Menunggu Revolusi Krab’s

Menunggu Revolusi Krab’s

Deddy Arsya, pengajar sejarah di IAIN Bukittinggi

Krusty Krab milik Mr. Krab’s, tempat di mana Spongebob dan Squidward si Tentakel bekerja, pada suatu ketika diambil alih sebuah corporat. Bahkan Yujin yang sebelumnya Tuan telah beralih menjadi semata tukang cuci piring.

Di bawah tuan yang baru, para pekerja dibekab sebuah kitab undang-undang yang mengatur segalanya, bahkan cara tersenyum. Tukang pukul bengis disiagakan untuk menjamin pasal-pasalnya diterapkan. Sementara krabbypatty, menu utamanya, kini dibuat dengan bahan dari limbah daur ulang oleh mesin setengah robotik alih-alih dari bahan terpilih yang diracik tangan telaten seorang juru masak.

Menyadari krabbypatty tidak diproduksi sebagaimana biasa dan para pekerja berada di bawah kekuasaan yang memaksa, Krab’s merencanakan 'pemberontakan’. Dia menggerakkan 'revolusi' dengan menyumpal mesin produksi dengan kotak kasir dan meledaklah gerai makanan cepat saja itu hingga hancur-lebur.

Corporat yang merugi karena kehancuran usahanya memilih menjual Krusty Krab, dan pada saat yang tepat Krab’s datang dengan segepok uang membeli apa yang pernah menjadi miliknya. Dia menjadi tuan kembali atas Krusty Krab.

Revolusi Krab’s berjalan mulus dan happy-ending

Krab’s duduk di kursinya dengan tawanya yang renyah. Spongebob dengan spatula bersiul-siul bahagia bekerja di dapurnya. Si Tentakel masih dengan wajah murung yang sama berselonjor di meja kasir tetapi jelas merasa lebih merdeka.

Bisakah kita membayangkan sebuah revolusi seperti dalam serial film kartun?

Di kampung saya, yang dialiri sungai-sungai, air bah sering tiba. Bisa sekali 5 tahun, kadang sekali 10 tahun, tidak pernah pasti, tapi sejauh ini selalu datang.

Sekali air besar, sekali tepian beralih, kata pepatah kuno.

Air bah menggilas banyak hal. Sawah dan ladang. Pondok dan dangau, bahkan rumah-rumah, jembatan, dan jalan raya. Sekolah saya pernah tinggal setengahnya. Karena bah, pasar pernah dipindahkan. Nyaris tidak pernah sama keadaan sebelum dan sesudahnya. Aliran air berubah sama sekali. Jangankan tepian, sebuah kampung juga bisa beralih karenanya, bahkan lenyap.

Kita menyebutnya bencana.

Revolusi, mirip bah. Jika begitu, bencana jugakah?

Setidak-tidaknya dari sisi kemanusiaan, ya. Dari sisi politik, bisa jadi itu kemestian?

Tapi ketika PNPM dan dana desa mengalir, aliran air coba dikendalikan dengan cara didam. Bendungan sebagai pengendali debit air dibuat. Kemungkinan akibat destruktif bah bisa diminimalisir.

Seperti itu jugakah revolusi?

Dalam alam demokrasi, kekuasaan dibatasi. Seorang kepala negara diganti setiap lima/empat tahun. Tidak lagi seumur hidup seperti zaman raja maupun khalifah—dalam sistem monarki absolut, suksesilah salah satu masalah utama yang memicu huru-hara. Tapi dalam sistem kita sekarang, kalau tidak puas, Anda tinggal bersabar selama batas waktu itu untuk mengganti dengan yang dikira lebih baik.

Tapi bisakah dam dan bendungan mencegah bah, sebagaimana bisakah demokrasi mencegah revolusi? Bisakah demokrasi menghindarkan kita dari ketidaksabaran untuk mengubah keadaan sosio-politik dengan serba cepat dan paks? Bagaimana mengatur jatuhnya hujan dari langit dan mengendalikan alir air besar yang diciptakannya? Bagaimana menebak arah sejarah: tidakkah arusnya sama liarnya?.

Revolusi meletus distimulasi oleh berbagai sebab-sebab khusus yang tidak pernah tepat untuk diramalkan. Ada memang sebab-sebab umum yang menjadi pemantiknya: munculnya kesadaran elit-elit oposan tertentu dalam negara, himpitan sosial dan ketimpangan kesejahteraan, adanya jejaring media yang mengintegrasikan unsur-unsur yang kemudian membentuk struktur gerakan, serta yang tidak kalah penting adalah keberpihakan militer dalam gerakan itu. Namun, sekalipun kriteria-kriteria itu secara umum telah terpenuhi, tetapi pada akhirnya sebuah revolusi meletus tidak pernah bisa ditentukan kapan waktunya, ya atau tidak, jika ya seberapa besar letusannya, ke mana arahnya, bagaimana jalannya, lalu akhirnya di mana, dan seterusnya.

Sejauh ini, revolusi lebih dipandang sebagai bencana ketimbang menyelamatkan umat manusia. Belajar dari ‘abad 20 yang riuh’, kebanyakan orang di abad 21 ini lebih mencemaskannya ketimbang memimpikannya.

Tapi kini banyak juga yang rindu padanya, terutama di saat kemuakan pada pemerintah terus menjulang naik dan kalayak semakin gusar pada peta nasibnya. Sejarah bangsa ini telah mengulang kehancurannya berulangkali akibat revolusi. Memang belum apa-apa dibating Krusty Krab milik Mr. Krab’s yang telah 76 kali meledak.  Setiap hancur-lebur, Krusty Krab dibangun lagi, lalu kembali baik-baik saja setelahnya, dan tetap menjadi restoran terbaik di kota Bikinibottom. Dan Krab’s masih duduk di kursinya dengan tawanya yang renyah. Spongebob dengan spatula masih bersiul-siul bahagia bekerja di dapurnya. Dan Si Tentakel...

Tapi, bisakah kita membayangkan revolusi seperti dalam serial film kartun?


Pandai Sikek, 2020. 
Deddy Arsya, pengajar sejarah di IAIN Bukittinggi.

Tag:

Baca Juga

Kekeliruan atas Laporan Film Dirty Vote
Kekeliruan atas Laporan Film Dirty Vote
TPA Aie Dingin Kota Padang: Salah Langkah, Bencana Menanti
TPA Aie Dingin Kota Padang: Salah Langkah, Bencana Menanti
"Ancika 1995" Happy Ending Seorang Dilan
"Ancika 1995" Happy Ending Seorang Dilan
Analisis BI7DRR: BI Diperkirakan Tetap Menahan Suku Bunga Acuan di Level 6 Persen
Analisis BI7DRR: BI Diperkirakan Tetap Menahan Suku Bunga Acuan di Level 6 Persen
Langgam.id - Salah satu tema percakapan publik yang paling hangat belakangan ini adalah tentang perayaan Halloween di Saudi Arabia.
Bahasa Minang dalam Tafsir Ulang Keminangkabauan
Nofel Nofiadri
Tafsir Ulang Keminangkabauan