Kemajuan teknologi digital telah merevolusi cara kita mengakses informasi dan hiburan yang tidak lagi terpaku pada frekuensi analog. Kini, YouTube, TikTok, dan berbagai platform media sosial lainnya menjelma menjadi "televisi" dan "radio" baru bagi jutaan warga Indonesia. Lebih-lebih bagi Generasi Z dan Alpha, yang kelak akan memegang peran penting sebagai pilar utama dalam mewujudkan visi Generasi Emas 2045.
Di tengah derasnya arus informasi dan hiburan yang datang dari berbagai penjuru, penyiaran radio dan televisi masih menjadi rujukan utama sebagian masyarakat Indonesia, terutama di wilayah yang akses internetnya terbatas. Pertanyaannya, apakah siaran yang kita konsumsi masih layak disebut sehat dan mendidik?
Pada tahun 2024, sejumlah kajian akademik dan pemantauan lembaga masyarakat sipil masih menunjukkan kekhawatiran yang serius terhadap isi siaran, khususnya di program-program hiburan seperti talk-show, sinetron, dan reality show. Masih ditemukan konten berbau sensualitas, kekerasan, bahkan sadisme yang terselip dalam tayangan jam utama (prime time).
Penyiaran memiliki pengaruh jangka panjang terhadap pola pikir, sikap, dan nilai yang tertanam dalam benak generasi muda. Saat anak-anak dan remaja tumbuh besar dengan paparan kekerasan yang dinormalisasi, atau lawakan vulgar yang dianggap lucu, maka sejatinya kita sedang menyemai bibit generasi yang kebingungan membedakan mana yang etis dan mana yang tidak.
Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) dengan jelas dan tegas melarang konten berunsur pornografi, kekerasan, sadisme, mistik yang menyesatkan, hingga ucapan kasar dan diskriminatif.
Sayangnya, peraturan ini belum diterapkan secara lurus oleh segelintir media penyiaran. Di sinilah sejatinya peran tegas dan merata harus ditegakkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) maupun KPID di tingkat daerah. Dengan kata lain, teguran berat harus diberikan kepada media-media penyiaran "bandel" agar memberikan efek jera di masa mendatang.
Sudah saatnya KPI dan KPID meningkatkan kualitas pengawasan dengan pendekatan yang lebih progresif. Mulai dari memperketat pengawasan isi siaran, terutama pada jam tayang anak dan remaja. Kemudian, memberikan sanksi lebih tegas dan transparan, termasuk penghentian sementara hingga pencabutan izin program.
Lebih menggencarkan sosialisasi UU Penyiaran dan P3 dan SPS ke masyarakat luas. Hal itu bertujuan agar publik bisa turut serta menjadi pengawas isi siaran. Selanjutnya, memanfaatkan teknologi untuk monitoring konten, seperti AI deteksi kata kasar, kekerasan, dan adegan tak pantas.
Penyiaran yang sehat bukan hanya soal estetika program, tetapi menyangkut hak anak bangsa untuk tumbuh dalam lingkungan budaya informasi yang bersih dan mendidik.
Penyiaran adalah bagian dari ruang publik yang harus kita rawat bersama. Saat konten berkualitas menjadi prioritas, dan norma-norma etika dijunjung tinggi, maka penyiaran nasional bisa kembali menjadi agen perubahan sosial yang positif.
Generasi masa depan tidak hanya membutuhkan hiburan, tetapi juga tuntunan. Dalam konteks itulah, media penyiaran harus kembali ke jati dirinya, yakni sebagai pilar edukasi dan kebudayaan, bukan sekadar industri rating.
Penulis: Riki Chandra, M.I.Kom adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sumbar