Dari Sungai Batang Mendunia
Tepat 17 Februari, 115 tahun lalu di tepian danau Maninjau, Sungai Batang, Agam, Sumatra Barat, lahir Malik kecil yang kemudian “bermetamorfosis” menjadi HAMKA besar. Ia berada pada deretan tokoh penting dan putera terbaik bangsa dari Ranah Minang kelahiran awal abad 20, selain Hatta, Natsir, Syahrir, dan lain-lain (Luth, 1999). Ulama legendaris dengan berbagai atribut positif ini tidak saja mendapat pengakuan akademis intelektual nasional, tetapi juga global. Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Kebangsaan Malaysia menganugerahinya gelar doktor kehormatan, sedangkan Universitas Moestopo mengukuhkannya sebagai Guru Besar.
Hampir seratus buah karya beliau beragam genre, sejak agama, filsafat, sejarah, hingga sastera dan roman, menunjukkan otoritas yang mumpuni di berbagai disiplin ilmu. Bukti keulamaannya -selain ratusan tulisan dan ceramah agama-, dibuktikan oleh magnum opusnya, Tafsir Al-Azhar 30 juz. Begitu pula amanah sebagai Ketua Umum MUI sejak awal hingga menjelang akhir hayat, menjadi public recognition yang tak terbantahkan. Penetapan Hamka sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden SBY melalui Kepres No. 113/TK/2011, tanggal 7 November 2011 menandai pengakuan legal formal negara atas kiprah dan perjuangannya untuk bangsa dan tanah air.
Penghargaan akademis intelektual kepada Hamka tampak dari ratusan karya ilmiah tentang pribadi dan pemikirannya. Tidak saja artikel jurnal, tetapi juga skripsi, tesis, dan disertasi tentang Hamka menyebar di berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Sejumlah penulis asing pun memberi apresiasi tinggi atas Hamka.
Karel Steenbrink (1994) dalam “Hamka (1908-1981) and the Integration of Islamic Ummah of Indonesia” menyebutnya sebagai figur yang sangat penting dalam fenomena Islam Indonesia. Julia Day Howel (2010) dalam “Indonesia’s Salafist Sufis” menggelarinya sebagai “champions of Sufism” dan “the first of the silver screen celebrity preachers” di Indonesia. Jeffrey Hadler dalam “Home, Fatherhood, Succession: Three Generations of Amrullahs in Twentieth-Century Indonesia” menyebutnya selain sebagai “politician”, juga “a novelist, Islamic Scholar, and Minangkabau cultural authority”.
Gérard Moussay, dalam “Une grande figure de l'Islam indonésien: Buya Hamka” menegaskan bahwa Hamka bukan hanya ulama hebat, tetapi juga penulis ulung, novelis, sejarawan, penyair, dan pejuang yang menjaga independensi. Ia juga sekaligus pribadi jenius yang sangat menarik, peduli terhadap sesama, hidup sederhana, ramah, dan rendah hati. Dalam hal kapasitas pemikir muslim, tidak berlebihan jika otodidak yang selesai SD, dan hanya tamat pendidikan agama (Diniyah School dan Sumatra Thawalib milik ayahnya) ini, oleh John L. Esposito dalam The Oxford History of Islam (1999) disejajarkan bersama pemikir muslim level dunia Muhammad Iqbal, Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Asad.
Politikus Berjiwa Besar Tanpa Dendam
Kebesaran Hamka yang multidimensional membuat sulit menulis tentangnya hanya dalam beberapa halaman terbatas, dan potensial mereduksi kompleksitas ketokohannya. Meski begitu, pemikiran dan karya-karya beliau secara parsial masih dinikmati serta menjadi referensi publik, bahkan beberapa di antaranya diabadikan dalam layar lebar, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Film “Buya Hamka” yang berkreasi mendeskripsikan sosok utuhnya, sedang dalam tahap finishing dan akan tayang perdana pada momentum Idul Fitri 2013 (mui.or.id/17/1/23). Karya seni ini patut diapresiasi, mengingat beliau prototype teladan banyak aspek, baik dalam hal-hal besar maupun perilaku kecil keseharian. Menghadirkan Hamka kembali menjadi semakin penting di tengah krisis keteladanan hari ini.
Baca Juga: Mengenang Saat-Saat Terakhir Buya Hamka
Irfan Hamka, putera kelima Hamka menulis buku Ayah…(2013), mengisahkan biografi Hamka dengan gaya bercerita yang apik. Dalam konteks dinamika sosial politik saat ini, karakteristik berjiwa besar dan sifat pemaaf beliau amat perlu diteladani. Irfan mengisahkan betapa menderitanya Hamka sekeluarga ketika Rezim Orde Lama tahun 1964 memenjarakannya dengan tuduhan mengada-ada, melanggar UU Anti Subversif yakni merencanakan pembunuhan terhadap Bung Karno. Selama ditahan dua tahun empat bulan seluruh tulisannya di-beslah, dilarang terbit dan beredar, sehingga sumber penghasilan keluarga dari royalty terhenti. Namun enam tahun kemudian, Hamka dengan ikhlas tanpa dendam, memenuhi pesan terakhir Soekarno, pemimpin Orde Lama itu untuk menjadi imam sholat jenazahnya (Irfan, 2013: 255-257)
Begitu pula dengan Mr. Moh. Yamin, kawan sekampung yang bertahun-tahun sering berbeda pendapat dengan Hamka, akibat perbedaan politik di Dewan Konstituante. Namun di tengah sakratul maut, Hamka memenuhi pesan Yamin agar mendampinginya menjelang ajal. Hamka menuntun Yamin mengucapkan kalimat tauhid, dan wafat dengan tangan dalam genggaman Hamka. Ulama besar ini pun menghantar jenazah hingga ke Talawi, Payakumbuh, sesuai permintaan Yamin pada Hamka (Irfan, 2013: 258-262).
Jiwa besar dan sikap pemaaf tanpa dendam Hamka, juga ditunjukkan pada sastrawan Pramoedya Ananta Toer, tokoh Lekra di tahun 60-an yang berseberangan politik dengan Hamka. Berbulan-bulan Hamka diserang oleh koran asuhan Pramoedya, dengan tuduhan plagiarisme dalam karya Hamka Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Namun beberapa tahun kemudian setelah Pramoedya dibebaskan pasca G.30 S/PKI, Hamka dengan ikhlas tanpa dendam menuntun puteri sulung Pramoedya dan suaminya belajar Islam. Pramoedya mengakui bahwa ia mengirim puteri dan calon menantunya belajar Islam kepada Hamka, agar mereka beragama lebih mantap (Irfan, 2013: 262-265).
Dalam konteks tahun-tahun politik saat ini, ketika perbedaan membelah keutuhan anak bangsa, sikap pemaaf dan tanpa dendam yang ditunjukkan oleh para pemimpin masa lalu, patut direfleksi ulang. Jiwa besar yang dimiliki Soekarno, Yamin, Pramoedya, dan Hamka, sudah sepatutnya dimiliki hari ini. Apalagi dalam konteks menghadapi agenda-agenda politik ke depan, diharapkan muncul sosok-sosok berjiwa besar, pemaaf, dan tanpa dendam di tengah perbedaan pandangan politik yang sangat potensial mengerdilkan hakekat kemanusiaan yang sejatinya. (*)
Dr. Faisal Zaini Dahlan, M.Ag adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN IB Padang