Dua dekade lalu, orang membayangkan globalisasi serupa dengan raksasa hitam yang menakutkan. Dan hari ini, kita semua sudah masuk dalam kubangan globalisasi. Kita sudah menjadi bagian dari warga desa global. Setiap saat kita dapat berinteraksi dengan warga dari berbagai belahan dunia seperti kita biasa berinteraksi dengan tetangga rumah.
Salah satu yang orang takutkan ketika membayangkan, dan ketika kini sudah memasuki era globalisasi, adalah ancaman terhadap rasa nasionalisme masyarakat. Banyak orang mempercayai globalisasi dapat menghilangkan identitas nasional dan semangat kebangsaan. Mereka percaya globalisasi dapat menggerus batas-batas nasional, orang lebih intens berinteraksi dengan bangsa dan budaya asing, kemudian terpengaruh oleh mereka. Lalu, identitas nasional mereka luntur dan hilang.
Bagi beberapa orang, penjelasan tersebut masuk akal dan bekerja untuk menjelaskan fenomena nasionalisme sehari-hari. Dalam arti, mereka percaya bahwa orang akan serta merta luntur rasa nasionalismenya ketika mereka terpapar budaya asing. Mereka menjadi lebih dekat dengan bangsa yang budayanya mereka adopsi, dan di sisi lain mereka menjadi renggang hubungannya dengan bangsa Indonesia.
Namun, kenyataannya, mentalitas manusia tidak bekerja secara mekanis transaksional. Artinya, pengadopsian budaya asing tidak serta mengambil ruang keyakinan nasional dalam diri seseorang. Pemahaman masyarakat tentang orang dan budaya asing bisa jadi justru dapat menjadi bahan bagi mereka untuk bercermin, merefleksikan dirinya. Mereka dapat melihat hal yang sama dan berbeda antara bangsanya dan bangsa lain, termasuk dapat mengenal berbagai hal yang sebelumnya belum mereka ketahui. Dengan kata lain, ketika orang berinteraksi dengan budaya lain orang justru belajar sehingga memperkaya pemahaman identitasnya.
Adanya fakta demikian dapat dengan mudah kita cari buktinya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang terpapar dan bahkan berinteraksi secara intens dengan budaya asing, namun mereka tetap memiliki nasionalisme yang kuat. Bahkan orang-orang yang tinggal di luar negeri dalam rentang waktu yang panjang, misalnya para eksil, mereka mengaku jiwanya tetap terpaut erat dengan Indonesia. Mereka tetap merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan ingin kembali menjadi bagian dari Indonesia.
Kita juga dapat melihat pengaruh budaya asing pada nasionalisme itu pada tokoh-tokoh nasional yang terlibat dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Banyak dari mereka memiliki interaksi intens dengan berbagai wacana budaya maupun pengetahuan yang bersumber pada bangsa asing. Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan tokoh-tokoh lainnya sejak muda bergulat dengan beraneka ragam pemikiran yang berkembang pada bangsa asing. Namun, mereka tetap mampu mengembangkan nasionalisme Indonesia yang kuat.
Pemahaman demikian mestinya dapat menggeser posisi dan sikap kita yang kadang terlalu takut terhadap berbagi hal yang berbau asing. Memang, di satu sisi kita perlu waspada terhadap berbagai kekuatan asing yang mungkin merugikan kepentingan kita. Namun, di sisi lain, kita juga perlu terbuka terhadap berbagai nilai, budaya dan pengetahuan asing. Karena keterbukaan demikian memungkinkan kita dapat menyesuaikan irama langkah kita dengan berbagai perubahan yang begitu cepat.
Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah nasionalisme kritis atau patriotisme. Nasionalisme kritis merupakan gagasan tentang bangsa yang dilandasi pandangan, evaluasi dan sikap kritis terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa, seperti sejarah, kebijakan, dan berbagai keyakinan kita mengenai bangsa. Nasionalisme kritis ini kerap melibatkan pertanyaan mengenai berbagai gagasan atau pandangan yang sudah dianggap mapan oleh warga bangsa bersangkutan.
Nasionalisme kritis ini berseberangan dengan nasionalisme buta. Satu jenis nasionalisme yang lebih mengedepankan sisi emosional ketika seseorang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari bangsa. Orang yang menganut nasionalisme jenis ini cenderung memahami dan merasakan kebangsaan mereka secara fanatik dan ekstrem. Mereka cenderung melihat dan menerima sisi-sisi baik dari bangsanya, dan gagal untuk melihat kekurangan atau kesalahan sejarah bangsanya.
Pendukung nasionalisme jenis terakhir ini cenderung mengembangkan sikap yang tidak toleran terhadap bangsa atau budaya berbeda. Mereka menempatkan bangsa atau budaya asing sebagai ancaman, dan enggan untuk melakukan dialog konstruktif untuk belajar saling memahami. Karena sifatnya yang cenderung emosional ini, nasionalisme ini potensial menimbulkan gesekan antar budaya dan kelompok masyarakat.
Penulis mendukung adanya penguatan dan pengembangan nasionalisme kritis daripada nasionalisme buta di era globalisasi. Alasan utama penulis adalah karena nasionalisme jenis ini lebih konstruktif. Pemahaman kritis terhadap bangsa memungkinkan kita melihat bangsa sendiri dan bangsa lain secara objektif. Tidak selalu bangsa lain salah dan buruk, sementara bangsa sendiri selalu benar dan baik.
Selain itu, orang dengan nasionalisme kritis juga cenderung melihat hubungan antar bangsa bersifat setara. Tidak selalu melihat bangsanya unggul terhadap bangsa lainnya. Pandangan dan sikap demikian memungkinkan terjadinya hubungan yang dialogis antar bangsa.
Terakhir, nasionalisme kritis juga memfasilitasi masyarakat mengembangkan pandangan dan hubungan yang inklusif. Mereka melihat bangsanya dan bangsa lain sebagai satu kesatuan, memiliki tantangan dan tujuan yang sama. Mereka memandang berbagai bangsa di dunia sebagai kumpulan saudara yang berjuang bersama untuk mencapai hidup yang damai, sejahtera dan berkeadilan.
Penulis: Sartana, M.A (Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi FK Unand)