Menyongsong 1 Abad PSA Sulit Air: Dari Nagari untuk Kemajuan Bangsa

Menyongsong 1 Abad PSA Sulit Air: Dari Nagari untuk Kemajuan Bangsa

Peringatan berdirinya PSA Sulit Air yang ke-9, Januari 1935. [Arsip: A. Malin Batuah]

Sulit Air, dalam catatan tambo Alam Minangkabau, adalah Cumeti Koto Piliang. Pada awal abad ke-20, Sulit Air menjadi bagian penting dalam proses modernisasi di Minangkabau.

Mahyudi Dt. Sutan Maharaja adalah tokoh sentral yang memainkan peran penting ini. Dia memukul gong “adat democratic revolution” di tengah semangat modernisasi Islam yang digaungkan kaum muda Minangkabau.

Dt. Sutan Maharaja atau dikenal Dt. Bangkit, melalui Oetosan Melajoe dan Soenting Melajoe, melakukan perubahan penting dalam masyarakat Minangkabau. Pada saat yang sama, Dt. Bangkit juga menjadi penggerak ekonomi perempuan melalui sekolah tenun yang didirikannya di berbagai daerah Minangkabau.

Elizabeth E. Graves mencatat, Sulit Air dan Puar Datar termasuk nagari yang paling awal memiliki sekolah bila dibandingkan nagari-nagari lain, seperti Koto Gadang, yang baru ada pada awal abad 20. Ini menunjukkan bahwa kesadaran pentingnya pendidikan, sudah menjadi faktor penting dalam dinamika masyarakat Sulit Air; yang pada tahun 1990-an, dikenal sebagai “kota wesel”.

Ini dibuktikan dengan cukup banyaknya lembaga pendidikan di Sulit Air. Satu di antara yang tertua dan berdiri atas swadaya masyarakat adalah Pendidikan Sekolah Agama (PSA) atau juga dikenal sebagai Pendidik Guru Agama (PGA). Sekolah ini, pada tahun 2025 nanti, tepat berusia 1 abad.

Sejarah Singkat PSA

Pendidikan Sekolah Agama (PSA) adalah wujud konkret kesadaran masyarakat Sulit Air terhadap pentingnya pendidikan. Sekolah ini berdiri pada tahun 1925. Labai Muhammad Yasin adalah pencetus ide pendirian PSA. Yasin adalah murid Syekh Muhammad Thaib Umar di Sungayang dan merupakan satu antara ulama pembaharu di Minangkabau yang pernah mengaji dengan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Selain Labai Muhammad Yasin, murid Syekh M. Umar Thaib yang lain dari Sulit Air adalah Engku Khatib Syamsuddin dan Engku Quraisy. Khatib Syamsuddin termasuk ulama yang mendukung ide Labai Muhammad Yasin mendirikan Sekolah Agama di Sulit Air.

Kemajuan sekolah thawalib dan diniyah, membuncahkan semangat Yasin untuk mendirikan sekolah agama di Sulit Air. Ide ini, dia sampaikan dengan sahabatnya, Yamin Hamza dan Yamin Yahya. Keduanya menyambut baik. Saat disampaikan kepada ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai, ide ini menjadi semangat bersama.

PSA mulai menerima murid dan proses belajar dilaksanakan dari surau ke surau. Surau Tobiang adalah tempat pertama sekolah ini yang kemudian pindah ke Surau Lubuak Sanggodang, dan Surau Muruak. Jenjang pertama difokuskan pada level ibtidaiyyah.

Tiang pertama gedung PSA Gando ditegakkan pada tanggal 27 Maret 1926. Walaupun sederhana, gedung ini mulai beroperasi pada tahun 1927. Sejak itu, secara perlahan kelas-kelas guru agama mulai dibuka. Sehingga, PSA juga dikenal sebagai PGA (Pendidikan Guru Agama).

Pada 19 Desember 1962, dengan semangat gotong royong seluruh masyarakat di rantau dan di kampung, dan disponsori oleh Rais Taim St. Alamsyah, gedung PSA yang lama dibongkar. Gedung baru semi permanen dibangun terdiri dari 2 unit, masing-masing 3 lokal sekolah berlantai dan dinding semen, serta beratap seng (sebagian berasal dari atap seng gedung lama).

Selanjutnya, pada 17 Maret 1986, Gedung PSA Gando yang lama dibongkar, dan mulai dibangun ulang dengan bangunan permanen berlantai 2 dan 12 kelas. Uniknya, pembangunan ini diprakarsai oleh Ikatan Wanita Alumni PSA. Gedung baru ini selesai dan diresmikan 21 Februari 1987 dengan menelan biaya sekitas Rp119 juta.

Pita merah-putih peresmian gedung PSA dipotong oleh Ibu Nelly Adam Malik. Acara juga dihadiri oleh Wakil Gubernur, Drs. Syurkani, Bupati Solok, Drs. Amran Danau, dan Ibu Yusuf Singadikane (mertua Irsal Yunus ayah Ihsan Yunus, anggota DPR RI).

Sebagai sekolah yang berdiri atas swadaya masyarakat, PSA telah melewati banyak episode keemasan maupuan kemerosotan. Namun, semuanya dilewati dengan secara konsisten mencetak generasi muda yang menjadikan agama sebagai dasar keberhasilan dalam menghadapi tantangan hidup di setiap lini profesi.

Komitmen menyerukan Islam yang moderat dan modern, melekat pada karakter alumni PSA; dulu dan kini. Agaknya, ini menjadi fondasi penting mengapa PSA tetap bertahan, di tengah gempuran lembaga pendidikan yang semakin berkembang.

Selain itu, modal sosial alumni-alumni maupun pecinta PSA sangatlah kuat. Sekalipun tidak pernah sekolah di PSA, siapapun masyarakat Sulit Air yang orang tuanya pernah duduk di sekolah ini, merasa bagian dari keluarga besar PSA.

Lebih dari itu, sejak awal berdiri, PSA memang berasal dari masyarakat Sulit Air untuk kemajuan bangsa. Saya katakan demikian, karena jebolan PSA pada umumnya tersebar di perantauan, baik di dalam maupun di luar negeri dengan berbagai profesi.

Sampai awal tahun 2000-an, sudah menjadi rahasia umum masyarakat Sulit Air bahwa pelajar putri PSA adalah perempuan pilihan yang menjadi rebutan perantau yang ingin berumah tangga. Mengapa? Selain faktor ilmu agama yang mereka kuasai, juga karena kemandirian dan keuletan mereka, sehingga dianggap sebagai “gadis idaman”. Bahkan, pada tahun 1970-an, PSA sempat diwacanakan menjadi “sekolah keputrian” sebagai solusi atas kehancuran yang tengah menghantuinya.

Pada tahun 1980, PSA Sulit Air menerapkan pola Pondok Pesantren Modern Gontor. Empat orang guru didatangkan dari Gontor, Ponorogo. Pada dasarnya, sistem ini tidak jauh berbeda dengan semangat awal pendiri yang ingin menjadikan PSA sebagaimana sekolah Thawalib dan Diniyah di Padang Panjang.

Sebagaimana diketahui, K.H. Imam Zarkasyi, pendiri PPM Gontor pernah belajar di Sumatra Thawalib Padang Panjang pada tahun 1930-an dibawah asuhan Syekh Abdul Karim Amrullah. Penerapan sistem ini cukup mengharumkan nama PSA sampai dengan tahun 1990-an.

Menyongsong 1 Abad PSA

Pada tahun 2025 nanti, PSA genap berusia 1 abad. Rupanya, PSA 3 tahun lebih tua dari pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung yang belum lama ini memperingati milad 98 tahun Tarbiyah-Perti. Namun, nama PSA tentu tidak sebesar sekolah yang didirikan oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang telah mencetak ulama, cendikiawan, dan lainnya yang terkenal di mana-mana.

Sungguh pun demikian, PSA adalah wujud kontribusi penting anak nagari untuk bangsa dan negara. Sejak berdiri pada tahun 1925, nyaris, seluruh pembangunan gedung yang ada di PSA dan pengadaan fasilitas-fasilitas serta kebutuhan sekolah lainnya, bersumber dari kedermawanan perantau Sulit Air.

Dari nagari untuk kemajuan bangsa menjadi spirit PSA yang hendak menyambut usinya yang ke 1 Abad. Semangat ini, mulai diwujudkan dengan memperbaharui sistem manajemen dan kurikulum sekolah.

Pada 12 Juni 2022 lalu, di kampus PSA Sulit Air, “Pesantren Entreprenur” atau “Madrasah Entrepreneur” menjadi distingsi unggulan PSA ke depannya. Untuk mewujudkan program tersebut, selain didukung oleh fasilitas gedung, laboratorium, musala, perpustakaan, dan aula yang representatif, PSA Sulit Air kembali menerapkan sistem pondok atau boarding school, sehingga kajian kitab kembali menjadi bagian penting kurikulum PSA.

Saya masih teringat saat Makwo (dari sebelah bako), meminta agar dibelikan Al-Quran dengan terjemahan berbahasa Arab. Saya jawab, memangnya Makwo bisa bahasa Arab? Dengan santai dia menjawab, "eh, modeko den alumni PGA ma miang (walau seperti ini, saya ini alumni PGA, ya!). Saya kagum sekaligus malu, karena saat itu sebagai murid PSA, belum mampu membaca kitab, apalagi menerjemahkannya.

Baca Juga: Pesantren Lansia di Dharmasraya, Sutan Riska: Lansia Mesti Diberdayakan

Dengan semangat entrepreneur, PSA Sulit Air diproyeksikan akan mencetak alumni yang mandiri, berdikari, kreatif dan inovatif dengan memanfaatkan sains dan teknologi. Tidak hanya itu, untuk membangun raso ba-Minangkabau, PSA Sulit Air juga menjalin kerjasama dengan lembaga adat dengan memberikan pelatihan dan pengamalan adat budaya Minangkabau kepada seluruh pelajar PSA Sulit Air.

Kembali ke khittah perjuangan PSA sejak awal, agenda pembaharuan PSA dalam menyosongsong 1 abad ini, tentu sangat membutuhkan dukungan berbagai pihak. Baik alumni, pecinta pendidikan, pemerintah, perantau, maupun masyarakat pada umumnya. Mari bersama kita majukan anak nagari; Dari Nagari untuk Kemajuan Bangsa, bersama kita songsong 1 abad PSA Sulit Air.

---------------------------

Dr. Addiarrahman merupakan alumni PSA Sulit Air (Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi)

Baca Juga

Jalan Terjal Welhendri Azwar Menggapai Guru Besar
Jalan Terjal Welhendri Azwar Menggapai Guru Besar
Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Pergeseran Nilai Muhammadiyah Sumbar dalam Politik?
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sumbar, Bayu Aryadhi mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi
BP2MI: Tidak Ada Pekerja Migran Indonesia dari Sumbar di Zona Konflik
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
Ahmad Hafidz
Nagari Creative Hub: Penggerak Ekonomi Masyarakat
Sebanyak 14 anggota DPR RI dan 4 anggota DPD RI terpilih asal Sumatra Barat untuk periode 2024-2029 telah dilantik pada 1 Oktober 2024
Harta Kekayaan Anggota DPR dan DPD Asal Sumbar: Mulyadi Terkaya, Cerint Iralloza Terendah