Wabah yang masih berlangsung sampai sekarang telah menjatuhkan umat Islam kelembah kesedihan yang ujungnya entah sampai kapan. Ibadah yang biasanya dilakukan secara normal, sekarang tiba-tiba harus berubah. Kondisi kejiwaan dan psikologis tentu saja terguncang karena berada dalam “ketidaknormalan”.
Wabah ini tidak hanya saja berdampak pada umat, ulama, ustadz dan mubalig yang biasanya bertemu fisik, namun sekarang sama sekali tidak dibolehkan bersua dengan jamaahnya. Tidak ada kesedihan yang luar biasa bagi seorang ulama ketika tidak bisa lagi menyapa dan bertatap muka dengan jamaahnya.
Kehadiran teknologi semestinya bisa menggantikan ruang dan rasa yang hilang. Transformasi dari ruang fisik (offline) ke ruang virtual (online) sudah menjadi keharusan yang mesti dilakukan oleh para ulama jika mereka ingin otoritasnya terjaga dan tidak menjadi ulama “sepi”.
Ulama Penjaga Perubahan
Gagasan perubahan dan bagaimana ulama beradaptasi dengan perubahan teknologi (digital), sesungguhnya sudah pernah terjadi dalam rentang sejarah Islam di Indonesia. Djajat Burhanuddin dalam Disertasinya “Islamic Knowledge, Authority and Political Power: The Ulama in Colonial Indonesia” menjelaskan bagaimana ulama dalam rentang sejarah mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zamannya.
Jadi fungsinya sebagai custodians of change, sebagaimana yang dibahasakan oleh Muhammad Qosim Zaman dalam bukunya, The ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change, tidak sirna. Ulama sebagai penjaga tradisi, sebagai pelindung pembelajaran Islam dan bertindak sebagai penjaga perubahan mentransmisikan kedudukanya itu dari generasi ke generasi hingga sekarang. Disitulah posisi ulama sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW
Perlu disadari, memang dalam menjawab perubahan zaman itu ulama acapkali gagap, kerena perkembangan itu kadang di luar kesanggupan dan sumberdaya mereka. Namun sejalan dengan waktu ulama akan mampu berpartisipasi dan berkontribusi dalam membentuk wacana keIslaman.
Tentu caranya adalah dengan mengadopsi metode dan cara yang ditawarkan oleh kemajuan dan perkembangan tersebut. Sejarah mencatat, pada awalnya ulama dalam membangun otoritasnya melalui lisan, karena mereka memiliki kemampuan individu dalam menafsirkan teks-teks suci (al Quran dan Sunnah) secara langsung dan kemudian mensurahkannya kepada umat.
Goncangan pertama terjadi ketika ditemukan mesin cetak. Gagasan tidak hanya bisa disampaikan lewat lisan namun mesti juga ditulis.
Namun kegagapan itu tidak berlangsung lama, akhirnya ulama tetap bisa berdiri dalam pancang keulamaannya dengan segala otoritas yang dimiliki. Ini bisa dilacak dalam sejarah bahwa akhir abad 19 sampai abad 20 tumbuh suburlah buku-buku agama baik di Timur Tengah atau di Nusantara.
Dalam kontek Minangkabau, berkembangnya karya ilmiah awal abad 20 tersebut tidak semata-mata ditemukannya mesin cetak, tapi mengutip Taufik Abdullah dalam disertasinya “School and Politics; The Kaum Muda Movement in West Sumatera”, juga diiringi oleh perdebatan atau kontroversi Kaum Muda (yang lebih dulu mengenal mesin cetak) dengan Kaum Tua. Perdebatan atau silang pendapat tentang perlbagai persoalan keagamaan tidak hanya dilakukan dalam halaqah-halaqah namun dituangkan dalam karya yang luar biasa dan mendalam.
Implikasi lain dari peristiwa tersebut menyebabkan ulama tidak bisa lagi mendominasi pengetahuan agama, umat sudah bisa dengan sendirinya mengakses buku-buku berlimpah ruah. Alhasil Ketergantungan tatap muka dengan ulama sudah mulai berkurang.
Kemudian pesantren yang di era lisan sangat memainkan peran yang sangat kuat. Dalam fase mesin cetak ini umat Islam mulai mempelajari Islam tanpa harus menetap (santri) di pesantren yang sebelumnya dianggap lembaga yang paling otoritatif.
Kemudian datang lagi gelombang radio, kaset dan televisi. Para ulama kembali diguncang, namun dengan cepat mereka kembali beradaptasi. KH Zainuddin MZ dan KH Syukron Ma’mun adalah salah satu ulama yang cemerlang dan populer yang mampu menyesuaikan diri pada zaman ini.
Mencari Ulama Online
Sejak dua dekade terakhir, wajah beragama kita dilanda gelombang revolusi digital. Dunia kaset, radio dan CD mulai kehilangan penggemarnya, mereka beralih pada dunia digital.
Apalagi smartphone dan kecanggihan internet atau media digital lainnya, mengubah dengan ekstrim wajah-wajah beragama ummat.
Hadirnya media sosial menambah kejutan-kejutan baru. Munculnya e-islam, e-fatwa, e-Jihad, Islam virtual, cyber religion, Face Book video, YouTube dan mesin-mesin pencari membuat girah dan gairah keagamaan semakin dahsyat.
Google sebagai salah satu mesin pencari menyediakan berbagai macam pendapat para saraja dan ulama tentang banyak hal mulai dari persolan tauhid, fiqih dan tasawuf dan lain-lain. Dengan satu kali klik maka ribuan halaman akan memenuhi layar handphoen dan laptop.
Konsekuensinya kekuasan-kekuasaan ilmu pengetahuan yang didipegang sebelumnya, mulai dari personal sampai lembaga seperti MUI, Ormas dan lain-lain mulai mencair. Semua orang bisa mengakses dan memilih pendapat hukum yang sesuai dengan seleranya dan kemudian membaginya melalui broadcast atau ditulis di Instagram atau di dinding wall FaceBook.
Jadi perkembangan teknologi informasi digital, mengutip Yasraf Amir Piliang, telah memberikan berbagai kemudahan dan keuntungan pada agama dan dunia keberagamaan, terutama dalam komunikasi, interaksi antarumat serta penyampaian ajaran keagamaan.
Persolannya adalah bagaimana para ulama mensikapi ini, terlebih lagi dalam suasana pandemi sebagaimana yang dialami saat ini. Dalam epos masyarakat digital, siapapun mesti terlibat atau dilibatkan dalam susana tersebut. Tidak ada lagi yang tidak didaringkan.
Membangun wacana keagamaan, dakwah ritual keagamaan kini dilakukan dalam ruang online, terlebih lagi kegunaan itu terasa pada suasana sekarang seperti, pelarangan ibadah dan kegiatan keagaman di masjid, Work From Home atau Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Dunia online menyatukan fisik yang terpisah. Siapa yang mampu merebut pasar online dia akan bertahan atau pemenang; tidak tersingkir.
Dan gagasan membawa ruang fisik (offline) ke virtual (online) sudah menjadi kebutuhan, karena mayoritas jamaah telah menggunakan smartphone. Data menunjukan bahwa orang Indonesia memiliki handphone melebih jumlah penduduk. Itu berarti menunjukan orang Indonesia memiliki handphone lebih dari satu.
Ulama yang otoritatif dalam bidangnya yang menguasai media online sangat diperlukan dalam situasi sekarang ini, kerena jika tidak, maka dikuatirkan laman dunia maya hanya dipenuhsesaki oleh ustad-ustad yang tidak jelas kapasitas ilmunya dan sanad keilmuannya (ustad seleb). Mereka hanya khutaba (penceramah) bukan ulama.
Pendekatan dakwah atau ceramah secara online bisa menjadi alternatif ketika masjid tidak bisa dikunjungi, ketika ceramah dan tausiah tidak bisa lagi secara fisik, ketika khutbah jumat ditiadakan.
Meski tidak mungkin bisa berdalam-dalam paling tidak keterkaitan umat dengan ulamanya atau masjid tidak terputus selama pandemi ini. Ruang virtual bisa dianggap sebagai kanal spritualitas di antara umat dan ulama.
Dalam suasana seperti sekarang, mengamini Yasraf dalam bukunya Agama dan Imajinasi, dibutuhkan ulama yang memiliki daya imajinatif dan kreativitas. Karena pesan agama atau agama itu membutuhkan imajinasi.
Sementara imajinasi tidak akan ada kalau tidak ada kreativitas didalamnya. Tanpa kekuatan imajinasi dan kreativitas -juga fantasi- gagasan baru, ide segar dan terobosan inovatif maka tidak mungkin mengahadirkan ulama online. Karena kreativitas tersebut dapat mengolah imajinasi menjadi realitas baru dan itulah yang ditunggu umat.
Kreativitas adalah upaya mencoba memperbaharui yang ada (offline) tanpa perlu menghilangkannya (ceramah). Kreativitas justru memperkaya segala yang ada dengan memberinya bentuk, gaya, makna, nilai dan spirit baru. Dr. Abdul Samad, Lc.,MA, Dr,(Hc) Adi Hidayat, Lc.,MA, Dr.Das’ad Latif, S.Ag.,M.Si.,Ph.D, Prof. Dr. Nadirsyah Hosen, Ph.D, Khalid Basalamah, KH Mustofa Bisri dan lain-lain bisa mewakili bagian ini. Wallahua’lam bishawab.
*Muhammad Taufik adalah Dosen Sosiologi Hukum, Fak. Syariah UIN Imam Bonjo Padang