Menata Parkir Kota Padang

Didi Rahmadi*

Langgam.id - Sudah dua minggu lebih Kota Kajang  selalu bercuaca panas. Meski ada dua hari sempat diguyur hujan, kesejukannnya hanya bertahan sampai hujan reda. Sebenarnya cahaya matahari yang berlimpah disini tak menyurutkan ku untuk menelurusuri trotoar kota yang cukup tertata. Selain Kajang, ada Kota Bangi yang cukup ramai.

Kota Bangi terlihat lebih segar dibandingkan Kota Kajang. Ditandai dengan penataan kota yang rapi dengan jejeran pertokoan beragam usaha. Sebuah kota yang memperlihatkan kelas menengah etnis Melayu yang menggeliat.

Kami pun tiba ditempat kedai sarapan ala Malaysia. Suasananya cukup akrab seperti kedai sarapan yang ada di Indonesia. Barangkali hanya beberapa menu saja yang sedikit berbeda. Saya mencoba memesan mie bandung. Tapi jangan kira mie ini ada kaitannnya dengan Kota Bandung. Sama halnya dengan kue bika ambon, martabak bangka yang juga sama-sama tidak memiliki hubungan dengan Kota Ambon Maluku dan Kota Bangka.

Ada satu hal yang menarik buat saya ketika sebelum turun dari mobil. Haris supervisor saya sibuk membuka aplikasi parkir dari gawainya untuk membayar parkir kami. Ia membayar 40 sen untuk parkir selama satu jam kira-kira 1500 kalau dirupiahkan. Mobil pun harus terparkir diruas parkir yang telah diberi nomor. Tentunya tidak ada petugas parkir yang langsung menyambut kami. Namun, akan ada petugas yang memeriksa apakah kendaraan tersebut telah membayar atau tidak.

Pengalaman ini menjadi kontras bila dibandingkan dengan praktik perparkiran di Indonesia. Parkir di beberapa tempat di Indonesia selalu menjadi cerita perebutan ekonomi  ormas dan lahan subur bagi premanisme. Bukan hanya itu, parkir yang seyogyanya menjadi sumber pendapatan penuh pemerintah malahan dinikmati oleh beberapa oknum yang bersembunyi dibalik seragam instansi pemerintahan. Bahkan beberapa oknum tersebut kerap menjadi backing ormas untuk menguasai lapak-lapak perparkiran.

Parkir adalah ladang uang yang besar. Sebagai contoh, DKI Jakarta pada tahun 2023 pendapatannya dari sektor perparkiran sebesar Rp232 Milyar yang semestinya Rp800 Milyar dari target. Artinya ada 500 Milyar lebih yang bocor akibat kurang serius dalam mengelola retribusi parkir.

Meski sebagian daerah telah menerapkan sistem parkir elektronik, namun masih banyak daerah yang masih menerapkan sistem parkir manual. Celah ini lah yang dimanfaatkan beberapa oknum untuk mendapatkan keuntungan dari lemahnya sistem perparkiran kita. Bahkan, lapak parkir dapat menjadi logistik serta alat tawar politik pada musim-musim pemilu oleh oknum politisi untuk mendapatkan dukungan. Sehingga tak heran, cakupan perparkiran meluas sampe ke lahan-lahan perkuburan.

Parkir dan Memaksimalkan Penerimaan Daerah

Parkir dapat menjadi pendapatan penting bagi pemerintahan daerah. Berbeda dengan model pendapatan lain yang bersumber dari pajak, parkir ini pemasukan langsung dengan hanya menyediakan fasilitas parkir. Namun, tentu merancang tata kelola perparkiran sekaligus menghilangkan pengaruh ormas bukanlah perkara mudah. Harus ada political will, komitmen penegakan hukum yang kuat sekaligus inovasi kebijakan yang bekelanjutan.

Kalaulah tidak berkelindan dengan peliknya masalah sosial dan politik. Saya kira penerapan teknologi dalam pengelolaan parkir pada saat ini tentulah bukan perkara sulit. Infrastruktur teknologi dibanyak tempat di Indonesia sudah cukup memadai. Lagian, hampir seluruh orang saat ini memiliki telepon gengam baik berbasis android maupun ios. Tinggal lagi, pilihan teknologi apa yang cocok dan sesuai dengan sarana dan prasaran yang dimiliki.

Sebagai contoh penerapan sistem parkir di Malaysia. Hampir seluruh daerah di Malaysia telah menerapkan teknologi parkir berbasis digital. Ada beberapa aplikasi yang dapat diunduh oleh pengguna kendaraan seperti Flexi Parking, dan JomParking. Dengan inovasi ini, pengendara yang hendak memarkirkan kendaraanya dapat membayarkan langsung lewat aplikasi sambil memantau lahan parkir yang masih tersedia.

Biaya yang dipotongpun tidak mahal hanya 40 sen untuk satu jam atau sekitar Rp1.500. jika durasi parkir habis akan ada notifikasi pemberitahuan kepada pemilik mobil. Sehingga meskipun murah tetapi semua pendapatan retribusi parkir langsung ke kas negara.

Jika kita bercermin, hal yang sama bisa juga kita lakukan. Infrastruktur teknologi kita tidak jauh tertinggal dibandingkan negeri tetangga. Dan apabila berhasil, penerimaan pendapatan dari retribusi parkir akan meningkat signifikan. Terlebih iuran parkir di Indonesia saat ini hampir 3x lipat lebih mahal dibandingkan Malaysia.

Akan tetapi segala hal yang tampak mudah penerapannya bisa jadi untuk kes Indonesia tidak sesederhana itu. Ada kompleksitas masalah sosial dan politik yang mesti diurai terlebih dahulu. Ambil contoh, pernah beberapa masa yang lalu di beberapa lokasi di Kota Padang dipasang mesin parkir seperti di Pondok dan Permindo. Proyek tersebut gagal karena persoalan dasar tidak tuntas. Pada akhirnya meteran parkir yang telah terpasang menjadi artefak usang tanpa bisa dipertanggungjawabkan.

Di sini lah konteks sosial harus dipahami dalam implementasi kebijakan. Parkir adalah sumber penghidupan. Bagi sebagian orang menjadi juru parkir adalah pilihan paling masuk akal ditengah ketiadaan akses terhadap lapangan pekerjaan. Sampai-sampai yang bergelar sarjana pun ada juga yang menjadi juru parkir. Sebab menjadi juru parkir bila tidak ada shift dapat menghasilkan uang 200 ribu – 500 ribu tergantung tingkat keramaian. Sangat menggiurkan bukan? Tidak butuh skill khusus namun pendapatannya bisa melebihi orang yang bekerja disektor formal. Sehingga wajar apabila mendapatkan penentangan, ada periok keluarga yang akan hilang jika tenaga mereka digantikan oleh mesin.

Pilihan Kebijakan Parkir

Menarik jika kita amati kebijakan penataan perparkiran di Kota Padang oleh Walikota Kota Padang Fadli Amran. Gagasannya tentang standarisasi juru parkir dan peningkatan profesionalisme juru parkir perlu dicermati. Fadly Amran sepertinya paham bahwa menghilangkan peran juru parkir bukanlah pilihan bijak. Namun, gagasan tentang standarisasi juru parkir lewat peningkatan kemahiran menjadi juru parkir terkesan belum menyeluruh dan bertolak belakang terutama dalam optimalisasi pendapatan dari retribusi parkir.

Tetapi jika begitu lah inginnya walikota yang melihat parkir sebagai ruang sosial dan ekonomi, maka ada dua pilihan yang bisa jadi pertimbangan. Pilihan pertama, menurunkan tarif parkir. Saat ini tarif sekali parkir di Kota Padang masing-masing dua ribu rupiah untuk sepeda motor dan empat ribu rupiah untuk mobil. Kalau lah dibandingkan dengan Malaysia maka tarif parkir kita termasuk yang mahal. Terlebih, hampir tidak ada tempat yang bebas parkir.

Banyak diantara kita yang harus singgah dibanyak tempat hanya sekedar mencari barang kebutuhan terpaksa mengeluarkan lebih akibat membayar kutipan parkir. Artinya ongkos parkir selama ini pengeluaran yang cukup signifikan dan cenderung tidak kita sadari.

Kedua, harga parkir tetap tetapi beri marka khusus parkir berbayar dengan petugas parkir yang digaji secara resmi. Sebagai upaya transisi peralihan parkir manual menuju parkir berbasis cashless, penentuan zona parkir berbayar perlu dipikirkan yang dilengkapi dengan petugas resmi. Sehingga masyarakat merasa nyaman dan pasti saat singgah ke tempat wisata, kedai makan maupun swalayan besar dan kecil. Termasuk pemilik usaha makanan dan kafe dapat menentukan lapaknya bebas parkir atau tidak.

Dengan demikian, baik pilihan pertama maupun pilihan kedua tetap menghadirkan ruang hidup bagi juru parkir yang ada. Baru selanjutnya ketika ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak mulai tersedia maka penataan ruang publik yang terintegrasi dengan teknologi dapat diterapkan. Tetapi sekali lagi perlu diingat bahwa pilihan ini tidak memberikan prioritas kepada peningkatan pendapatan kota lewat retribusi parkir

*) Dosen Ilmu Politik FISIPOL UM Sumbar dan Mahasiswa S3 IKMAS UKM

Tag:

Baca Juga

Pemprov Sumbar Kembali Raih Anugerah Adinata Syariah 2025
Pemprov Sumbar Kembali Raih Anugerah Adinata Syariah 2025
Serahkan SK 397 CPNS Formasi 2024, Wako Padang: Jadilah ASN Berdedikasi, Loyal dan Bekerja Sepenuh Hati
Serahkan SK 397 CPNS Formasi 2024, Wako Padang: Jadilah ASN Berdedikasi, Loyal dan Bekerja Sepenuh Hati
Pemko Payakumbuh Evaluasi 100 Hari Kerja Wako Wawako, Fokus Penanganan Sampah
Pemko Payakumbuh Evaluasi 100 Hari Kerja Wako Wawako, Fokus Penanganan Sampah
UNP dan Pemko Pariaman Jalin Kerja Sama Pendidikan Inklusif
UNP dan Pemko Pariaman Jalin Kerja Sama Pendidikan Inklusif
Hadiri Raker LLDIKTI Wilayah X, Wako Padang Dorong Pendidikan Tinggi Berdampak
Hadiri Raker LLDIKTI Wilayah X, Wako Padang Dorong Pendidikan Tinggi Berdampak
Polres Padang Panjang Tangkap Pelaku Pencurian Handphone di Masjid Nurul Iman Aia Angek
Polres Padang Panjang Tangkap Pelaku Pencurian Handphone di Masjid Nurul Iman Aia Angek