Langgam.id – Perahu bermesin 25 PK itu membelah air Danau Maninjau yang kelabu. Langit masih berat oleh sisa hujan, sementara tebing-tebing hijau di kejauhan menyimpan luka longsor. Di atas perahu, Yogi Yolanda duduk diam dihadapan karung beras dan jeriken minyak goreng, bantuan pertama yang akan masuk ke Nagari Sungai Batang setelah banjir bandang atau galodo memutus semua akses darat.
Kamis, 27 November 2025, galodo menghantam kawasan Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Material lumpur, batu, dan kayu meluncur dari punggungan bukit, memutus jalan kabupaten, merobohkan rumah, dan mengurung tujuh jorong berhari-hari. Salah satu yang terparah adalah Jorong Labuah.
Yogi, seorang perantau asal tepian Danau Maninjau, termasuk orang pertama yang berhasil masuk ke wilayah itu setelah bencana. Ketika jalan dari Pasar Maninjau ke Sungai Batang terputus total oleh longsor, satu-satunya jalur tersisa hanyalah danau.
“Ini bicara kampung kita,” kata Yogi, mengenang keputusan yang ia ambil bersama kawan-kawannya.
Informasi galodo sebenarnya sudah diterima Yogi sejak Kamis, hari kejadian. Namun akses sama sekali tak bisa ditempuh. Longsor terjadi di banyak titik, membuat kendaraan tak dapat melintas. Baru Jumat, Yogi dan kawan-kawan berhasil menembus Padang untuk membeli logistik, perjalanan yang memakan waktu sekitar empat jam.
Sabtu dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB, mereka sudah kembali di Maninjau. Enam jam kemudian, dengan perahu milik warga bernama Noviar, minyak dibeli patungan, mereka berangkat menyusuri danau menuju Sungai Batang. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit, terasa jauh lebih lama di tengah kecemasan.
“Di jorong-jorong itu akses antarjorong putus. Ada dua jalan kabupaten yang sama-sama tak bisa dilewati. Mencekam,” ujar Yogi yang berasal dari Nagari Bayua, Kecamatan Tanjung Raya ini.
Saat perahu merapat di Jorong Bancah Balok dan Labuah, situasi jauh lebih buruk dari yang dibayangkan.
Warga mengungsi di dua titik yakni rumah baru dan sekolah. Ratusan orang bertahan dengan sisa bahan pangan seadanya. Sebagian keluarga hanya memiliki tiga liter beras untuk bertahan hidup. Hujan yang turun hampir sepuluh hari membuat warga tak bisa menjemur padi, sementara jalan terputus membuat pasokan tak masuk.
“Di Sungai Batang kami sudah dua hari makan mi instan. Forkopimca saja belum sampai waktu itu, karena jalan putus,” tutur Yogi.
Bantuan awal yang mereka bawa memang sederhana yakni beras, telur, minyak goreng, namun menjadi sangat berarti. Hingga dua minggu berikutnya, Yogi dan kawan-kawan menetap di Sungai Batang, bolak-balik menyusuri danau. Total bantuan pangan yang berhasil mereka distribusikan di awal mencapai sekitar 1,2 ton beras, ditambah telur dan minyak goreng.
Empat unit genset juga mereka bawa masuk, sangat dibutuhkan karena listrik padam total di sejumlah jorong.
Seminggu Terkurung
Wali Jorong Labuah Elbama, menyebut warganya terdampak parah. Selama hampir seminggu, Jorong Labuah benar-benar terkurung. Akses ke arah Nagari Sungai Batang, Jorong Kubu, hingga Tanjung Sani sama-sama terputus.
“Tujuh jorong di Sungai Batang terkurung. Masyarakat bertahan dengan apa yang ada. Ada yang terpaksa menyewa ponton ke Pasar Maninjau, bayar Rp300 ribu, demi sembako,” ujarnya.
Di tengah lumpur, rumah roboh, dan jalan yang hilang, Danau Maninjau berubah fungsi: dari lanskap wisata dan sumber ekonomi dengan keberadaan keramba jaring apung, menjadi satu-satunya jalan kehidupan. Perahu-perahu kecil, ponton, dan boat warga menjadi penghubung dunia luar dengan kampung-kampung yang terisolasi.
Bagi Yogi Yolanda, perjalanan menembus danau itu bukan sekadar misi kemanusiaan. Itu adalah panggilan pulang seorang perantau yang kembali saat kampungnya paling membutuhkan. (*/Yh)






