar di atas sebagai penyikapan atas dampak laju modernitas dan kapitalisme yang tak hanya memproduksi budaya konsumsi, tetapi juga perilaku “urban” yang justru menjadi ihwal proses pemiskinan dan alienasi masyarakat lewat (misalnya) merebaknya budaya rente, individualistis dan aneka laku budaya “menyimpang” lainnya.

Memang sudah ada “nagari adat” di Sumbar, namun komunitas termarginalkan dalam konteks ini tak hanya di pedesaan, tetapi juga perkotaan.

Intinya, bagaimana aneka sumber daya masyarakat yang bisa kembali menyulut rasa kebersamaan, tindakan bersama atau gotong royong yang terkikis akibat modernisasi negara dan ekspansi kapitalis kembali bisa ditubuhkan, sekalipun kemudian masih memerlukan perumusan konsepnya lebih matang lagi dan kehadiran aktor-aktor visioner yang berjibaku mengurus kampung masing-masing.

*Dosen Sejarah Universitas Andalas

Baca Juga

Nagari adalah pembagian wilayah administratif, namun secara mendalam dapat diartikan sebagai institusi pemerintahan tradisional yang menjadi
Jejak Nagari: Evolusi Adat Minangkabau dalam Lanskap Kolonial
Ratusan mahasiswa Universitas Andalas (Unand) menggelar aksi demonstrasi di depan Pengadilan Negeri (PN) Padang, Senin (11/11/2024).
Mahasiswa Unand Demo PN Padang, Tuntut Percepatan Kasus Korupsi Dana Kemahasiswaan
Rektor Universitas Andalas (Unand) Efa Yonnedi melantik Lusi Susanti sebagai Dekan Fakultas Teknologi Informasi (FTI) periode 2024-2029.
Lantik Lusi Susanti Jadi Dekan FTI, Rektor Unand Ajak Tingkatkan Kualitas dan Akreditasi Prodi
Inovasi Pertanian: Pemberdayaan Kader PKK Melalui Pelatihan Hidroponik
Inovasi Pertanian: Pemberdayaan Kader PKK Melalui Pelatihan Hidroponik
PTUN Padang memutuskan untuk membatalkan Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Andalas (Unand) terkait pemberhentian Khairul Fahmi
Putusan PTUN Batalkan Pemberhentian Khairul Fahmi sebagai Wakil Rektor II Unand
Melestarikan Warisan: Pangan Tradisional Sebagai Sorotan di Perjamuan Penting
Melestarikan Warisan: Pangan Tradisional Sebagai Sorotan di Perjamuan Penting