Oleh : Aldhy Darza Yustika
Pencemaran mikroplastik di Indonesia bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan sudah menjadi masalah lintas sektor yang menyentuh kesehatan, ekonomi, dan keberlanjutan sumber daya alam. Penelitian LIPI pada 2021 menunjukkan bahwa hampir semua perairan di Indonesia, termasuk Danau Toba, Laut Jawa, hingga Selat Makassar, telah tercemar mikroplastik dalam berbagai bentuk.
Namun, penanganannya masih terlalu tersentralisasi dan belum terimplementasi kuat di tataran daerah. Padahal, solusi jangka panjang sangat bergantung pada peran aktif pemerintah daerah. Negara seperti Swedia telah membuktikan bahwa keberhasilan pengelolaan mikroplastik justru dimulai dari kebijakan lokal yang konsisten dan terintegrasi.
Swedia menerapkan sistem decentralized waste management, di mana setiap pemerintah kota dan daerah memiliki wewenang besar untuk mengelola limbah, termasuk plastik. Mereka menjalankan skema Extended Producer Responsibility (EPR) dan memperkuat pemilahan sampah sejak dari rumah tangga. Misalnya, Kota Malmö dan Gothenburg memiliki sistem daur ulang berbasis wilayah, yang mengatur pemilahan, pengumpulan, dan pengolahan sampah secara mandiri dan efisien. Pendekatan lokal ini tidak hanya mengurangi limbah plastik, tetapi juga mencegah mikroplastik masuk ke lingkungan melalui sistem pengolahan air dan limbah yang terintegrasi.
Di Indonesia, sebagian daerah sebenarnya sudah mulai mengembangkan kebijakan pengurangan plastik. Kota Denpasar, misalnya, telah melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai sejak 2019 melalui Perwali No. 36 Tahun 2018. Surabaya dan Banjarmasin juga menerapkan kebijakan serupa. Namun, langkah-langkah ini masih terbatas pada plastik makro dan belum menyentuh aspek mikroplastik yang tersembunyi namun berbahaya. Salah satu tantangan terbesar di tataran daerah adalah belum adanya regulasi spesifik terkait mikroplastik, serta kurangnya kapasitas pemantauan dan teknologi pengolahan limbah halus.
Pemerintah daerah memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor pengendalian mikroplastik, asalkan ada political will, dukungan regulasi, dan keterlibatan komunitas. Regulasi daerah bisa mencakup pelarangan produk rumah tangga yang mengandung mikroplastik (seperti sabun dan kosmetik), kewajiban pemisahan sampah organik dan anorganik, serta pembangunan fasilitas pengolahan limbah cair yang mampu menyaring partikel mikro. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan LSM sangat penting untuk riset lokal dan sosialisasi kepada masyarakat. Sehingga anggaran yang ada pada pemerintah itu dapat dialokasikan dengan dampak yang lebih nyata
Penting pula untuk menanamkan literasi lingkungan sejak dini di sekolah-sekolah daerah. Swedia, misalnya, mewajibkan pendidikan lingkungan hidup dalam kurikulum dasar, yang menjadi fondasi kesadaran ekologis warga negaranya. Hal serupa bisa dilakukan oleh dinas pendidikan di tingkat kabupaten atau kota, sehingga generasi muda tidak hanya tahu bahaya mikroplastik, tetapi juga terdorong untuk menjadi agen perubahan. Begitupula dengan Mahasiswa yang sudah memiliki basis keilmuan terkait hal itu dapat diberdayakan dengan maksimal, sekaligus menjadi lahan praktikum bagi mereka untuk menerapkan keilmuanya secara berdampak kepada Nusa dan Bangsa.
Sebagai negara maritim, Indonesia tidak bisa lagi menunda tindakan. Mikroplastik bukan hanya merusak ekosistem laut, tapi juga masuk ke rantai makanan manusia. Jika pemerintah daerah terus menunggu langkah dari pusat, maka kita akan kehilangan waktu berharga untuk menyelamatkan lingkungan lokal yang menjadi penopang hidup warganya.
Sudah saatnya pemda menjadi penggerak utama, bukan sekadar pelaksana kebijakan nasional. Belajar dari Swedia, pendekatan lokal yang berbasis data, teknologi terjangkau, dan partisipasi publik terbukti lebih efektif dalam jangka panjang. Indonesia memiliki banyak potensi lokal, tinggal bagaimana daerah diberi ruang, sumber daya, dan kepercayaan untuk mengelola persoalan ini dari akarnya.