Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta

Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta

Kolase salah satu megalit (menhir) tertinggi di Lembah Maek berada Padang Tabaka dan megalit dengan relief di situs Bawah Parit (Foto: Anselm Kissel). Sumber: Dominik Bonatz dalam Megalithic landscapes in the highlands of Sumatra, yang berpumpun Megaliths Societies Landscapes Early Monumentality And Social Differentiation In Neolithic Europe (Eds.: Johannes Müller, Martin Hinz, Maria Wunderlich)

Langgam.id - Batu-batu andesit itu berdiri tegak dengan gagah dan teguh di Lembah Maek. Warisan peradaban megalit itu tingginya bervariasi antara 0,50 hingga 3,60 m. Sisi batunya lebar, agak pipih, dan bagian atasnya melengkung secara artifisial. Dan ratusan menhir yang ada di sana, keluknya menghadap Gunung Sago, nun Tenggara dari Maek.

Lembah Maek dengan hamparan seluas lebih kurang 50 km persegi, terletak di daerah terpencil di timur laut Dataran Tinggi Minangkabau, Kabupaten Limapuluh Kota. Kira-kira 25 km sebelah utara Kota Payakumbuh. Lembah Maek berpagarkan pegunungan Bukit Barisan yang bergerigi dan kerap diselimuti kabut tipis, dengan ketinggian sekitar 1.600 meter. Sementara lembah yang menghamparkan sawah-sawah hijau yang subur, gemercik sungai, berada di ketinggian sekitar 450 meter.

Sungai Mahat (Maek) yang bermuara di bagian barat lereng gunung, mengalir melalui lembah ke arah timur laut, melewati jurang yang dalam sebelum berlanjut ke utara hingga mengalir ke Sungai Kampar di dataran rendah bagian timur. Di masa lalu, sungai ini menjadi penghubung Lembah Maek ke dunia luar.

Saat ini, aksesibilitas kawasan Lembah Maek adalah jalan beraspal dari Payakumbuh melalui lembah Sinamar dan melewati celah tinggi di punggung utara Lembah Maek.

Survei yang dilakukan arkeolog dari Freie Universität Berlin, Dominik Bonatz pada bulan Agustus 2014, terhitung ada 788 menhir di 18 situs di Lembah Maek. Namun, Bonatz meyakini jumlah menhir di Lembah Maek lebih dari hal yang tercatat pada survei tersebut.

Keberadaan menhir terdistorsi oleh tangan-tangan manusia. Sebagian menhir dihancurkan, dan sebagian dipindahkan untuk digunakan sebagai bahan bangunan.

“Kami menghitung 788 megalit, padahal jumlah sebenarnya pasti jauh lebih tinggi. Ladang megalit berkelompok di empat wilayah lembah yang berbeda (Koto Tinggi, Ronah, Ampang, Koto Gadang), dengan konsentrasi tertinggi berada di Koto Gadang, dengan sembilan lokasi. Daerah-daerah ini terletak di dataran tinggi yang secara geografis terpisah satu sama lain oleh Sungai Mahat dan anak-anak sungainya yang lebih kecil,” jelasnya dalam Megalithic landscapes in the highlands of Sumatra, yang berpumpun Megaliths Societies Landscapes Early Monumentality And Social Differentiation In Neolithic Europe (Eds.: Johannes Müller, Martin Hinz, Maria Wunderlich), terbitan 2019.

Menhir-menhir yang tertancap di tanah Maek, buah artifisial, murni peradaban manusia di masa prasejarah (Paleometalik).

Dekade 1930-an, arkeolog F.M. Schnitger memimpin ekspedisi arkeologi dan antropologi di titik-titik peradaban megalitik di dataran tinggi Sumatra, termasuk kawasan Lembah Maek. Ia memperkirakan artefak tinggalan megalit di Lembah Maek lahir pada 2000 tahun lalu (berpijak pada keluarnya laporan penelitian yang kemudian dibukukan yakni Forgetten Kingdoms in Sumatra, terbitan E.J Brill, leiden, 1939). Artinya peradaban di Lembah Maek sudah ada sejak sebelum tahun masehi, atau fase prasejarah.

Schnitger menyamakan peradaban di Lembah Maek tumbuh bersamaan dengan era magalit kawasan Pasemah, Sumatra Selatan.

Menurut Schnitger, para pendiri mungkin juga adalah pembuat perkakas monolitik yang ditemukan di beberapa tempat di sepanjang Kampar Kanan (Sibiruang, Muara Mahat, dan Kuok).

“Alat-alat ini menunjukkan kemiripan luar biasa dengan yang digunakan di Semenanjung Malaya, mengarahkan perhatian kita pada wilayah ini,” katanya.

Di Malaka, menhir dengan bentuk puncak melengkung menunjukkan kemiripan yang mencolok dengan kolom di Puar Datar (sekarang masuk Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh. Kawasan yang terintegral dengan Lembah Maek dalam geografis peradaban megalitik). Bedanya, menhir di Malaka lebih kasar dan belum selesai, sementara kolom di Puar Datar diselesaikan dengan hati-hati dan dihiasi.

“Di Pangkalan Kempas, di Negeri Sembilan, terdapat tiang-tiang yang disebut bedang, dihias dengan motif volute dan figur binatang seperti burung, kuda, dan naga. Ini bukan kebetulan, karena pilar di Guguk (Puar Datar) juga memiliki figur hewan konvensional, mirip dengan ikan berkepala burung,” ungkap Schnitger.

Perspektif Lingkungan

Arkeolog Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lutfi Yondri, dalam laporan penelitiannya berjudul Tinggalan Cagar Budaya Lembah Mahat menyebut, ada 4 ragam pola hias menhir yang berserakan di Lembah Maek yakni, pertama, Pola Hias Pilin Berganda; hiasan yang indah ini dikenal sebagai sulur-suluran, menampilkan pola yang berputar dan berkelok-kelok, menciptakan efek visual yang memukau.

Kedua, Pola Hias Geometris; pola segitiga atau tumpal yang digunakan bisa berupa tunggal atau ganda, memberikan sentuhan geometris yang tegas dan menarik pada artefak budaya.

Ketiga, Hiasan Silang; hiasan ini menyerupai angka delapan yang disusun secara horizontal, menambahkan elemen simetri dan keseimbangan pada desain.

Keempat, Pola Hias Genetis; suluran yang menggambarkan bentuk genetis ini memberikan kesan organik dan alami, seolah-olah terinspirasi langsung dari alam.

Lampiran Gambar
Ornamen Megalit di Lembah Menhir dan sekitarnya.
Tangkapan gambar dari buku F.M. Schnitger, Forgetten Kingdoms in Sumatra

Di antara corak hiasannya, ada nuansa perspektif lingkungan atau alam yang amat kental dalam tumbuh kembang peradaban megalit di Lembah Maek.

Pemilihan bahan baku menhir bersumber dari batu pilihan yang teronggok di daerah aliran sungai (DAS) Batang Maek, salah satu hulu Sungai Kampar Kanan.

Lalu, batu diangkut ke tempat pendiriannya, yang biasanya berada di dataran tinggi atau puncak bukit.

“Garis besar megalit yang melengkung terlihat jelas pada permukaan batu alam besar di tepi dasar sungai,” beber Bonatz.

Lantas, pahatan motif pada menhir juga sangat mengagungkan lingkungan sekitar.

Keluk kepala menhir (di situs Koto Tinggi dan Koto Gadang) menatap ke Gunung Sago sarat makna. Gunung Sago terletak di sebelah selatan Sungai Sinamar dekat kota Payakumbuh, dengan jarak sekitar 85 km dari Lembah Maek. Gunung Sago dengan ketinggian 2.271 meter di atas permukaan laut (MDPL), lebih mencolok di antara bukit saling berkait yang memagari Lembah Maek.

Orientasi tatapan menhir dan deretan segitiga pada ornamen sejumlah menhir, menabalkan kelindan menhir dengan Gunung Sago, geomorfologi yang paling tinggi di antara pegunungan Bukit Barisan yang bergerigi di kawasan Limapuluh Kota.

“Deretan segitiga tegak pada megalit sering terlihat menunjukkan gunung. Koneksi ke pegunungan masuk akal sehubungan dengan pengaturan alami batu. Dengan puncaknya yang melengkung, semuanya mengarah ke gunung paling menonjol di wilayah tersebut, yaitu Gunung Sago,” kata Bonatz.

Menurut Bonatz, motif segitiga pada menhir merupakan simbol gunung (gunung berapi), cerminan sesuatu yang dramatis, kuat, kesan magis, dan seringkali mistis dari dataran tinggi tersebut.

Menurut kepercayaan yang berkembang saat itu, arwah leluhur berkumpul di tempat-tempat tinggi seperti gunung atau bukit. Keyakinan ini terpancar dari arah hadap menhir di Nagari Mahat yang selalu mengarah ke tenggara, di mana Gunung Sago menjulang gagah.

Bagi masyarakat Nagari Mahat di masa lampau, mendirikan menhir bukan sekadar menancapkan batu. Di baliknya, terkandung rasa hormat dan penghormatan kepada leluhur, serta harapan agar arwah mereka senantiasa melindungi dan membimbing mereka. Menhir menjadi penghubung antara dunia manusia dan alam leluhur, menjadi media komunikasi dan permohonan doa.

Motif segitiga pada megalit Mahat diukir dekat dasar batu dan berdiri di atas deretan spiral yang berkesinambungan, kemungkinan melambangkan laut. Laut, meskipun jauh dari dataran tinggi, sangat penting dalam kosmologi setempat. Gunung berapi di dataran tinggi Minangkabau terlihat dari laut dan sebaliknya, menandakan hubungan erat antara laut dan gunung dalam perspektif kosmologis.

Dalam konteks ancaman, segitiga dengan spiral yang keluar dapat menggambarkan letusan gunung berapi atau simbol kehidupan dan kesuburan yang diberikan oleh kekuatan gunung. Hal ini menyebabkan gunung dan alam sekitarnya dijaga dengan ketat.

Motif kompleks pada megalit menunjukkan segitiga dipadukan dengan volute dan elemen runcing di dasar, dibingkai oleh elemen seperti perisai yang membangkitkan ruang arsitektur. Volute ini mengingatkan pada motif botani dengan daun yang berakhir dalam bentuk spiral.

Desain spiral dianggap sebagai simbol kesuburan. Volute yang melengkung ke luar menandakan kesuburan wanita, sementara spiral yang melengkung ke dalam melambangkan kesuburan bumi. Deretan segitiga runcing menyerupai desain tekstil Indonesia yang dikenal sebagai tumpal. Di Payakumbuh, desain tumpal adalah elemen standar pada selendang untuk wanita dan kain pinggul untuk pria.

Motif tumpal pada tekstil, mirip dengan segitiga pada megalit Mahat, sering dipadukan dengan crotchets atau volutes. Kesinambungan penggunaan ornamen ini mencerminkan tradisi budaya yang bertahan lama, meskipun makna simbolisnya belum dapat ditentukan.

Petunjuk ikonografi tambahan menunjukkan bahwa megalit tersebut mengandung konsep manusia. Dua batu di Bukit Domo, salah satunya berdiri di antara kelompok batu anikonik, memiliki gambar relief yang menggambarkan jenis batu yang sama, menunjukkan hubungan perlindungan dan regenerasi antarmanusia.

Senandung Kehidupan di Lembah Maek

Artefak megalit di Lembah Maek merupakan jejak kepercayaan dan ritual leluhur di masa lampau. Bentuk ujung menhir yang membengkok ke arah tenggara bukan kebetulan, melainkan cerminan keyakinan mereka akan tempat bersemayam arwah nenek moyang.

 “Mereka melambangkan kehidupan, seperti tumpal modern pada tekstil. Beberapa mitos asal usul berkisar di sekitar gunung berapi. Misalnya, masyarakat Minangkabau yang tinggal di daerah ini menghubungkan asal usulnya dengan gunung berapi Gunung Marapi; nenek moyang mereka turun dari gunung berapi ini ketika mereka mulai menetap di lembah dataran tinggi. Terlebih lagi, gunung berapi merupakan titik penting dalam praktik ritual raja-raja Buddha di Sumatera (dan juga di Jawa). Mereka disembah dan dianggap sebagai takhta suci berkekuatan supranatural. Mereka adalah tempat peristirahatan untuk praktik ritual dan berhubungan dengan air dan lautan yang jauh,” jelas Bonatz.

Menurut Bonatz, terlepas dari kenyataan bahwa Gunung Sago tidak terlihat dari dasar lembah Mahat, namun gunung ini ada dalam pikiran setiap orang yang tinggal di kawasan ini dan kehadiran megalit dengan jelas menunjukkan bahwa kawasan tersebut juga dianggap sebagai sesuatu yang menonjol (landmark) simbolis di masa lalu.

Ratusan batu di lembah berhubungan dengan gunung yang menonjol ini, yaitu simbol alami kehidupan dan kekuasaan di kawasan ini. Agensi yang komunikatif juga tampaknya terwujud dalam bentuk batu-batu itu. Mereka menyinggung manusia, meskipun dalam cara yang sangat abstrak. Penafsiran ini diperkuat dengan sepasang batu yang ujungnya dipahat berbentuk kepala manusia.

Lebih dari sekadar batu, menhir di Nagari Maek adalah saksi bisu perjalanan budaya dan spiritualitas masyarakat di masa lampau. Arah hadapnya yang konsisten ke tenggara menjadi pengingat bagi kita tentang kepercayaan dan ritual leluhur yang diwariskan turun-temurun.

Sisi lain, monumen-monumen di Lembah Maek sering dijaga dengan baik dan bahkan disesuaikan dengan agama-agama baru.

Di Puar Datar, menhir selalu dipindahkan dekat masjid dan gedung dewan (adat), menunjukkan kesadaran masyarakat akan hubungan antara rumah dan monumen.

Di Aur Duri, terdapat teras setinggi 1 meter yang diduga merupakan tempat pemujaan kuno. Masyarakat setempat mengatakan bahwa dulunya tempat ini merupakan tempat pertemuan para pemimpin perkasa.

“Monumen prasejarah di Sumatra Tengah selalu dijunjung tinggi, dan bahkan ada upaya untuk menyesuaikan mereka dengan agama-agama baru. Misalnya, di Guguk (Payakumbuh), terdapat pilar dengan puncak Hinduo yang digunakan oleh Raja Adityawarman untuk prasastinya. Di Kubu Rajo, terdapat "batu miring" yang digunakan untuk musyawarah raja dengan patih dan tumenggung. Di Minangkabau, rajo nan tigo selo atau "penguasa di atas tiga kursi batu" sangat terkenal,” beber Schnitger.

Penting juga diketahui, masyarakat kuno Lembah Maek tidak hidup dalam isolasi, terbukti dari impor keramik Tiongkok mulai abad ke-11 dan distribusi megalit di sekitar Sinamar. Perdagangan dengan dataran rendah meningkatkan prestise sosial di Mahat dan Sinamar, memperkuat struktur hierarki dan kompetitif.

Mitra pertukaran di dataran rendah menetap di sepanjang Sungai Kampar, yang sejak abad ke-10 menjadi pusat keagamaan Buddha di Muara Takus, dekat pertemuan dengan sungai Batang Maek, menandai perbatasan antara dataran rendah dan dataran tinggi.

Lampiran Gambar
Batuan di Sungai Mahat, Lubuah Kubang, dengan relief megalit yang belum selesai
Foto: Dominik Bonatz.

Pada pertengahan abad ke-14, penguasa terakhir Sriwijaya-Melayu, Ādityawarman, memindahkan ibu kotanya ke dataran tinggi Tanah Datar, berbatasan dengan Limapuluh Kota. Kontrol atas sentra produksi emas di Tanah Datar mungkin menjadi pendorong utama perubahan ini. Kerajaan dataran tinggi Ādityawarman di Tanah Datar merupakan contoh awal politik hegemoni terpusat di dataran tinggi Sumatra.

Pusat kerajaan Ādityawarman di Bukit Gombak, dekat pusat kerajaan Minangkabau di Pagaruyung, digali oleh tim Jerman-Indonesia pada 2011-2012. Situs ini diduduki dari abad ke-14 hingga ke-17 M, dengan kuburan di lereng Bukit Kincir. Batu-batu kecil di pemakaman ini mengarah ke Gunung Marapi, dengan bentuk melengkung mirip tradisi megalitik di Sinamar dan Maek.

Pengaruh politik baru di Tanah Datar berdampak pada wilayah sekitarnya, memperkuat aliansi dan identitas kelompok di kalangan masyarakat Minang. Tradisi bercampur mencerminkan perkembangan budaya dan sosial yang kompleks di wilayah ini.

Sistem Penguburan Mirip Tata Cara Islam

Situs Bawah Parit, salah satu situs nan paling kaya akan menhir di Kenagarian Maek. Di sana ada sekitar 370 menhir yang tertancap di permukaan tanah. Dalam tatanan lokal, menhir disebut batu mejan.

Ungkapan ini nyaris sama dengan diksi batu makam dalam tradisi Islam yakni maesan atau nisan. Fungsi maesan dalam tradisi penguburan Islam, sebagai penanda proses penguburan seseorang yang telah meninggal dunia.

Salah satu contoh yang menonjol adalah makam di Dusun Ronah, yang dipercaya sebagai makam seorang tokoh dari masa lalu. Makam ini ditandai dengan sepasang batu mejan yang diberi jirat (badan makam) permanen yang terbuat dari konstruksi bata.

Tradisi makam pakai batu maesan di atasnya, masih berlaku hingga hari ini, meski dalam bentuk corak yang berbeda.

Kurun 1985 dan 1986, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menggali Situs Bawah Parit, Lembah Maek. Dari 8 kotak galian yang terbuka, tersibak 7 rangka manusia yang memiliki ciri-ciri ras Mongoloid.

Ketujuh rangka manusia yang ditemukan ditempatkan pada sebuah lubang yang dipersiapkan secara khusus sebagai tempat meletakkan mayat. Wujudnya berupa liang lahad. Luas lubang berkisar antara 125 cm sampai 195 cm dari permukaan tanah.

Hasil penelitian yang kemudian terpumpun dalam Laporan Ekskavasi Tradisi Megalitik di Kecamatan Suliki Gunung Emas dan Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, tahun 1986 ini, juga merilis orientasi rangka atau mayat yang dikuburkan, diletakkan dengan pola kepala ke arah barat laut, sementara kaki ke arah tenggara. Dan posisi kepala agak ditekuk ke arah kaki.

Di samping liang lahad dalam wadah kubur, ekskavasi juga menemukan kumpulan tanah yang berwarna kehitaman pada kedalaman 135 cm dari permukaan tanah.

 “Di situs Bawah Parit, penguburan dilakukan secara primer tanpa wadah, yaitu menguburkan mayat langsung ke dalam tanah menggunakan teknik liang lahad. Liang lahad dibuat dengan menggali tanah hingga kedalaman 125 hingga 195 cm dari permukaan tanah. Pola peletakan mayat dalam liang lahad di situs ini mirip dengan tradisi penguburan Islam, meski orientasinya berbeda. Jika makam-makam Islam umumnya membujur utara-selatan, liang lahat di situs Bawah Parit berorientasi barat laut-tenggara,” jelas Lutfi Yondri, ternukil dalam Situs Bawahparit: Jejak Penguburan Masa Transisi, terbitan Jurnal Lektur Keagamaan tahun 2014.

Arkeolog Cecep E Permana mengatakan, penguburan di situs ini tidak disertai bekal kubur seperti dalam tradisi megalit lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tata cara penguburan Islam telah diterapkan oleh masyarakat pendukung budaya megalitik di masa lalu.

“Selain menggunakan liang lahad, penempatan menhir sebagai penanda kepala mayat juga tidak berbeda jauh dengan posisi mayat dalam penguburan Islam yang rata-rata dengan kedalaman 175 hingga 190 cm dari permukaan tanah,” kata Cecep yang ternukil dalam buku Tinjauan Terhadap Orientasi Kubur Prasejarah, terbitan 1984.

Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa tradisi penguburan yang dilangsungkan di situs Bawah Parit tersebut merupakan tradisi penguburan megalit yang tidakmenyertakan bekal kubur, sebagaimana kubur-kubur tradisi megalit yang telah ditemukan sebelumnya di daerah-daerah lain di Indonesia.

“Sistem penguburan ini sangat berbeda dengan sistem penguburan prasejarah di wilayah Indonesia lainnya. Bahkan, sistem ini sangat mirip dengan sistem penguburan Islam, meskipun orientasinya berbeda (pemakaman Islam saat ini berorientasi Utara-Selatan). Komunitas tersebut pada masa lalu pernah bersentuhan dengan kebudayaan Islam kemudian menyingkir ke pedalaman, mereka menyerap sistem penguburan yang ada dalam Islam,” jelas Lutfi Yondri, dalam catatan Tinggalan Cagar Budaya Lembah Mahat.

Secara prinsip, penguburan yang dilakukan pada tempat tertentu (situs) merupakan kegiatan yang tidak hanya sekedar menempatkan dan menimbun mayat di dalam tanah. Pada kegiatan penguburan tersebut terkandung nilai-nilai serta simbol-simbol tertentu yang biasanya akan mencerminkan corak budaya yang ada pada saat itu.

Arkeolog R. P. Soejono menyebutkan, variabel-variabel yang diberikan pada suatu kegiatan penguburan akan memberikan berbagai informasi tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat penguburan.

“Indonesia kaya dengan berbagai cara penguburan yang memiliki kekhasan masing-masing. Penguburan bisa dilakukan secara langsung (primer) atau tidak langsung (sekunder), dengan atau tanpa wadah,” jelas Soejono, dalam Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali, terbitan tahun 1977.

Legenda Peradaban Lembah Maek Berbasis Ekosistem

Peradaban megalit di Lembah Maek masih tersuar di generasi-generasi berikutnya yang masih tinggal di kawasan tersebut. Zelfenedri, 54, yang telah menjadi juru pelihara (juper) Situs Megalit Balai Batu Koto Gadang, Lembah Maek sejak tahun 1991, menyebut mereka yang tinggal di kawasan Maek saat ini sebagai generasi kedua. Sementara mereka yang turut membentuk artefak-artefak megalit yang berserakan di Lembah Maek saat ini, disebut generasi pertama.

Meski begitu, generasi pertama dan generasi kedua; terhubung bukan saja ruang hidup yang sama di Lembah Maek, melainkan medium folklor atau legenda dalam labirin artefak Lembah Maek.

Zelfenedri menyebut ada 14 legenda yang dikenal luas masyarakat Lembah Maek (generasi kedua), sekaitan dengan peradaban tua Lembah Maek. Salah satunya legenda Batu Manggigia, narasi yang bersangkutan dengan ekosistem lingkungan di Lembah Maek.

Alkisah, kata Zelfenedri, jika hujan lebat atau air Batang Maek meluap, batu ini berbunyi seperti pesawat. “Tiga jam setelahnya, air akan naik," kata Zelfenedri, pertengahan Juni 2024.

Menurutnya, fenomena ini masih berlaku hingga kini di daerah Ampang Gadang, yang meliputi Lubuak Paku, Lubuak Kubang, Sopan Tanah, Lubuak Ikua Lurah, dan Lubuak Pesong.

Batu Manggigia itu, kata Zelfenedri dipercayai masyarakat berada di antara rimbun batu andesit di sungai Batang Maek. Namun, kata Zelfenedri, tak semua orang bisa melihat batu tersebut.

“Menurut orang-orang, Batu Manggigia itu andesit (seperti halnya batu dasar menhir), berbentuk pipih. Saya pernah mencarinya, tapi tak menemukannya," ungkapnya.

Danandjaja, J. dalam Folklor Indonesia, terbitan 1984, menyebutkan, legenda sebagai bagian dari prosa  rakyat  memiliki  fungsi  untuk  meneguhkan  kebenaran   takhayul   atau   kepercayaan   rakyat.  Sebagai sarana pendidikan, legenda dapat digunakan sebagai   alat   pedagogi.   Alasannya,   legenda   ini   memberikan   wawasan   atau   pemahaman, agar senantiasa  mawas  diri  atau  waspada  atas  segala  konsekuensi dari sesuatu yang dikerjakan.“

Dengan  demikian,  legenda Batu Manggigia dalam aspek lingkungan atau potensi bencana, menjadi warisan mitigasi bencana hingga saat ini.

Sekitar tahun 1960-an, kehidupan di Kenagarian Maek masih dipengaruhi oleh unsur tradisi budaya megalit, baik dalam kepercayaan maupun kehidupan bercocok tanam.

Menurut Lutfi Yondri, pada era tersebut, sebelum benih padi ditanam di sawah, diadakan upacara yang dipimpin oleh seorang imam di sekitar menhir yang didirikan sebagai tanda kubur dari tetua masyarakat Maek di masa lalu.

Selain itu, upacara kurban dilakukan jika terjadi malapetaka seperti hama tanaman atau wabah penyakit.

“Hewan kurban yang disembelih biasanya adalah lembu hitam, dan kakinya diletakkan di empat penjuru jalan masuk kampung untuk menghalau bala yang datang dari luar,” beber Lutfi, dalam jurnal Sangkhakala_Vol._XIV_No.27-2011, berjudul Temuan Kubur Di Situs Bawahparit (Limapuluh Koto) Corak Penguburan Megalitik Masa Transisi.

Zelfenedri yang tumbuh besar di Lembah Maek, mengatakan masyarakat menganggap menhir ini sakral, warisan dari leluhur sebagai tanda makam, kepercayaan, dan kebesaran masa lalu. Sebagaimana keberfungsian megalit prasejarah, menhir tetap dianggap sebagai penanda makam dan kepercayaan.

Dalam konteks ini, ada perbedaan perlakuan terhadap peninggalan megalit oleh generasi kedua. "Manusia pertama mensakralkan megalit. Generasi kedua saat ini tidak lagi berdoa, tidak melakukan tolak bala. Peninggalan manusia pertama ini hilang maknanya," katanya.

Kendati labirin sejarah dan pemaknaan megalit Lembah Maek belum seutuhnya tersingkap, tetapi bagi Zelfenedri, menjaga dan memahami warisan ini adalah tugas penting yang mesti diemban dengan penuh dedikasi. Agar generasi mendatang masih bisa menyambangi tinggalan megalit Lembah Maek sebagai pusat studi dan literasi layaknya akademi.

Baca Juga

'MASA': Site-Specific Performance di Menhir Maek
'MASA': Site-Specific Performance di Menhir Maek
Festival Maek Resmi Dibuka, Supardi: Maek Bakal jadi Pariwisata Khusus
Festival Maek Resmi Dibuka, Supardi: Maek Bakal jadi Pariwisata Khusus
Festival Maek Mengungkap Misteri Peradaban Dunia
Festival Maek Mengungkap Misteri Peradaban Dunia
Anak Nagari Gotong Royong Persiapkan Festival Maek
Anak Nagari Gotong Royong Persiapkan Festival Maek
Ketua DPRD Supardi Buka Diskusi dan Pameran Pra Festival Maek
Ketua DPRD Supardi Buka Diskusi dan Pameran Pra Festival Maek
Pameran dan Diskusi Arkeologi dalam Membentangkan Maek
Pameran dan Diskusi Arkeologi dalam Membentangkan Maek