PENGISIAN serta pengangkatan suatu jabatan struktural pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah dengan menggunakan mekanisme promosi secara terbuka merupakan indikator penentuan suksesnya reformasi birokrasi. Mekanisme lelang jabatan dinilai menjadi faktor utama dalam upaya perubahan birokrasi dewasa ini.
Lelang jabatan eselon secara terbuka diyakini menumbuhkan kompetisi antar pejabat secara sehat, objektif, fair, dan terbebaskan dari praktik KKN. Selanjutnya, promosi terbuka dan lewat lelang jabatan eselon ini jika dilakukan secara transparan, dan menerapkan indikator tertentu dan dilakukan dari pihak yang kompeten dan ahli melakukan seleksi akan menghasilkan pejabat yang berkompeten pula. Proses seleksi yang berpegang pada prinsip profesionalitas tentu putusannya diharapkan mendapatkan legitimasi dari publik. Saat ini, model ini diyakini menjadi sarana paling tepat untuk mendapatkan calon-calon pimpinan atau pejabat-pejabat terbaik yang akan mengisi posisi strategis di pemerintahan daerah yang berasaskan pada meryt system.
Pemerintah menetapkan bahwa proses perekrutan jabatan publik dilakukan melalui Sistem Merit, yakni perekrutan berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Sesungguhnya UU ASN menjadi tonggak perbaikan manajemen karier ASN yang dilaksanakan secara fair, adil dan profesional.
Namun berbeda pada tataran praktik, pengisian jabatan di lingkungan pemerintah daerah khususnya Provinsi Sumatera Barat diindikasikan berdasarkan pada latar belakang daerah, faktor kedekatan bahkan irisan pada afiliasi politik kelompok tertentu. Ini praktik birokrasi yang tidak sehat, bahkan membentuk citra yang buruk bagi pemerintah daerah. Tidak sedikit jabatan strategis di tingkat pemerintah provinsi disinyalir diisi oleh pejabat yang berasal dari Pemerintah Kota Padang.
Hal ini disebabkan karena terdapat dua kecenderungan hubungan dalam birokrasi pemerintahan. Pertama, yaitu executive ascendancy yang menempatkan birokrasi sebagai mesin politik semata, dan kedua bureaucratic sublation yang menempatkan pejabat politik dan pejabat karier secara proporsional. Hal ini dimaksudkan dalam bentuk dua aktor yang saling membangun hubungan antar sesama pejabat politik dan pejabat karier yang kemudian melahirkan dominasi golongan dalam tubuh birokrasi, fakta inilah yang dapat merusak jalannya tata kelola pemerintahan yang sehat.
Pengangkatan ASN pada jabatan struktural yang didominasi oleh kepentingan politik pejabat politik yang berkuasa, memang dianggap “wajar” bagi sebahagian kalangan karena dinilai “jatahnya rezim yang berkuasa”. Akan tetapi pemerintah daerah mesti sadar akan budaya politik demikian berdampak pada jalannya tata kelola pemerintahan. Praktik ini juga menutup akses bagi setiap orang untuk duduk di jenjang karir birokrasi sesuai dengan kompetensi dan pengalamannya selama menjadi sebagai seorang birokrat.
Dalam praktiknya, Pemerintah Provinsi Sumatera barat malah mempertontonkan proses seleksi yang tidak sehat. Rekrutmen jabatan setingkat eselon di lingkungan pemerintah daerah berdasarkan spoil system. Spoil system ini secara sederhana dimaknai sistem ketenagakerjaan di lingkup pemerintahan yang berhubungan dengan pengangkatan jabatan berdasarkan koneksi politik, siapa dekat dengan siapa dan terkoneksi dengan partai apa. Lebih lanjut pengangkatan atau penunjukan jabatan yang berdasarkan selera pribadi atau berdasarkan kepentingan suatu golongan. Pada dasarnya spoil system diisi oleh kedekatan politik sehingga menimbulkan politisasi birokrasi.
Apa implikasinya dari praktik yang tidak sehat ini? Perselingkungan antara relasi kepentingan politik dengan pelaksanaan perekrutan jabatan eselon yang diperlihatkan berimplikasi terhadap polarisasi antar pejabat karir. Terdapat pejabat karier melalui lelang jabatan dan kemudian ditempatkan pada jabatan struktural dan bahkan diletakkan pada posisi yang non struktural (nonjob) karena berbeda “selera” dengan pimpinannya. Tentu saja praktik ini menegaskan akan afiliasi politik jabatan terhadap pemimpin yang sedang berkuasa.
Fakta ini menampilkan citra yang buruk dan tidak sehat kepada publik, padahal seyogyanya jabatan-jabatan strategis tersebut merupakan arena bagi ASN yang memiliki kompetensi sesuai dengan keahlian dan pengalaman dalam mewujudkan program kerja yang efektif dan efisien. Bahkan makna efektif dan efisien dalam praktiknya adalah mengakomodir kepentingan afiliasi politik pemenang Pemilu.
Implikasi lain yang dapat dijumpai adalah para pejabat ini berpeluang menghambat karir pejabat eselon di tingkat kabupaten kota untuk mengupgrade diri ke tingkat pemerintah provinsi. Melalui relasi jaringan politik yang dimaksud, dikhawatirkan dapat mencederai nilai-nilai profesionalisme dan menyimpang dari penerapan the right man on the right place. Pola hubungan kepala daerah sebagai atasan jelas terlihat ketika memutuskan memilih calon pejabat eselon dengan mengintervensi pansel, hal ini mempertegas bahwa jabatan-jabatan strategis layaknya sekda, kepala biro, kepala dinas, kepala kantor, dan kepala badan menjadi arena melakukan lobi politik antara partai pemenang dan partai lainnya.
Harapan bagi pergantian kepemimpinan ada dua, Pertama adalah kebutuhan organisasi dan yang kedua adalah peningkatan karir pegawai. Semuanya itu ditentukan oleh loyalitasnya kemudian kapasitas, kinerja dalam melaksanakan tugas. Namun, kepentingan dan birokrasi terkadang dirasa kental dalam mempengaruhi keputusan politis baik pansel bahkan kepala daerah. Sekalipun dalam mengintervensi proses seleksi jabatan eselon di lingkungan pemerintah daerah.
Saat ini, masih berlangsung tahapan seleksi calon Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Kepala Dinas Pangan Sumbar. Kita tunggu saja, apakah pansel yang ditunjuk masih berdasarkan pada afiliasi politik tertentu, faktor kedekatan atau memang tegak lurus pada prinsip profesionalitas, kompeten dan adil. Semoga saja, wallahualam...
Hairunnas adalah Peneliti Spektrum Politika Institute/ Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Andalas