Mohammad Djamil: Dokter Pejuang, Memimpin Sumatra Tengah di Masa Sulit

Mohammad Djamil: Dokter Pejuang, Memimpin Sumatra Tengah di Masa Sulit

Dr. M. Djamil, residen ketiga Sumatra Barat. (Foto. Ist)

Langgam.id - Mohammad Djamil adalah salah satu nama besar orang Indonesia di dunia kedokteran sejak masa Hindia Belanda. Bukan saja ahli kesehatan, M. Djamil juga merupakan pejuang dan pemimpin Sumatra Barat hingga Sumatra Tengah di masa-masa sulit saat perang kemerdekaan.

Menjadi dokter setelah lulus dari STOVIA, Djamil juga meraih dua gelar doktor di bidang penyakit dalam dan kesehatan masyarakat di Belanda dan Amerika. Kala aktif di pemerintahan, Djamil adalah residen ketiga Sumatra Barat dan gubernur muda Sumatra Tengah di masa perang kemerdekaan.

Sejarawan Gusti Asnan dkk dalam Biografi "Dr. Mohammad Djamil Berjuang untuk Kemerdekaan dan Kemanusiaan" (2006) menyebutnya sebagai manusia langka, kreatif, pejuang tangguh, pemimpin tegas dan pengabdi kemanusiaan.

Mohammad Djamil lahir pada 23 November 1898 di Kayu Tanam, 2x11 Enam Lingkung, Padang Pariaman. Ibunya bernama Aminah dan ayahnya seorang petani yang dikenal dengan gelar Angku Kali, karena bertugas sebagai qadhi nikah.

Beberapa saudara dari ibu Djamil adalah ulama yang terpandang di kawasan 2x11 Enam Lingkung. Beberapa di antaranya adalah H. Mahmud Tuanku Hitam dan HM Isa. Pamannya yang lain, Mohammad Ali Sutan Sinaro adalah kepala stasiun kereta di Kayu Tanam, jabatan yang terbilang tinggi untuk orang pribumi ketika itu.

Gusti dkk menulis, M. Djamil menghabiskan masa kecil di Kayu Tanam, antara lain dengan belajar mengaji pada mamaknya Tuanku Hitam. Pada 1906, saat Djamil berusia 8 tahun, pamannya Mohammad Ali memasukkan Djamil ke Eurepeesche Lagere School (ELS) Padang Panjang.

Ali menanggung biaya sekolah kemenakannya itu. Usahanya tak sia-sia. Kecerdasan M. Djamil menonjol dibanding teman-teman sekelasnya, termasuk orang-orang Belanda. Djamil menyelesaikan ELS dalam 6 tahun dari masa sekolah biasanya yang mencapai 7 tahun.

Setamat dari ELS, pada 1912, Ali mengirim Djamil ke Batavia. Ia mengikuti ujian dan lulus masuk sekolah dokter STOVIA. Semasa belajar di STOVIA, Djamil juga aktif di organisasi Jong Sumatranen Bond yang mulai menyemai bibit pergerakan nasional. Hingga kemudian ia lulus dan meraih gelar dokter Melayu pada 29 April 1921.

Tamat dari STOVIA, dosennya Dr. De Langen meminta Djamil menjadi asistennya mengajar sekaligus melakukan riset-riset kedokteran. Pada 1924, pemerintah saat itu mengirim Djamil ke Sumatra Barat. Ia ditugaskan melayani rumah sakit dan poliklinik sejak dari Bukittinggi, Baso, Matur, Lubuk Basung hingga Tiku.

Sembari mengobati pasien, Djamil melakukan riset tentang penyakit tuberculosa dengan biaya sendiri. Laporan yang ia tulis, mendapat penghargaan dan hadiah dari pemerintah Hindia Belanda.

Djamil kemudian dipindahkan ke Tapanuli Selatan pada 1926 untuk melayani masyarakat di Panyabungan, Natal dan sekitarnya. Di sini, ia menghadapi masalah berjangkitnya demam malaria.

Di sela kesibukan "perang" melawan penyakit itu, Djamil menyempatkan diri untuk meriset soal malaria. Sebuah karya ilmiah lahir, salah satunya tentang pola ampuh memberantas penyakit akibat nyamuk anopheles ini.

"Temuan penelitiannya itu, memungkinkan dr. Mohammad Djamil lebih mudah mengurangi penyebaran serta sangat membantu dalam upaya pemberantasan penyakit malaria," sebut Gusti yang menulis bersama Nopriyasman, Syafrizal, A. Gazali Saus, Darwin Amir dan Charles.

Untuk kedua kalinya, riset Djamil mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda. Atas prestasi itu, M. Djamil mendapat kesempatan kuliah lagi untuk meraih gelar doktor di negeri Belanda.

M. Djamil kemudian berangkat ke Belanda dan kuliah lagi di Utrecht mulai 1929. Gelar itu ia peroleh pada 31 Mei 1932. M. Djamil berhak menyandang gelar Doctor Medicinae Interne Ziekten (doktor ahli penyakit dalam).

Melihat kecerdasannya, penyandang dana "Rockefeller Foundation" memberi beasiswa lanjutan untuk belajar di John Hopkins University, Baltimore, Maryland, Amerika Serikat. Hanya dua tahun, Djamil berhasil meraih gelar doktor kedua di bidang kesehatan masyarakat pada 12 Juni 1934.

"Sekali pergi merantau menuntut ilmu ke negeri orang, ke Eropa dan Amerika, dua gelar doktor langsung diperolehnya. Memang sebuah keberhasilan yang sangat langka, tidak hanya pada waktu itu tetapi juga pada saat sekarang," tulis Gusti.

Selanjutnya adalah ladang pengabdian di Tanah Air. Djamil mulai bertugas di Batavia pada 1934, kemudian pindah ke Cirebon, Kediri, Madiun, Madura dan pada 18 November 1935 ke Bengkalis, Riau.

Gajinya yang mencapai 600 guldens (lebih tinggi dari gaji seorang controleur Belanda - setingkat bupati) ia pakai sebagian untuk menyekolahkan sejumlah kemenakannya.

Pada 1938, M. Djamil pindah lagi ke Pulau Jawa, mulai dari Tegal, Bandung dan kembali ke Batavia di Kantor Pusat Malaria. Di lembaga ini, M. Djamil kembali melakukan riset untuk membunuh jentik-jentik nyamuk malaria. Karena penelitian ini, M. Djamil dinobatkan sebagai "Malaria-Loog" atau ahli malaria.

Di akhir 1940, Djamil pindah tugas lagi ke Bengkulu. Ia menjadi kepala wilayah kesehatan untuk Keresidenan Bengkulu. Saat bertugas di sini, Djamil berkenalan dekat dan sering berdiskusi dengan Ir. Sukarno yang saat itu menjalani hukuman buangan ke Bengkulu.

Jelang Jepang masuk ke Bengkulu, Bung Karno bersama keluarga dibawa Belanda ke Padang. Namun, mereka kemudian ditinggalkan di tengah jalan. Sehingga, bersama Ibu Inggit dan anak angkatnya Ratna Djuami, Bung Karno berjalan kaki mengiringi gerobak sapi menuju Padang.

Dr. M. Djamil tetap di Bengkulu saat Jepang masuk. Jabatannya diturunkan pemerintahan militer dua kali setelah itu. Meningkatnya aktivitas represif tentara Jepang, membuat Djamil khawatir atas keselamatan keluarga. Pada 1943, ia memboyong keluarganya pulang ke kampung istrinya Siti Aksar di Pakandangan, Padang Pariaman, Sumbar.

M. Djamil dengan gelar dua doktor spesialis itu kemudian mundur dari jabatannya dan menjalani hidup sebagai petani di kampung. Kegiatan itu ia lakukan sambil meramu obat dan membantu masyarakat yang sakit.

Dua tahun kemudian, ketika tahu ada Dr M. Djamil di Pakandangan, pemerintah pendudukan Jepang memanggil dan memintanya bekerja sebagai pegawai kesehatan di Padang.

Tapi, menurut Gusti dkk, namanya kemudian masuk daftar 500 tokoh Sumatra Barat yang akan dieksekusi Jepang pada 28 Agustus 1945. Ia selamat, karena proklamasi kemerdekaan kemudian berkumandang.

Episode di Pemerintahan

Meski baru beberapa bulan di Padang, kepakarannya membuat Djamil langsung masuk tokoh Sumbar yang diperhitungkan pascaproklamasi. Dr. Djamil aktif dalam pertemuan para tokoh dan pemuda di Padang pada masa peralihan itu. Bersama tokoh pendidikan Mohammmad Sjafei, Mr. Sutan Mohammad Rasjid dan Arif Datuak Madjo Urang, Djamil mendapat tugas membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).

Dalam KNID Sumbar yang bersidang pertama pada 31 Agustus 1945, Djamil menjadi wakil ketua mendampingi M. Sjafei. Ketika Sjafei terpilih menjadi residen, Dr. M. Djamil menggantikannya menjadi ketua KNID Sumbar pada September 1945.

Ketika menjadi ketua KNID ini, M. Djamil menjadi lebih sering berpidato di tengah masyakat. Pidato-pidatonya menarik minat karena berapi-api dan membakar semangat. Ia juga mengemukakan sejumlah diksi unik dan khas, sehingga diingat masyarakat.

Pidatonya dalam rapat akbar pada Oktober 1945 misalnya, sangat terkenal. "Musuh-musuh kita lipat! Pengkhianat-pengkhianat kita sikat!" serunya.

Karir M. Djamil makin penting kala terpilih menjadi residen Sumatra Barat pada 18 Maret 1946. Djamil adalah residen ketiga Sumbar yang ditunjuk oleh KNID sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah ini setelah merdeka.

Sejarawan Mestika Zed, menilai M. Djamil sebagai dokter tanpa pengalaman politik. "Tetapi terkenal sebagai pembicara yang berapi-api. Lebih dari itu, dia dikenal pemberani dan jujur," tulisnya dalam Buku "Somewhere in The Jungle: Pemerintahan Darurat Republik Indonesia" (1997).

Baca Juga: Residen Dr. M. Djamil, Memimpin Sumbar di Tengah Konflik

Memimpin selama empat bulan kemudian, M. Djamil berhadapan dengan situasi yang sulit. Selain, menghadapi peningkatan konstelasi tembak-menembak antara para pejuang dengan Inggris dan Belanda di Padang, Residen Djamil juga menghadapi sejumlah persoalan internal.

Salah satunya adalah persoalan Front Rakyat. Sejarawan Audrey Kahin menulis, pengangkatan Djamil jadi residen, bersamaan dengan pembentukan Front Rakyat oleh KNID.

"Dengan terbentuknya Front Rakyat, maka sistem pemerintahan Sumatra Barat adalah sistem ganda. Sulit untuk membedakan pemerintahan keresidenan dan Front Rakyat," tulis Audrey dalam Buku "Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia 1926 - 1998" (2005).

Menurutnya, KNI mengalihkan kewenangan ekonomi ke tangan Front Rakyat. Front ini berwenang mengumpulkan pajak dan berbagai keperluan lain. Lembaga ini juga diberi kewenangan mengenakan bea atas barang-barang yang masuk dan keluar kota-kota utama di Sumbar.

"Tindakan paling drastis yang diambil Front Rakyat adalah menyatakan uang kertas Rp100 tidak berlaku lagi. Front curiga, Belanda telah membanjiri daerah ini dengan uang palsu untuk menghancurkan ekonomi Republik," ujar Kahin.

Pembekuan mata uang mengakibatkan inflasi melaju cepat dan pasar gelap kian marak. Djamil kemudian memveto langkah Front Rakyat. Ia membatalkan perintah itu dan mencabut kewenangan ekonomi yang diberikan KNI.

Sementara, juga muncul masalah lain. Di Baso, Agam, Tuanku Nan Putih dan adiknya Tuanku Nan Hitam memboikot pemerintah. Tuanku Nan Putih adalah ulama pengikut Syarikat Islam (SI) Merah pada zaman Belanda. Pada 1927 ia sempat dibuang ke Pamekasan, Madura.

"Mereka mendirikan sebuah komune model komunis dan melarang aparat negara berfungsi di daerah itu," tulis Brigjen (Purn) Saafroedin Bahar dalam Buku "Etnik, Elite dan Integrasi Nasional".

Keduanya, menurut Saafroedin, menyusun barisan bersenjata sendiri dan meluaskan pengaruh sampai ke Payakumbuh.
Audrey Kahin menulis, di awal kemerdekaan keduanya adalah pengikut Tan Malaka untuk kemedekaan 100 persen.

Namun, Tuanku Nan Hitam mengartikannya dengan lebih radikal. Bersama pengikutnya, ia mulai mencegat dan merampok masyarakat yang lewat jalur Bukittinggi-Payakumbuh. Beberapa pejabat diculik dan dibunuh.

Ketika mulai ada aksi perampasan, Djamil memerintahkan Komandan Militer Dahlan Djambek menumpasnya. Pada 16 April 1946, Djambek meminta Batalyon Abdul Halim untuk bergerak. "Dalam pertempuran, 113 orang terbunuh. Kedua tuanku itu juga terbunuh," tulis Saafroedin.

Usai masalah itu, giliran menyelesaikan masalah dengan Front Rakyat. Pemerintah pusat, saat itu mendesak Djamil untuk menangkap para pemimpin Front Rakyat. Sama halnya dengan penangkapan terhadap Tan Malaka, Muhammad Yamin dan kawan-kawan yang menolak strategi berunding yang ditempuh pemerintah pusat.

Menurut Audrey, Djamil sempat menangkap Chatib Sulaiman dan kawan-kawan yang tergabung dalam Front Rakyat. Penangkapan ini kemudian dibalas dengan penangkapan Djamil oleh simpatisan Front Rakyat pada 17 Mei 1946.

Panglima Divisi Banteng Dahlan Djambek kemudian memerintahkan pasukannya memulangkan para pemimpin Front Rakyat yang ditahan itu ke Bukittinggi dan bertemu dengan Djamil. Dalam rapat tanggal 20 Mei itu, Front Rakyat menegaskan kesetiaan kepada pemerintahan dan kepemimpinan kabinet Sjahrir serta memerintahkan pembebasan Residen Djamil.

Setelah rekonsiliasi tersebut, pada akhir Juni 1946, KNID meminta Djamil mau menerima jabatan sebagai gubernur muda Sumatra Tengah yang baru saja terbentuk. Djamil bersedia.

Menurut Gusti, M. Djamil mulai menjadi gubernur muda Sumatra Tengah pada 2 Juli 1946. Berpusat di Bukittinggi, Djamil mengkoordinasikan Keresidenan Sumbar, Riau dan Jambi.

Jabatan residen Sumbar kemudian beralih pada Mr. Sutan Mohammad Rasjid. Ia terpilih menjadi residen Sumbar dengan mendapat dukungan suara di KNI mencapai 90 persen pada 20 Juli 1946.

Pulau Sumatra saat itu merupakan satu provinsi. Karena wilayah yang luas, pemerintah kemudian membentuk tiga sub-provinsi di utara, tengah dan selatan. Masing-masing sub-provinsi tersebut dipimpin gubernur muda yang bertugas membantu gubernur Teuku Muhammad Hasan. Jabatan inilah yang diemban Djamil setelah tak jadi residen.

Saat menjabat gubernur muda ini, Djamil sempat membebaskan Residen Sumbar Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Ketua Pengadilan Tinggi Keresidenan Mr. Harun Al Rasjid dan Kepala Polisi Kota Padang Johnny Anwar dari tahanan Belanda.

Tugasnya sebagai gubernur muda, lebih banyak membantu Gubernur Sumatra Teuku Hasan mengobarkan semangat perlawanan masyarakat melalui pidatonya. Saat berkeliling di Sumatra Tengah juga, Dr. M. Djamil sekaligus mengecek kondisi kesehatan masyarakat, memberi tindakan medis dan ceramah tentang kesehatan.

Keinginan Djamil untuk kembali fokus pada kesehatan, sempat ia sampaikan pada Bung Hatta. Akhirnya, ia mengundurkan diri secara resmi karena alasan itu melalui surat pada Presiden Sukarno.

Sejak saat itu, Dr. M. Djamil kembali pada dunia kesehatan dan pendidikan. Ia sempat mendapat tugas jadi ketua panitia persiapan sekolah tinggi provinsi Sumatra. Setelah keadaan damai, ia kembali buka praktek dokter di Bukittinggi dan kemudian mendirikan Rumah Sakit Sitawa Sidingin di sana.

Dr. M. Djamil wafat pada Juli 1962 dalam usia 64 tahun di RSCM Jakarta. Ia meninggalkan 10 anak dari dua istri, yakni Siti Aksar dan Siti Maryam. Namanya harum dan terus dikenang sebagai salah satu dokter pejuang dari Ranah Minang. (HM)

 

Baca Juga

HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu