Dalam pertemuan-pertemuan tentang bagaimana lebih memajukan Muhammadiyah Sumatera Barat, hampir selalu keluar kalimat dengan redaksi kurang lebih begini: “Muhammadiyah lahir di Jogja, dan besar di Minangkabau.”
Dan tampaknya memang demikian kenyataan yang diakui hampir semua pihak. Sebab kalimat indah itu tidak hanya keluar dari mulut aktivis Muhammadiyah orang Minang, tapi juga dari aktivis Muhammadiyah yang berasal dari daerah lain. Terakhir kali, saya mendengar Prof Haedar mengucapkan kalimat tersebut ketika meresmikan beberapa gedung di kampus I Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
Memang catatan sejarah menunjukkan bahwa Bukittinggi adalah tempat pertama kalinya Kongres Muhammadiyah dilakukan di luar pulau Jawa. Kongres ke-19 itu berlangsung dengan sangat meriah pada tahun 1930. Beberapa foto menunjukkan bahwa kongres tersebut berlangsung dengan sangat meriah, sebuah acara maha besar pada masanya.
Kemeriahan tersebut tidak terlepas dari keberhasilan Muhammadiyah menarik hati banyak masyarakat Minangkabau untuk menjadi anggotanya. Untuk tahu lebih rinci tentang kongres tersebut, pembaca sekalian dapat membaca tulisan secara online yang berjudul “Minangkabau, Medan Kongres Muhammadiyah Pertama di Luar Jawa,” yang ditulis sendiri oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat yang baru saja terpilih, yaitu Dr. Bakhtiar.
Saya sendiri lebih tertarik untuk mengulas faktor-faktor apa saja yang membuat Muhammadiyah menjadi begitu besar di Minangkabau pada saat itu. Beberapa referensi digunakan dalam tulisan ini, di antaranya adalah “Schoolsand Politics: Kaum Muda Development in West Sumatera” karya Prof. Taufik Abdullah dan "The Minangkabau Traditionalists' Responseto the Modernist Movement”, karya Dr. Zaim Rais. Nama terakhir juga baru saja terpilih sebagai pimpinan tiga belas PWM Sumatera Barat.
Besarnya Muhammadiyah di Minangkabau tidak terlepas dari kegelisahan sekelompok orang muda pada awal abad ke-20. Kelompok yang kemudian dikenal luas sebagai Kaum Muda tersebut adalah mereka yang baru saja pulang studi dari Timur Tengah dengan seperangkat ide pembaharuan yang mereka resap dari Muhammad Abduh. Salah satu pelopor kelompok ini adalah ayahnya Buya Hamka, yaitu Abdul Karim Amrullah yang dikenal luas dengan panggilan Haji Rasul dan Inyiak Doktor.
Pada saat yang sama, sebagai hasil dari kebijakan Belanda mengizinkan nagari-nagari di Minangkabau membuka sekolah swasta, muncul kelompok-kelompok terdidik baru berlatar belakang pendidikan Barat. Sebagian mereka bahkan melanjutkan pendidikan hingga ke luar negeri, utamanya Belanda, atas beasiswa dari berbagai sumber, salah satunya dari nagari tempat mereka berasal. Tokoh populer dari kalangan ini misalnya Bung Hatta, Abdul Rivai, dan M. Djamil.
Kepulangan mereka ke Minangkabau, baik secara fisik ataupun ide, memicu kebaruan yang barangkali tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Ide tersebut adalah tentang bagaimana melecut masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat yang berkemajuan. Dalam bahasa populer saat itu, disebut sebagai istilah “Kemadjuan.” Inti dari ide ini adalah bagaimana orang Minangkabau bisa maju selayaknya bangsa-bangsa lain seperti yang mereka lihat selama sekolah di perantauan. Taufik Abdullah menggambarkan bahwa kemadjuan adalah ide populer yang banyak didiskusikan orang Minang pada dua dekade awal abad 20.
Kalangan Muda Minangkabu yang baru kembali dari Timur Tengah tak ketinggalan juga menyambar ide ini. Senada dengan pengaruh yang mereka dapat dari Abduh, mereka kemudian lebih mengelaborasi ide ini dalam perspektif sikap keberagamaan. Menurut mereka ada banyak sikap beragama orang Minangkabau yang tidak mungkin dipertahankan dengan dua alasan. Pertama sikap beragama tersebut dipandang sebagai sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam Islam, dan kedua, jika tetap dipertahankan tidak akan mungkin membawa orang Minangkabau ke alam kemadjuan.
Maka kemudian, lahirlah terobosan-terobosan progresif Kaum Muda di Minangkabau, utamanya dalam bidang pendidikan. Sekolah-sekolah agama modern dengan sistem Belanda berhasil didirikan. Pendirian sekolah-sekolah tersebut adalah hasil dari kecerdasan Kaum Muda mengakali peraturan pemerintah Belanda tentang pendirian sekolah. Sekolah-sekolah tersebut adalah fondasi dasar pergerakan Kaum Muda untuk mewujudkan ide-ide mereka, salah satunya menghilangkan taqlid buta dalam pengamalan Islam. Hal ini menyebabkan Minangkabau saat itu menjadi salah satu pusat pendidikan Islam di Nusantara.
Tercatat dalam dua dan tiga dekade awal abad 20 saja, begitu banyak sekolah-sekolah Islam modern berhasil didirikan. Adanya jaringan sekolah Thawalib, yang dimulai dari simpul utamanya Thawalib Padang Panjang. Lalu ada Diniyah Puteri dan Adabiah dan PGAI di Kota Padang.
Muhammadiyah diperkenalkan di Minangkabau saat angin pembaharuan sedang bertiup dengan kencang. Muhammadiyah kemudian dianggap menyediakan jaringan pergerakan yang lebih luas dalam skala nasional. Jaringan yang ditawarkan Muhammadiyah terlalu sayang untuk diabaikan. Muhammadiyah dipandang akan terus mendorong ide pembaharuan berjalan lebih masif di Ranah Minang. Sekadar mengingatkan pembaca, bahwa ide pembaharuan atau “Kemadjuan” itu dianggap sebagai pilihan mutlak agar orang Minang bisa lepas dari penjajahan Belanda dan siap hidup di masa depan.
Jadi meringkas apa yang telah dipaparkan di atas, Muhammadiyah menjadi besar di Minangkabau karena ia berhasil menjadi wadah untuk menjawab keresahan masyarakat pada saat itu. Muhammadiyah dipandang mampu memberi air di tengah masyarakat Minangkabau yang kehausan akan ide kemadjuan. Sederhanya begini: banyak orang Minang saat itu memerlukan wadah agar cita-cita mereka terwujud secepat mungkin, dan Muhammadiyah datang sebagai wadah tersebut. Jadi, Muhammadiyah saat itu datang menjawab keresahan dan keperluan sosial. Orang Minang melihat Muhammadiyah sangat berguna untuk mereka.Inilah yang menyebabkan “Muhammadiyah besar di Minangkabau”.
Bagaimana Muhammadiyah hari ini, Muhammadiyah Sumbar Pasca Muswil ke 46?
Gairah untuk terus memajukan Muhammadiyah itu tampaknya tidak pernah mati. Frasa “Muhammadiyah lahir di Jogja, besar di Minangkabau” selalu disebut-sebut dan menjadi bagian dari memori kolektif orang-orang Muhammadiyah di Sumatera Barat.
Seringkali muncul pertanyaan, apakah frasa di atas masih berlaku? Apakah Muhammadiyah Sumatera Barat segemilang dahulu? Susah untuk menjawabnya. Namun yang pasti adalah Muhammadiyah di tempat lain punya banyak amal usaha yang bisa dibanggakan. Di Jawa Timur dan Tengah sana, tempat yang disebut sebagai basis NU, Muhammadiyah punya banyak sekolah, universitas, dan rumah sakit yang begitu membanggakan.
Di berbagai grup WhatsApp tertulis harapan agar Muhammadiyah Sumbar lebih maju di bawah kepemimpinan baru. Tentu hal ini baru dapat dilakukan jika pimpinan yang baru terpilih bersama-sama warga Muhammadiyah dapat melakukan kembali pembacaan sejarah kebesaran Muhammadiyah di Minangkabau, bukan untuk nostalgia tapi untuk mengambil napas dan semangatnya. Sejauh yang saya pahami, dulu Muhammadiyah besar karena berhasil menjawab hajat masyarakat dan tantangan sosial yang ada. Ia besar karena berguna bagi masyarakat.
Jika kesimpulan itu dapat diterima, maka Muhammadiyah pasca Muswil ke-46 mesti juga melakukan hal yang sama. Masyarakat Minangkabau hari ini adalah masyarakat yang menghadapi krisis multidimensi. Ada banyak indikasi yang menunjukkan hal itu, seperti maraknya perilaku menyimpang, longgarnya institusi tradisional keluarga, tidak memuaskannya kinerja dunia pendidikan dan lain sebagainya.
Baca Juga: Memoar Kemesraan Muhammadiyah-Nahdhatul Ulama Versi Prof Haedar-Gus Yahya
Muhammadiyah Sumbar punya sumber daya yang lebih dari cukup untuk terlibat dalam penyelesaian isu-isu itu. Muhammadiyah punya banyak lembaga pendidikan, punya banyak tokoh lokal, dan bahkan punya jaringan nasional dan internasional yang siap untuk diberdayakan. Muhammadiyah Sumbar punya segala potensi untuk menjadi lebih berguna.
Muhammadiyah pasca Muswil 46 mestilah menjadi kelompok yang lebih berguna. Caranya adalah dengan kemampuan untuk melihat dan memahami berbagai persoalan sosial masyarakat Minangkabau hari ini, lalu hadir memberikan solusi dari masalah yang ada. Tentu hal itu akan terwujud jika Muhammadiyah Minangkabau benar-benar prima untuk mengurus urusan masyarakat luas, tidak lagi urusan internal, dan siap berkolaborasi dengan semua pihak. Bisakah Pimpinan baru pasca Muswil 46 menjadi kekuatan pendorong? Tentu bisa. Semoga. Wallahua’lam.
*Isral Naska merupakan Direktur Pusat Studi Islam dan Minangkabau Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat