Mengenang Buya Datuak Palimo Kayo, Ulama Diplomat dari Balingka

Mengenang Buya Datuak Palimo Kayo, Ulama Diplomat dari Balingka

Buya Datuak Palimo Kayo. (Foto: Sampul Buku Buya Datuk Palimo Kayo dan Generasi Penerus)

Langgam.id - Kesejukan masih meliputi Gunung Singgalang hingga ke kakinya di Nagari Balingka, Agam, Sumatra Barat pagi itu. Syekh Daoed Rasjidi dan isteri yang tinggal di nagari itu, sedang berbahagia.

Hari tersebut, 17 Shafar 1321 Hijriyah atau bertepatan dengan 10 Maret 1905, putra dari pasangan itu lahir. Diberi nama Mansoer, kelak beliau bernama lengkap Mansoer Daoed (Mansur Daud) Datuak Palimo Kayo.

Terlahir sebagai putra salah satu ulama besar Minangkabau, kelak Mansur meneruskan jejak ayahnya. Lebih dari itu, selain ulama, Buya Datuak juga kemudian berkiprah jadi politisi dan sempat menjadi diplomat ketika diangkat jadi duta besar.

Hari kelahiran Buya Haji MD Datuak Palimo Kayo tersebut, tepat 114 tahun yang lalu, dari hari ini, Ahad (10/3/2019).

"Seorang ulama bergelar datuak, pemimpin agama sekaligus adat. Menunjukkan bersatunya adat Minangkabau dan Islam dalam diri beliau," kata Buya Masoed Abidin, ulama terkemuka Sumatra Barat, kepada Langgam.id.

Wartawan Senior Hasril Chaniago dalam Buku '101 Orang Minang di Pentas Sejarah' menulis, pendidikan Buya Datuak dimulai dari sekolah desa dilanjutkan ke Vervolgschool (Sekolah Sambungan) di Balingka.

Mansur muda kemudian melanjutkan ke Hollandsch Inlandsche School yang ditempuh di Lubuk Sikaping dan Padang Panjang.

Usai itu, sebagaimana ditulis Buya Masoed dalam artikelnya tentang Buya Datuak Palimo Kayo, pada 1917 Mansur muda belajar di Sumatra Thawalib di bawah binaan Syekh Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya HAMKA) dan belajar pada Zainuddin Labay El Yunusi di Perguruan Islam Madrasah Diniyah.

"Pada 1923, beliau naik haji pada usia yang masih muda. Usai itu, beliau langsung belajar pada Syekh Abdul Kadir Al Mandily, Imam Masjidil Haram. Lantaran perang saudara di Mekah kala itu, Mansur Daud terpaksa kembali pulang ke Tanah Air," ujarnya.

Setelah belajar pada 1924 di perguruan Islam yang diasuh oleh sahabat ayahnya, Syekh Ibrahim Musa Parabek, tahun 1925, Mansur Daud berangkat ke India.

Selama lima tahun di sana, Mansur belajar di Perguruan Islam Tinggi (Jamiah Islamiyah), Locknow, India yang dipimpin Abdul Kalam Azad dan pada Islamic College di Heydrabad, India yang dipimpin Maulana Syaukat Ali dan Maulana Muhammad Ali.

Sepulang ke Tanah Air, beliau mampir ke Pulau Jawa bertemu tokoh-tokoh senior Islam kala itu: H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, dan KH Fakhruddin.

Sejak bertemu dengan para tokoh tersebut, menurut Masoed, Mansur terpacu untuk beraktivitas dalam organisasi.

Pada 1930, Hasril menulis, saat berlangsung Kongres I Sumatra Thawalib yang mengubah nama organisasi itu jadi Persatuan Muslim Indonesia (PMI), Mansur diminta jadi pengurus.

Pada 1931, ia menjadi sekretaris jenderal PMI sampai kemudian organisasi itu berubah jadi partai politik Persatuan Muslim Indonesia (Permi).

Pada 1933, H. Mansur kemudian dipilih jadi Ketua Umum Permi. Seiring meningkatnya aktivitas gerakan perjuangan kemerdekaan kala itu, Permi juga jadi incaran polisi Belanda. Karena aktivitasnya di Permi, Mansur ditangkap pada 1934 dan baru dibebaskan satu tahun kemudian.

Menurut Hasril, pada zaman Jepang, bersama Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang juga dikenal sebagai Inyiak Canduang, Mansur mendirikan badan koordinasi alim ulama yang disebut Majelis Islam Tinggi (MIT).

"Penjajahan Jepang membuat rakyat begitu menderita. MIT seolah menjadi tempat mengadu bagi rakyat," tulis Buya Masoed.

Menurutnya, H Mansur Daud tetap eksis, setelah MIT difusikan ke Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di Yogyakarta pada bulan Februari 1946.

Setelah itu, anak kemenakan Suku Piliang di kampung halaman juga memanggil beliau pulang. Gelar pangulu Datuak Palimo Kayo tersebut kemudian beliau emban, menempatkan sosoknya bukan hanya sebagai ulama, tapi juga pemimpin adat.

Dua posisi itu menjadi makin kokoh pada 1953. Musyawarah para pemuka adat pada 2-4 Mei di Bukittinggi mengukuhkan Buya Datuak menjadi Ketua Umum Badan Permusyawaratan Adat Minangkabau. Tiga bulan kemudian, pada 20-21 Agustus, giliran para ulama dan mubalig se-Sumatra Tengah mengukuhkan Buya menjadi Ketua Umum Badan Permusyawaratan Alim Ulama dan Mubalig Islam Sumatra Tengah.

Aktivitas Buya Datuak di politik, membuatnya terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mewakili Masyumi pada Pemilu 1955. Namun, hanya sebentar jadi anggota DPR, pada 1956 Buya Datuak ditunjuk Presiden Sukarno menjadi Duta Besar RI untuk Irak.

Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Datuak lebih banyak beraktivitas di bidang dakwah dan sosial. Pada 26 Mei 1968, Buya dipilih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Sumatra Barat.

Pada 1970, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) bertamu ke rumah Buya Datuak di Jambu Air, pinggir Kota Bukittinggi. "Saya salah satu yang menjadi saksi perbincangan dua ulama besar itu. Buya HAMKA memanggil Buya Datuak, dengan panggilan Angku Datuak. Sementara, Buya Datuak memanggil Buya, pada Buya HAMKA," kata Buya Masoed kepada Langgam.id.

Buya Datuak dan HAMKA hampir sepantaran. Buya Datuak yang lahir pada 1905 hanya lebih tua tiga tahun dari Buya HAMKA yang lahir pada 1908. Keduanya juga sama-sama putra ulama besar.

Saat bertamu itu, Buya HAMKA mengatakan niat membawa ide pendirian Majelis  Ulama yang sudah ada di Sumbar ke tingkat nasional. "Kalau kita bawa Majelis Ulama ke tingkat nasional, bagaimana Angku Datuak," kata HAMKA, sebagaimana diceritakan Buya Masoed.

Buya Datuak mempersilakan. Ide tersebut baru terlaksana pada 1975, ketika MUI didirikan para ulama secara nasional.

Buya Datuak sendiri terus berdakwah, menjaga kampung halamannya. Ia juga disibukkan dengan aktivitas di Dewan Dakwah Islamiyah yang diketuai Mohammad Natsir dan Yayasan Rumah Sakit Islam (YARSI).

Budayawan AA Navis sebagaimana dikutip Buya Masoed dari tulisan Marthias D. Pandoe menyebut, sebagai seorang ulama Buya Datuak konsekuen dengan pendiriannya walau apapun dihadangnya. Imannya kuat, tidak dapat dibeli dengan kedudukan maupun uang.

Tak banyak yang memiliki rekam jejak setara dengan Buya Datuak. Ia ulama, sekaligus pemuka adat, pernah jadi politisi dan diplomat dan terus berada di tengah-tengah umat.

"Karena dalam perjalanan hidup beliau penuh dengan pengalaman, beliau jadi tangguh", kata Navis dalam buku 'Buya Datuk Palimo dan Generasi Penerus' (1997).

Majalah Tempo tanggal 23 November 1985 menulis, Buya Datuak meninggal dunia di RS Dr. Mohammad Jamil Padang, pada 17 November 1985 setelah sebelumnya sakit karena pendarahan otak. Ia dimakamkan di Pemakaman Tunggul Hitam. Kepergiannya meninggalkan kesedihan mendalam bagi masyarakat Sumatra Barat. (HM)

Baca Juga

Jejak Intelektual Syekh Mudo Abdul Qadim: Ulama Besar Penyebar Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah
Jejak Intelektual Syekh Mudo Abdul Qadim: Ulama Besar Penyebar Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu
29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat