• Masuk
  • Daftar
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
Langgam.id
  • BERITA
  • KHAS
  • PALANTA
  • KOLOM
  • BERITA
  • KHAS
  • PALANTA
  • KOLOM
Langgam.id
Home Kolom Alam Pikiran

Mercon dan “Mak Itam”

Prof. Dr. Surya Rosa Putra*

Redaksi
21/05/2021 | 17:59 WIB
A A

Liburan Hari Raya di kampung adalah salah satu momen paling indah dari masa kecilku dulu. Makanan berlimpah. Singgang bilih, samba lado tanak, galamai, bakubang, paniaram, kue bareh dan makanan enak lain yang jarang ku jumpai, ada semua.

Tiap naik jenjang rumah, aku makan, walau nenek sudah wanti-wanti, jangan makan di rumah si A atau si B. Makanannya telah “diisi”, katanya. Seingatku aku hanya bertemu “isi” panganan yang enak semua.

Baca Juga

Bakal Jadi Warisan Dunia, Ahli Teknik Mesin dari Jerman Kunjungi Pabrik Indarung I

Perbaikan Jalur Kereta Api Mak Itam Sawahlunto-Muaro Kalaban Dimulai

Momen itu juga merupakan saat untuk melihat anak-anak rantau yang pulang mudik dengan gaya. Apalagi kalau ada yang bawa mobil, serasa melihat makhluk dari planet lain.

Pakai baju koko, celana panjang cut-bray dan bicara “lu, gua”. Keren.

Lebih keren lagi kalau mereka membawa oleh-oleh sebangsa dodol untuk kami. Tapi biasanya mereka sibuk dengan keluarga mereka.

Di antara semua itu, yang paling ku tunggu adalah main sepuasnya dengan teman sebaya di pasar, di batang air, di bukit atau di Danau Singkarak, yang tidak jauh dari kampungku.

Beda sekali dengan suasana Hari Raya di kota, yang paling-paling hanya diisi dengan nonton bioskop dan makan sate di pasar. Itu pun kalau hasil “menambang”, hadiah uang lebaran dari para tetangga cukup.

Bila tidak, di rumahlah aku seharian menghabiskan kacang tojin dan kue semprit buatan Ibu. Main dengan teman pun kadang tdk bisa karena mereka pada mudik.

Alkisah, di suatu hari raya, setelah salat di masjid, aku dan teman-teman kampungku, seperti biasa, nongkrong di sekitar pasar. Biasanya, dari sana kami menyusun rencana main hari itu.

Sambil ngobrol, seorang teman mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Dan, tralala.. ternyata beberapa untai mercon. Senang dengan kejutan tersebut, teman-teman pun bersemangat untuk segera meledakkannya.

Aku sendiri tidak terlalu berani, sebab belum pernah pegang mercon sebelumnya. Aku lebih suka dengan kembang api.

Satu per satu mercon itu pun diletuskan secara bergantian dengan berbagai gaya. Ada yang diletakkan di tanah, di lempar ke atas atau di gantung di pagar. Ramai sekali.

Sekali-sekali kami ditegur oleh para orang dewasa lewat yang kaget. Teman-teman pun minta maaf, lalu meledakkannya kembali, begitu yang menegur berlalu.

Duduk agak menjauh, ternyata ada seorang teman yang tahu aku belum dapat giliran. Dia pun memberikan 3 mercon dan korek api padaku. Malu dianggap penakut, mercon kuletakkan di tanah, ku bakar lalu cepat-cepat lari.

Dan…sshhh..mercon pun mendesis, tidak meledak. Aku ternyata diberi mercon yang sebagian sumbunya basah. Teman-teman terbahak.

Dengan gugup, lalu kuambil mercon kedua. Kubakar sumbunya, lalu cepat-cepat kulempar. Sial, belum sampai habis sumbunya, mercon sudah jatuh ke selokan.

Tetap saja tidak ada ledakan. Teman-teman semakin terbahak.

Ternyata hanya untuk meletuskan mercon ada ilmunya juga. Apalagi melempar granat, batinku. Menyesal aku, mengapa tidak main mercon saja selama ini. Sebab, pengalaman bisa dipakai bila diminta melempar granat.

Dengan rasa penasaran, kuambil mercon ketiga, kubakar, lalu kupegang sebentar. Maksudku, menunggu sampai sumbunya terbakar setengahnya dulu, baru kulempar.

Tapi kulihat, sumbunya terbakar lebih cepat dari perhitunganku. Dengan panik, mercon itu pun kulempar dan…astaghfirullah..tepat mengarah ke seorang tua yang lewat.

Mercon meledak, aku pun kabur ke arah stasiun kereta. Teman-teman tidak terbahak lagi. Aku terus lari, dan lari tanpa menoleh ke belakang. Sampai di stasiun aku berbelok ke arah selatan menyusuri rel kereta.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar cuitan Mak Itam membawa rangkaian batu bara. Kesempatan kabur jauh nih, pikirku. Biasanya gerbong belakang bukan berisi batubara. Di sana ada tempat untuk naik.

Kutunggu Mak Itam yang beringsut pelan. Dugaanku benar, gerbong belakang adalah gerbong barang. Aku melompat. Sambil menikmati wangi asap Mak Itam, pikiranku sudah ada di Padang Panjang, atau paling tidak di Pitalah, desa terdekat dari kampungku.

Tapi, baru berapa puluh meter, tiba-tiba kepalaku menghantam tiang télégram di pinggir rel. Rupanya aku terlalu bernafsu menghirup uap Mak Itam, sehingga kepalaku terjulur keluar.

Dalam keadaan pusing, aku pun melompat turun. Untung tidak bocor, kataku dalam hati. Mungkin ini adalah hukum dari Allah akibat ulahku tadi. Hukuman lain menantiku di rumah.

Terbayang nenek sudah menyiapkan pelecut atau semut karanggo. Kata orang, nenek pernah menghukum mamakku dengan kedua “alat” itu.

Dengan langkah gontai, aku pulang menyusuri rel kereta di antara sawah-sawah. Sampai di rumah, sudah hampir ashar. Tidak terlihat tanda kemarahan di muka nenek dan Tuok.

Alhamdulillah, ternyata teman-temanku tidak ada yang melapor, pikirku.

Besok harinya kutemui teman-teman untuk mengucapkan terima kasih. Sekalian bertanya, bagaimana keadaan korban merconku kemaren. Mereka terbahak. Ternyata tidak ada korban. Merconku meledak dekat orang pekak. Aku pun ikut terbahak.

Peristiwa itu kukenang sebagai pertemuan terakhir dengan Mak Itam yg ternyata menyimpan sejarah panjang sebagai pengangkut batubara dari tambang batubara paling unik dunia, Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto.

Tahun 2019, aku menjadi saksi penetapan Tambang, plus mak Itam dan jalurnya sebagai Warisan Dunia UNESCO di Baku Azerbaijan.

*Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO

Tags: Idul FitriMak ItamWarisan Dunia Unesco
BagikanTweetKirim

Baca Juga

Hafidh Akbar. (Foto: Dok Pribadi)

Telisik Fenomena dan Fungsi “Duta”

31/07/2022 | 14:00 WIB
Rafki RS (Foto: Dok Pribadi)

Kapitalisme Irreligius (KI) Sebagai Antitesis Kapitalisme Religius (KR)?

31/07/2022 | 12:06 WIB
Dr. Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia. (Foto: Dok Pribadi)

Ada Apa dengan Kapitalisme Religius (KR)?

30/07/2022 | 13:54 WIB
Politisi yang memiliki komitmen bagaimana Sumatera Barat ini maju tanpa memikirkan konstituen di daerah pemilihannya adalah Andre Rosiade.

Andre Rosiade Politisi Lintas Partai

28/07/2022 | 14:41 WIB

Discussion about this post

Terpopuler

Berita terbaru dan terkini hari ini: Arief Muhammad buka rumah makan Payakumbuah Masakan Minag di Tangerang, Banten.

Arief Muhammad Buka Rumah Makan Padang di Tangerang, Lokasinya Bekas Restoran Nan Gombang

01/06/2022 | 17:53 WIB
Dr. Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia. (Foto: Dok Pribadi)

Ada Apa dengan Kapitalisme Religius (KR)?

30/07/2022 | 13:54 WIB
Sumatra Barat dan Pulau Sumatra. (Peta: openstreetmap.org)

15 Pahlawan Nasional dari Sumatra Barat

10/11/2020 | 16:33 WIB
Langgam.id - Mantan Bupati Kabupaten Mentawai, Yudas Sabaggalet menyebutkan Undang-undang Provinsi Sumbar tidak adil bagi Mentawai.

Yudas Sabaggalet Sebut UU Provinsi Sumbar Tak Adil Bagi Mentawai

01/08/2022 | 15:51 WIB
Langgam.id - Sejumlah organisasi pemuda yang tergabung dalam Aliansi Mentawai Bersatu meminta UU Provinsi Sumbar direvisi.

Dinilai Diskriminatif, Aliansi Mentawai Bersatu Minta UU Provinsi Sumbar Direvisi

01/08/2022 | 15:13 WIB
Langgam.id

Berita  •  Khas  •  Palanta  •  Kolom

Ikuti Kami

Copyright 2019-2021 PT. Langgam Digital Nusantara | All rights reserved.

Tentang  •  Kerjasama & Iklan  •  Pedoman Media Siber  •  Ketentuan Privasi  •  Indeks 

Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • BERITA
  • KHAS
  • PALANTA
  • KOLOM
  • Masuk
  • Daftar

Copyright 2021 PT. Langgam Digital Nusantara | All rights reserved.

Selamat datang

Silakan masuk ke akun anda

Forgotten Password? Daftar

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In