Pada hampir tiap kesempatan atau bagi banyak orang, etnis Minang selalu diidentikkan dan dikenal sebagai etnis yang amat kental budaya berwirausahanya. Fakta menunjukkan bahwa etnis Minang dari zaman dulu, memang menjadikan pilihan sebagai wirausahawan sebagai pilihan hidup mereka. Tidaklah mengherankan jika kemudian pilihan hidup menjadi wirausahawan ini menjadi sebuah budaya yang tumbuh dan berkembang bagi anggota etnis Minang, terutama etnis Minang yang berada di perantauan. Bagi banyak peneliti bidang kewirausahaan/entrepreneurship diyakini bahwa unsur budaya yang dianut dan berlaku pada anggota etnis akan turut berkontribusi terhadap tumbuh berkembangnya budaya berwirausaha yang kondusif (Verheul, dkk, 2001). Morrison (2006) turut menyatakan bahwa unsur budaya merupakan salah satu unsur penentu tumbuhnya lingkungan yang suportif bagi bertumbuhnya usaha baru, selain adanya unsur dukungan sosial. Pendapat dan temuan para ahli tersebut jelas mengindikasikan bahwa budaya berwirausaha sebuah etnis akan dapat tumbuh dan berkembang didalam sebuah sistem dan karakteristik sosial-budaya yang unik, yang supportif terhadap pilihan hidup anggotanya untuk menjadi wirausahawan.
Dalam konteks budaya berwirausaha etnis Minang, tentunya yang menjadi pertanyaan menarik adalah darimana sumber budaya berwirausaha yang dimiliki etnis ini berasal? Menjawab pertanyaan ini, tentunya kita tidak dapat hanya beropini semata, namun harus mampu memberikan argumentasi kuat yang berasal dari sandaran pemikiran dan temuan fakta yang jelas dan terjustifikasi. Upaya untuk memahami hal ini, bisa dilakukan melalui pemahaman akan budaya dan karakter sosial etnis Minang, yang dihubungkan dengan keberadaan sistem kekerabatan matrilineal yang dianut, serta keberadaan pola pembelajaran berwirausaha secara informal melalui proses merantau. Khusus proses merantau, ini adalah proses unik yang biasanya dilalui oleh etnis Minang di perantauan/diluar Provinsi Sumatera Barat yang menjadikannya siap untuk menjadi seorang pengusaha.
Temuan studi oleh Rahman dkk (2020) dengan merujuk kajian dimensi budaya oleh Hofstede (1994) memperlihatkan bahwa karakteristik inti budaya etnis Minang terlihat dari dengan tingkat kesenjangan kekuasaan yang relatif lebar, merupakan etnis yang kolektif dan cenderung memiliki unsur penggunaan rasa (raso-pareso)yang kuat, dengan keyakinan-keberanian menghadapi masa depan yang tinggi sehingga memiliki orientasi berpikir jangka panjang yang jauh lebih baik. Dari dimensi budaya yang dimiliki oleh etnis Minang tersebut, ternyata terdapat perbedaan dengan budaya orang Indonesia secara umum. Etnis Minang cenderung berani menghadapi masa depan yang tidak pasti, yang bersumber dari keyakinan mereka kepada Sang Pencipta melalui prinsip adat basandi syara’ dan syara’ basandi kitabullah. Hal berdampak pada keyakinan etnis Minang yang sebagian besar adalah Muslim, bahwa masa depan ditentukan oleh Allah SWT setelah melalui perjuangan dan upaya terbaik yang mereka lakukan.
Selain itu, sistem keanggotaan keluarga etnis Minang yang relatif luas membuat anggota etnis ini menilai bahwa anggota keluarga mereka bukan saja terdiri dari anggota keluarga inti (suami-istri-anak), namun juga keluarga besar berdasarkan pertalian darah, orang sesama satu suku/kaum, orang sesama satu nagari/desa dan bahkan orang yang berasal dari sesama etnis mereka (sesama etnis Minang). Prinsip etnis Minang yang tertuang dalam ungkapan anak dipangku, kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan (anak dipangku, keponakan dibimbin, orang kampung ikut dijadikan pertimbangan) merupakan prinsip kuat yang membuat sistem keanggotaan sosial etnis ini menjadi lebih luas dibanding etnis lain di Indonesia. Prinsip ini dengan sendirinya membentuk daya berpikir rasional anggota etnis Minang, bahwa mereka harus mampu memperjuangkan keluarganya. Dalam hal ini, tentunya timbul pemikiran jangka panjang untuk terus berbuat yang terbaik bagi anggota keluarga tersebut.
Unsur lain yang merupakan pembentuk budaya berwirausaha etnis Minang adalah adanya pola dan proses pembelajaran berwirausaha unik secara informal melalui aktivitas merantau. Pola dan proses merantau ini membentuk kemampuan anggota etnis Minang untuk adaptif, berjuang dan bertahan, berjejaring, Tangguh dan mampu mengambil peluang sekecil apapun untuk dapat dimanfaatkan bagi masa depan mereka. Tikdalha mengherankan tentunyan jika etnis Minang merupakan salah satu etnis yang memiliki anggota etnis terbanyak yang tersebar diberbagai tempat diseluruh Indonesia, bahkan dibelahan dunia lain. Biasanya, berwirausaha merupakan pilihan hidup utama mereka di perantauan.
Hal unik lainnya adalah sistem kekerabatan matrilineal yang dimiliki etnis Minang. Sistem kekerabatan ini membuat pola waris tidak mengikuti pola waris pada umumnya, yang menjadikan pria sebagai pemilik dan penikmat harta waris keluarganya. Pada etnis Minang, justru anggota etnis wanita lah yang menjadi pemilik harta waris, sementara pria hanya diberikan hak pengelolaan semata. Hal unik ini membuat lelaki etnis Minang cenderung tidak mau menggantungkan hidup dari harta waris, dan cenderung lebih berprinsip untuk menghidupi keluarganya melalui mata pencaharian mereka sendiri. Sehingga kecenderungan yang terjadi biasanya membuat lelaki etnis Minang menjadi kreatif dan tangguh dalam upaya mereka untuk menghidupi keluarga.
Adanya karakteristik budaya, sistem kekerabatan serta pola dan proses pembelajaran berwirausaha unik secara informal melalui aktivitas merantau yang dimiliki etnis Minang turut berkontribusi terhadap pembentukan unsur psikologi positif yang dimiliki anggota etnis Minang secara individual. Kajian Rahman dkk (2024) menunjukkan bahwa unsur karakteristik budaya, sistem kekerabatan matrilineal dan proses merantau berkontribusi terhadap pembentukan modal psikologi (psychological capital) anggota etnis Minang. Dihubungkan dengan temuan Luthans dkk (2007) mengenai modal psikologi memperlihatkan bahwa unsur adanya harapan akan masa depan yang lebih baik, optimisme, tingkat kepercayaan diri dan ketangguhan merupakan modal psikologi individu utama untuk mencapai kesuksesan. Temuan empiris oleh Rahman, dkk (2024) terhadap ratusan wirausahawan Minang perantauan (dari Banda Aceh sampai Wamena, Papua) memperlihatkan bahwa ternyata karakteristik budaya Minang, sistem kekerabatan matrilineal yang dianut, serta proses merantau membawa kontribusi terhadap terbentuknya unsur psikologi positif didalam diri individu wirausahawan perantauan etnis Minang.
Temuan penting ini tentunya menunjukkan bahwa budaya berwirausaha etnis Minang tidak timbul dan tumbuh dengan sendirinya. Ada unsur karakteristik budaya yang positif, sistem kekerabatan serta proses pembelajaran berwirausaha secara informal yang membantu tumbuhnya modal psikologi individu dalam menjalani profesi dan karir sebagai wirausahawan. Keempat hal inilah yang selama ini telah mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya berwirausaha etnis Minang. Tentunya keunikan-keunikan ini hendaknya tetap dipertahankan dan dilanjutkan keberadaannya, bahkan harus diiringi dengan upaya untuk meningkatkannya agar lebih suportif bagi tumbuh berkembangnya kewirausahaan dikalangan generasi muda etnis Minang.
*Penulis: Hafiz Rahman, SE. MSBS. Ph.D (Dosen-Peneliti Kewirausahaan dan UKM – Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas)