Menimbang Slogan “Beribadah Sesuai Sunnah”

Nuzul Iskandar : Boleh Memukul Orang Tua

Nuzul Iskandar

Ajakan untuk “beribadah sesuai sunnah” makin gencar terdengar, makin ramai dibincang di media sosial. Juga turunan-turunannya, seperti: shalat sesuai sunnah, umrah sesuai sunnah, doa buka puasa sesuai sunnah, berpakaian sesuai sunnah, dan seterusnya.

Seruan mulia ini sepantasnya disambut dengan tulus, antusias, dan penuh rasa syukur oleh umat Islam. Pesan yang terkandung di sana jelas: agar umat Islam beribadah dan bertingkah laku sesuai tuntunan yang benar.

Tapi, tunggu dulu, kenapa hanya sunnah? Bukankah Nabi Muhammad Saw. mempusakai umatnya dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai satu paket yang tak terpisahkan? Pertanyaan ini saya kemukakan suatu kali, saat menerima ajakan tersebut dari seorang kawan. “Iya juga ya, harusnya sesuai al-Qur’an dan Sunnah”, responnya kembali.

Jawaban kawan tadi mengisyaratkan bahwa istilah sunnah yang digunakan dalam slogan itu butuh narasi penjelas. Bahwa slogan itu berhasil memasyarakatkan istilah “sunnah”, iya, dan itu layak diapresiasi. Namun, tanpa penjelasan yang gamblang, ia rentan disalahpahami, karena sunnah dalam khazanah keislaman memiliki beragam pengertian.

Tentu saja, dialog singkat di atas hanyalah kasus yang terjadi satu atau dua kali saja, tidak berlaku umum. Walau begitu, bolehlah kiranya ini dijadikan sekadar “pintu masuk” untuk menelusuri ragam makna sunnah, sekaligus mengidentifikasi makna mana yang dikandung oleh slogan tadi.

Dalam ilmu hadis, pengertian sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat, dan perjalanan hidup Nabi. Secara umum, pengertian sunnah di sini sama dengan pengertian hadis itu sendiri. Singkatnya, sunnah itu istilah lain dari hadis.

Tentunya, slogan “beribadah sesuai sunnah” tidak tepat mengacu pada pengertian ini, karena seperti telah digambarkan juga di atas, jika beribadah hanya berdasar hadis, bagaimana dengan al-Qur’an? Jadi pincang, bukan?

Beda lagi dalam ilmu fikih. Di sini, sunnah berarti perbuatan yang diganjar pahala jika dikerjakan, tapi tidak berdosa kalau ditinggalkan. Sunnah dalam fikih adalah salah satu status hukum, di samping wajib, haram, makruh, dan mubah. Contoh sunnah: bersedekah, salat tahajud, menyikat gigi, tersenyum, dan seterusnya.

Kalau pengertian ini dihubungkan dengan slogan tadi, tentu maknanya juga timpang. Bagaimana mungkin mengajak orang beribadah hanya untuk perbuatan yang sunnah? Bagaimana dengan yang wajib? Bagaimana dengan menjauhi yang haram? Berarti, bukan sunnah ini yang dimaksud oleh slogan di atas.

Penggunaan istilah “sunnah” berikutnya terdapat dalam kajian tauhid. Tentunya, istilah “ahlus-sunnah wal-jamaah” tak asing lagi bagi kalangan muslimin Indonesia, bahkan mereka populerkan dengan akronim yang keren: Aswaja. Kata “sunnah” yang terdapat dalam istilah tersebut diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan pada kebiasaan dan jalan hidup Nabi. Sedangkan “jama’ah” berarti kebiasaan dan jalan hidup para sahabat Nabi. Maka, ahlus-sunnah wal-jamaah berarti orang-orang yang mengikuti nabi dan para sahabatnya dalam menjalankan agama.

Kalau dihubungkan dengan slogan tadi, tampak ada peluang kecocokan, tapi hanya dari aspek kebahasaan, karena secara konseptual, kata “sunnah” di sini lebih mengarah pada aspek akidah, sedangkan slogan di atas mengarah pada aspek ibadah. Apalagi, jika konsep awalnya adalah “sunnah” dan “jamaah”, tapi yang diambil hanya “sunnah”-nya saja, bukankah ini juga sebuah pemenggalan yang akan menyisakan kepincangan lagi?

Namun setidaknya, pengertian dalam ilmu tauhid itu sudah memberi gambaran bahwa ternyata kata “sunnah” dapat bermakna umum sebagai jalan hidup nabi, sedangkan jalan hidup Nabi itu tidak hanya Hadis, tapi juga al-Qur’an.

Jika dilacak lagi ke sejarah awal Islam, ternyata memang kata “sunnah” sering diartikan sebagai pengamalan agama secara umum yang merujuk pada al-Qur’an dan Hadis. Dalam konteks ini, kata “sunnah” dilawankan dengan kata “bid’ah”, yaitu cara beragama yang tidak merujuk pada al-Qur’an dan Hadis.

Saya menduga kuat bahwa kata sunnah yang terdapat dalam slogan “beribadah sesuai sunnah” dan berbagai turunannya itu menggunakan makna yang terakhir ini. Artinya, di slogan itu terkandung ajakan agar kita beribadah sesuai sunnah, sekaligus imbauan agar kita menjauhi bid’ah.

Penilaian ini diperkuat oleh beberapa video ceramah di media sosial Youtube yang sengaja mengangkat tema sunnah vs bid’ah. Satu di antaranya, ceramah bertema “membedakan da’i sunnah dan da’i bid’ah”. Di tayangan lain, seorang ustaz dengan berapi-api mengingatkan jamaahnya agar berhati-hati terhadap ustaz bid’ah, yaitu ustaz yang tidak mendakwahkan pada sunnah.

Sebatas ini, sebenarnya tidak ada problem, karena memang sepatutnya umat Islam beramal sesuai sunnah dan mesti menjauhi bid’ah. Problem kemudian muncul ketika ada video ceramah yang mengklaim bahwa: beginilah cara salat sesuai sunnah, beginilah doa buka puasa menurut sunnah, dan seterusnya.

Klaim pada ceramah itu mengandung pesan: yang tidak beramal seperti di video ini, berarti bid’ah. Pesan itu dapat ditangkap dengan mudah, sekalipun tidak diucapkan dengan gamblang. Karena, sekali lagi, lawan sunnah adalah bid’ah.

Padahal, realitas fikih sarat dengan keragaman pendapat di hampir seluruh aspek pembahasan, atau diistilahkan dengan khilafiyah. Karena itu, tak elok kiranya jika satu pihak mengklaim pendapatnya yang paling benar, sedangkan yang lain salah; atau pendapatnya yang sesuai sunnah, sedangkan yang lain bid’ah. Kearifan ber-fikih mengajarkan, setiap pendapat ulama itu benar selagi mengacu pada al-Qur’an dan Hadis dengan metode yang benar, walaupun kesimpulan hukumnya berbeda-beda.

Contoh kecil bisa dilihat dalam pembahasan wudhu’. Para imam mazhab memiliki kesimpulan hukum yang beragam tentang ini, padahal sama-sama berdalil pada surat al-Ma’idah ayat 6. Menurut Imam Hanafi, rukun wudhu’ itu empat, karena banya empat itu yang disebutkan dalam al-Ma’idah ayat 6. Menurut Imam Syafi’i, rukun wudhu’ ada enam, karena selain yang empat itu, ada tambahan niat dan tartib (berurutan). Tambahan niat itu diperoleh dari hadis nabi, sedangkan tartib itu dipahami dari penyebutannya secara berurutan dalam al-Qur’an.

Lain lagi menurut Imam Malik, rukun wudhu’ itu ada tujuh. Selain yang enam menurut Imam Syafi’i, ada satu tambahan lagi, yaitu menggosok-gosok anggota wudhu’. Menurut Imam Malik, frasa “faghsilu” pada ayat itu mengisyaratkan agar anggota wudhu’ digosok, tidak sekadar diguyur.

Oleh karenanya, ketika mengemukakan satu pendapat hukum (fikih), ada baiknya menghindari penggunaan kalimat “inilah yang benar” atau “inilah yang sesuai sunnah”. Alangkah elok jika diganti dengan “inilah yang dipegangi oleh ulama A” atau “inilah yang kuat menurut imam B”. Ulama A dan ulama B itu, sama-sama benar keduanya, karena sama-sama bersandar pada al-Qur’an dan Hadis.

Justru, ketika dikatakan ulama A lah yang benar atau yang sesuai sunnah, itu mengandung hujatan bahwa selain ulama A itu salah atau bid’ah semua. Sementara, menghujat sesama orang mukmin, apalagi ulama, adalah perbuatan tidak beradab dan dapat dihitung fasik.

Karena itu, slogan “beribadah sesuai sunnah” perlu ditambahkan narasi penjelas, atau diganti dengan “beribadah sesuai pendapat ulama A”. Begitu juga turunan-turunannya, diubah menjadi: salat menurut ulama B, umrah sesuai pendapat ulama C, doa berbuka puasa menurut ulama D, berpakaian menurut ulama E, dan seterusnya.

Yang diklaim sesuai sunnah itu pada dasarnya menurut penafsiran ulama juga, karena al-Qur’an dan Hadis seringkali tidak memberikan penjelasan secara detail dan gamblang (qath’i), tapi butuh penafsiran. Buktinya, sesama orang yang mengklaim diri sesuai sunnah, toh banyak perbedaan pendapat juga satu sama lain. Silakan tonton videonya di youtube, videonya banyak bertebaran!

Di atas semua itu, tulisan ini hanyalah upaya mencari titik persamaan, hitung-hitung sebagai silaturrahmi gagasan, bukan bermaksud mendebat, apalagi menghujat.[]


Nuzul Iskandar, Dosen Hukum Islam IAIN Kerinci

Baca Juga

Selama Ramadan, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Puasa merupakan kegiatan menahan lapar, haus, hawa nafsu dan hal-hal lain.
Sikat Gigi dan Berkumur-kumur saat Puasa, Bagaimana Hukumnya?
Wakif Dalam Pusaran Wakaf
Wakif Dalam Pusaran Wakaf
Meluruskan Makna Syirik
Meluruskan Makna Syirik
utangnya
Tunda Bayar Utang Padahal Mampu, Ini Hukumnya dalam Islam
Menghindari Kekerasan
Menghindari Kekerasan
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Pertumbuhan Ekonomi Sumbar Menunggu Kepemimpinan Strategis Gubernur Baru