Naskah Tanjung Tanah: Jejak Historiografi Kuno dari Hulu Sungai Batanghari

Naskah Tanjung Tanah: Jejak Historiografi Kuno dari Hulu Sungai Batanghari

Naskah Tanjung Tanah. (Foto: Tim Uli Kozok 2002) & Penulis.

Oleh: Mutiara Rejani Veronika

Dalam keberagaman sejarah lokal Nusantara, tambo merupakan salah satu bentuk historiografi tradisional yang memuat asal usul, peristiwa penting, dan silsilah suatu masyarakat. Salah satu tambo penting namun belum dikenal luas adalah tambo suku Kerinci, yang tinggal di pedalaman Sumatera, tepatnya hulu sungai Batanghari.

Tambo suku Kerinci tidak hanya cerita rakyat biasa, namun merupakan bentuk dokumen historis yang berisi migrasi leluhur, hubungan antar suku, legitimasi kekuasaan serta struktur pemerintahan adat. Petrus Voorhoeve seorang ahli bahasa Belanda pada tahun 1942 berhasil menerukan 250 naskah kuno yang disimpan sebagai pusaka oleh masyarakat Kerinci. Naskah ini ditemukan di berbagai daerah di Kerinci, salah satu yang terkenal yaitu Tanjung Tanah. Daerah ini merupakan sebuah perkampungan yang terletak di Kecamatan Danau Kerinci dan berjarak sekitar 15 km dari Sungai Penuh. Di daerah ini ditemukan sebanyak 10 naskah yang ditulis dari berbagai zaman, seperti pra Islam dan pasca kedatangan Islam.

Dari 10 naskah Undang-Undang yang ditemukan di tanjung Tanah, naskah TK 214 dan TK 215 merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Kedua naskah ini mewakili dua zaman yang berbeda, dimana naskah TK 214 ditulis pada zaman pra Islam dan naskah TK 215 ditulis setelah kedatangan Islam. Kedua naskah ini memiliki banyak persamaan dan juga terdapat beberapa perbedaan di dalamnya. Kedua naskah ini memberikan kita informasi, terutama kehidupan sosial budaya masyarakat Kerinci di zamannya.

Naskah yang berjudul Nītisārasamuccaya merupakan naskah Melayu tertua. Nama Nītisārasamuccaya berasal dari bahasa sanskerta yang berarti Ikhtisar Hakikat Kebijaksanaan atau secara sederhana diartikan sebagai kitab undang-undang. Kitab ini ditulis dengan aksara Melayu Kuno dan pertama kali dilihat oleh orang luar yaitu pada tahun 1941 oleh Petrus Voorhoeve. Kala itu ia diperintahkan untuk membuat inventaris dari naskah-naskah kuno Kerinci oleh pemerintahan Kolonial dalam bentuk buku stensil. Maka kedua naskah ini diberikan kode TK 214 dan TK 215.

Fakta menarik dari naskah Nītisārasamuccaya ini adalah penulisannya yang tidak dilakukan di daerah Tanjung Tanah, namun diberi nama Naskah Tanjung Tanah. Penulisan naskah ini sendiri dilakukan di Dharmasraya yang kala itu menjadi sentral kerajaan Melayu, tepatnya bernama waseban (ejaan lama untuk paseban). Paseban sendiri merupakan balai yang digunakan sebagai tempat bertemu raja. Hal ini berarti naskah Nītisārasamuccaya di ditulis dalam balai ruang pertemuan dengan raja.

Naskah Nītisārasamuccaya ditulis oleh seorang dipati (sekarang depati) yang bernama Kuja Ali. Kuja merujuk pada istilah orang Islam yang berasal dari Asia Barat. Ketika naskah ini ditulis, baik Kerinci maupun Dharmasraya masih beragama Budha. Namun, Paduka Sri Maharaja Dharmasraya memiliki seorang juru tulis yang beragama Islam dan menguasai aksara Melayu dan huruf Jawi (Arab-Melayu). Maka dari itu ia memerintahkan juru tulis untuk menuliskan naskah Undang-Undang yang berguna dalam mengatur jalannya pemerintahan bagi para dipati di Kerinci.

Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah Nomor 215

Naskah yang dinomori TK 215 ini ditulis sekitar abad ke 17 sampai abad ke 18. Hal ini didasari atas hasil analisis paleografi yang dilakukan oleh Annabel Gallop dari British Library. Selain dari segi tahun penulisannya, naskah TK 214 dan TK 215 memiliki beberapa perbedaan lainnya. Naskah TK 215 tidak ditulis diatas daluang seperti TK 214. Hal ini dikarenakan pada masa itu kertas sudah mulai ada dan digunakan sebagai media penulisan. Selanjutnya, TK 215 menggunakan aksara Jawi dan bukan Sumatera kuno. Selanjutnya, perbedaan juga terlihat dalam awalan kalimat pada naskah. Pada TK 214 diawali kata Om yang merupakan kata suci dalam agama Hindu dan Budha, sedangkan kalimat pertama TK 215 diawali bismillāhi rraḥmāni r-raḥīm yang merupakan basmallah dalam agama Islam.

Pada dasarnya TK 214 dan TK 215 merupakan naskah Undang-Undang. TK 215 merupakan kelanjutan dari TK 214 yang mengalami sedikit perkembangan dan pembaruan. Namun, hakikatnya yang berupa pasal-pasal mengenai aturan hidup masyarakat tetaplah sama. TK 214 berisikan sebanyak 34 halaman dengan 1050 kata, sedangkan TK 215 berisi sebanyak 23 halaman dengan 1350 kata. TK 214 terbagi atas 37 pasal, sedangkan TK 215 sebanyak 43 pasal, dimana 28 pasal diantaranya sama.

TK 214: Barang urang naik ka rumah urang tidak ia barseru barekuat barsuluh, bunuh.

TK 215: Jika orang datang malam tiada ia berseru atau tiada bersuluh bunuh orang itu.

Kalimat di atas merupakan salah satu bunyi pasal yang memiliki makna sama antara TK 214 dan 215.

Kedua naskah ini memiliki persamaan dan perbedaan. TK 214 berjudul Nītisārasamuccaya yang ditulis pada abad ke 14 di Dharmasraya (diyakini pada masa pemerintahan Adityawarman). Naskah ini ditulis menggunakan aksara Sumatera Kuno oleh seorang dipati yang bernama Kuja Ali. Berbeda dengan naskah 214, naskah 215 ditulis pada abad ke 17 sampai 18 dengan menggunakan aksara Jawi. Kedua naskah ini pada dasarnya merupakan naskah Undang-Undang yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat di Kerinci. (*)

Penulis: Mutiara Rejani Veronika (Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)

Baca Juga

Berita terbaru dan terkini hari ini: Pemandian naskah itu akan digelar kenduri yang dikenal dengan nama Kenduri Sko Tanjung Tanah.
Melihat Prosesi Pemandian Naskah Melayu Tertua di Kerinci
Sempat Tertunda Karena Covid-19, Kenduri Sko Tanjung Tanah di Kerinci Kembali Digelar
Sempat Tertunda Karena Covid-19, Kenduri Sko Tanjung Tanah di Kerinci Kembali Digelar
Berita Dharmasraya - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Sutan Riska hadiri Kenduri Sko Tanjung Tanah di Kerinci, Jambi.
Dharmasraya Tertulis dalam Naskah Tertua Melayu, Sutan Riska Hadiri Kenduri Sko Tanjung Tanah
Jangan FOMO Gula, Yuk Cegah Diabetes dari Sekarang
Jangan FOMO Gula, Yuk Cegah Diabetes dari Sekarang
Tantangan Menghadirkan Kesetaraan Gender dalam Ruang Rehabilitasi Narkoba
Tantangan Menghadirkan Kesetaraan Gender dalam Ruang Rehabilitasi Narkoba
Panggung Politik di Era Digital: Ketika Komunikasi Menjadi Senjata Dua Mata
Panggung Politik di Era Digital: Ketika Komunikasi Menjadi Senjata Dua Mata