Mengenang Saat-Saat Terakhir Buya Hamka

Mengenang Saat-Saat Terakhir Buya Hamka

Buya Hamka (Foto: Cover Buku 'Kesepaduan Iman dan Amal Saleh'/Gema Insani Press)

Langgam.id - Satu persatu selang yang terhubung ke badan Buya Hamka dibuka. Semua yang berkumpul dalam kamar rumah sakit mengucapkan kalimat tahlil.

"Nafas Ayah pun pelan-pelan berhenti. Grafik jantung berjalan lurus tanpa ada denyutan. Inna lillâhi wa inna ilaihi rajiuun," tulis Rusydi Hamka, dalam buku 'Pribadi dan Martabat Buya Hamka' (2016).

Rusydi menulis, "Buya Hamka meninggalkan kita tepat pukul 10.41.08 pagi hari Jumat, tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun 5 bulan, dengan tenang dan disaksikan oleh anak-cucu dan kawan-kawan karib."

Hari itu bertepatan dengan tanggal 22 Ramadan 1401 Hijriyah, atau tepat 38 tahun yang lalu dari hari ini, Rabu (24/7/2019).

Mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir yang ada dalam ruangan tersebut, menurut Rusdi, membacakan doa yang diaminkan oleh segenap yang hadir. "Selamat jalan Buya, Insya Allah kami akan meneruskan perjuanganmu," tulis Rusydi menceritakan saat-saat terakhir Buya Hamka.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) - selanjutnya ditulis Hamka - lahir di tepi Danau Maninjau, tepatnya di Nagari Sungai Batang, Agam pada 17 Februari 1908. Hamka adalah anak pertama dari empat bersaudara, pasangan Abdul Karim Amrullah dan Safiyah.

Ayahanda Hamka, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah adalah salah satu ulama besar Minangkabau di awal abad ke-20. Tokoh yang juga dikenal dengan Inyiak Rasul tersebut, adalah salah satu murid terbaik dari ulama besar Minangkabau Syekh Ahmad Khatib Alminangkabawi yang menjadi salah satu Imam Besar di Masjidil Haram, Makkah.

Buya Hamka adalah pribadi yang serba bisa. Selain dikenal sebagai ulama, Hamka seorang sastrawan, politisi, penulis dan pengajar. Buya Hamka juga adalah ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelum mengundurkan diri beberapa bulan sebelum wafat.

Melalui Keputusan Presiden No. 113/TK/Tahun 2011, pada tanggal 9 November 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi gelar pahlawan nasional karena jasanya dalam perjuangan kemerdekaan sejak 1925 dan ikut perang gerilya.

Beberapa hari setelah Buya Hamka meninggal, tulis Rusydi, Penyair Taufiq Ismail mengatakan kepadanya, "Yang mengagumkan saya, ialah Buya selesai dengan tugasnya," tulis anak ketiga Buya Hamka itu.

Sebelum Buya mennggal, dia telah banyak mengajak dan merangsang pengarang-pengarang muda Islam mengikuti jalannya. Dia pun telah menyelesaikan pekerjaan besarnya, menulis Tafsir Al-Azhar yang 30 jilid itu.

Pada 1978, menurut Rusydi, ketika selesai mengoreksi seluruh pekerjaan itu, yaitu juz ke-29, Buya Hamka sujud syukur. Kepada Rusydi, Buya menyerahkan naskah itu untuk diterbitkan, lalu berkata, 'Hari ini selesai tugas Ayah."

Terakhir, menurut Rusydi, Hamka menyelesaikan pula tugas sebagai Ketua Majelis Ulama, yaitu dua bulan sebelum kepergiannya. "Dia meletakkan jabatan dengan wajah berseri, setelah menjabat kedudukan itu selama 6 tahun."

Tafsir Al-Azhar dan MUI bisa disebut sebagai dua hal yang mengaitkan Buya Hamka dengan dua rezim pemerintahan, orde lama dan orde baru.

Buya Hamka mulai menulis Tafsir Al-Azhar saat ditahan rezim orde lama pada 1964. Sementara, mundur dari MUI pada 1981, setelah berbeda pandangan dengan menteri agama ketika itu yang meminta Buya Hamka mencabut fatwa haram MUI tentang perayaan Natal bersama.

Soal penahanan di tahun 1964, Buya Hamka menulis sendiri pengalamannya, yang dilampirkan Rusydi di buku tersebut.

Buya Hamka menulis, pada Senin, 27 Januari 1964 bertepatan dengan 12 Ramadan 1383 H. "Kira-kira pukul 11 siang, sehabis saya mengajar mengaji kaum ibu di Masjid Agung Al-Azhar. Tiga orang polisi dari Depak (Departemen Angkatan Kepolisian) datang menangkap saya," tulisnya.

Para polisi tersebut, membawa surat perintah penahanan sementara yang menyebutkan bahwa Buya Hamka diduga melakukan kejahatan yang terkena Penpres 11/1963. Yakni, ikut rapat merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno.

Buya Hamka antara lain dibawa ke Bogor, Cimacan, Puncak dan Megamendung. "Yang mengerikan, Ayah terpaksa membuat pengakuan palsu karena menghindari penyiksaan fisik," tulis Rusydi.

Selama sebulan Buya diperiksa satu tim polisi dengan sorot lampu, dituding, dihina dan diancam supaya mengakui tuduhan. Setelah itu, harus menjalani tuduhan sekitar 2,5 tahun hingga ia masuk rumah sakit.

"Setelah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Persahabatan itu, dokter-dokter tidak memperkenankan ayah dipindahkan ke tempat lain, sampai akhirnya ayah dibebaskan setelah terjadinya peristiwa Lubang Buaya," tulis Rusydi.

Masa yang jelas berpengaruh pada ekonomi keluarga, karena buku-buku Hamka dilarang beredar dan para penerbit tidak lagi memberikan honor atas penjualan buku. Suasana berubah setelah Buya Hamka bebas.

Namun, menurut Rusydi, Buya Hamka tidak pernah menaruh dendam. "Mendengar Sukarno sakit dalam situasi kritis, ayah menangis. Bahkan dia mengimami shalat jenazah Sukarno."

Setelah Sukarno meninggal, Rusydi tak pernah mendengar Buya Hamka mencelanya. Seolah-olah dia benar-benar telah lupa. Bahkan, yang didengar adalah ucapan terima kasih Buya, karena penahanan tersebut ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar, karyanya yang dinilai paling monumental.

Selain Tafsir Al-Azhar, Buya menghasilkan setidaknya 94 buku beragam tema, sejak sastra, agama, adat, sejarah dan filsafat. Antara lain, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Falsafah Hidup, dan Tasawuf Modern, Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Sejarah Umat Islam dan Ayahku. Karya-karya yang terus hidup dan menginspirasi hingga jauh hari setelah Buya meninggal. (HM)

Baca Juga

29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
25 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
25 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
23 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
23 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
21 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
21 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat