Memahami Kekalahan Prabowo di Sumbar

Kekalahan Prabowo Subianto dalam Pilpres di Sumatera Barat menarik perhatian. Pasalnya, kedigdayaan Prabowo pada dua Pilpres sebelumnya

Asrinaldi, Pengamat Politik dari Universitas Andalas (Unand) Padang. (Foto: Zulfikar/Langgam.id)

Kekalahan Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) di Sumatera Barat menarik perhatian banyak pihak. Pasalnya, kedigdayaan Prabowo pada dua Pilpres sebelumnya terlihat jelas yang berhasil mengalahkan Jokowi dengan selisih perolehan suara yang signifikan.

Pada Pilpres tahun 2014, Prabowo mendapatkan 76,92% berbanding Jokowi yang hanya memperoleh 23,08%. Perolehan suara Prabowo justru meningkat drastis pada Pilpres 2019 yang mencapai 85,92% dan Presiden Jokowi sebagai petahana menurun menjadi 14,08%.

Menariknya pada Pilpres 2024 dengan tiga pasang calon presiden, justru suara Prabowo turun drastis menjadi 39,54% dibandingkan Anies Baswedan yang memperoleh 56,53% dan Ganjar Pranowo memperoleh 3,93% (Kondisi suara yang masuk ke KPU sebanyak 92,04% saat artikel ini ditulis).

Lalu bagaimana memahami fenomena ini? Apakah ini bentuk politik identitas etnis Minangkabau yang banyak dituduhkan sebagaimana yang terjadi pada pemilu 2014 dan 2019? Ataukah gejala ini adalah cerminan identitas politik etnis Minangkabau yang ada hubungannya dengan kesan politik yang mereka dapatkan dari calon presiden? 

Politik Identitas atau Identitas Politik
Secara sederhana politik identitas dapat dipahami sebagai tindakan yang mempolitisasi agama, etnis, gender, orientasi seksual, dan kelompok minoritas dalam memperjuangkan kepentingannya sehingga memunculkan semangat kelompok untuk menegaskan perbedaan mereka dengan kelompok lain.

Ini jelas berbeda dengan identitas politik yang lebih mengedepankan dimensi nilai, norma dan keyakinan dari kelompok tertentu yang mendasari sikap dan perilakunya dalam membuat pilihan politik. Identitas politik tidak menegaskan adanya perbedaan dengan kelompok lain karena nilai, norma dan keyakinan yang diamalkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian mereka.

Indonesia memang unik. Kemajemukannya menjadi perhatian banyak negara-negara di dunia. Bayangkan saja jumlah suku bangsa yang hidup di nusantara ini mencapai 656 suku bangsa dengan 300 bahasa lokal yang digunakan sehari-hari ditambah keragaman agama, adat-istiadat dan ras.

Karenanya tidak heran untuk mempersatukan keberagaman suku bangsa dan bahasa ini, maka dibutuhkan ideologi pemersatu, yaitu Pancasila dan UUD 1945 untuk membingkai pluralitas Negara Indonesia (NKRI).

Keberagaman ini menjadi pondasi dalam membangun NKRI yang multikultural dengan keunikan masing-masing yang diakui oleh UUD 1945.

Namun, dibalik keberagaman ini tentu menyimpan potensi konflik yang sangat luar biasa apalagi kalau tidak dikelola dengan baik. Karenanya tidak mengherankan pemerintah memberi perhatian khusus pada kemajemukan NKRI ini agar tetap saling menghormati, saling menghargai dan saling membantu di tengah perbedaan ini.

Keberagaman ini tentu tidak hanya dalam konteks sosial dan budaya saja. Sistem nilai sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat yang majemuk ini mempengaruhi sikap dan perilaku mereka sehari-hari.

Bahkan dalam tindakan politik yang dilakukan individu, misalnya dalam pemilu, juga dipengaruhi oleh nilai sosial dan budaya yang mereka yakini tersebut. Akumulasi nilai-nilai sosial dan budaya ini membimbing setiap individu untuk berinteraksi dengan individu lain apakah dalam lingkup kelompok ataupun di luar kelompok mereka. 

Pemerintah menyadari perlu ada penguatan hubungan antar suku bangsa yang majemuk di Indonesia ini dan sangat melarang masing-masing mereka menguatkan identitas-identitas yang berbeda sebagai alat perjuangan politik yang justru menonjolkan superioritas suku bangsa tertentu dan menunjukan inferioritas suku bangsa yang lain dalam NKRI.

Politik identitas jelas mengedepankan sikap superioritas atau memanfaatkan sikap inferioritas mereka sehingga menganggap bahwa siapa yang berbeda dengan nilai, norma dan keyakinan politik mereka alami adalah "lawan" dalam mencapai tujuan politik.

Dengan mempolitisasi nilai identitas, biasanya mereka berjuangan menunjukan eksistensinya dan melakukan perlawanan kepada kelompok lain yang ada baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Identitas Politik Minangkabau
Etnis Minangkabau jelas memiliki identitas politik yang direpresentasikan dengan falsafah ABS-SBK sekaligus menjadi pedoman hidup mereka. Falsafah ini menegaskan adat tradisi Minangkabau yang dikuatkan dengan Islam membentuk pandangan politik mereka.

Karenanya tidak heran preferensi politik yang mereka buat sangat dipengaruhi oleh falsafah ABS-SBK ini. Begitu juga dalam konteks politik kontemporer seperti Pilpres 2024 beberapa waktu yang lalu.

Identitas politik etnis Minangkabau ini punya pengaruh besar dalam membentuk persepsi dan penilaian terhadap calon presiden yang berkontestasi. Persepsi dan penilaian yang terbentuk ini membawa kesan politik (political impression) mendalam sehingga mempengaruhi pilihan politik mereka ketika pencoblosan.

Kesan politik ini dapat dipahami bagaimana seseorang mempersepsikan dan menilai kandidat tertentu yang dibungkan dengan kepribadian, tindakan masa lalu, gaya komunikasi, karakteristik penampilan, perilaku nonverbal, dan kebijakan calon presiden yang sedang berkontestasi.

Bagi etnis Minangkabau persepsi dan penilaian tersebut tersebut sadar atau tidak akan dikaitkan dengan nilai, norma dan keyakinan mereka yang melebur ke dalam falsafah Adat Basandi Syarak-Syarak Badandi Kitabullah.

Inilah mengapa kesan politik etnis Minangkabau ini lebih menonjol kepada calon presiden Anies Baswedan ketimbang Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo. Walaupun pada aspek ini kecenderungan pilihan etnis Minangkabau ini cenderung "emosional" ketimbang sesuatu yang rasional.

Memang ada faktor lain yang juga ikut menentukan, yaitu bagaimana Partai Nasdem dan PKS berhasil membangun kesan politik Anies Baswedan ini menjadi lebih positif di mata orang Minang.

Artinya, kedua partai ini berhasil mengelola kesan politik Anies lebih baik berbanding Prabowo Subianto sehingga meningkat perolehan suara Anies dan menurunkan perolehan suara Prabowo yang sebelumnya sangat dominan di Sumatera Barat.

Bahkan kepiawaian mengelola kesan politik ini membawa dampak besar kepada perolehan suara Partai Nasdem dan PKS dalam pemilu legislatif.*

Asrinaldi A, Profesor Ilmu Politik Universitas Andalas

Baca Juga

Langgam.id-Asrinaldi
PKS Cabut Dukungan di Pilkada Dharmasraya, Pengamat: Bentuk Pragmatisme Politik
Menakar Keseriusan Politik Anies Baswedan
Menakar Keseriusan Politik Anies Baswedan
Menakar Kekuatan Calon Wali Kota Padang
Menakar Kekuatan Calon Wali Kota Padang
Anggota Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Andre Rosiade meyakini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran
Prabowo Kurban Ratusan Sapi, Andre Rosiade: Rasa Syukur Pemilu Lancar
Paling tidak kita dapat mengetahui partai politik mana yang memiliki mesin politik yang tangguh di akar rumput.
Pilgub: Kotak Kosong atau Head to Head?
Langgam.id-Asrinaldi
Mengembalikan Otonomi ke Daerah