Ada saatnya perintah Allah boleh dilanggar. Juga larangan-Nya. Juga perintah dan larangan Rasul-Nya. Bahkan, ada kalanya bukan sekadar boleh, tapi mesti dilanggar. Menariknya lagi, si pelanggar itu tetap diganjar pahala oleh Allah.
Namun, ini bukan sembarang melanggar. Ada pedoman dan tata caranya. Karena itu, kata “melanggar” pada judul tulisan ini sengaja diapit dengan tanda petik (“…”).
Cara melanggar perintah atau larangan Allah dan Rasul adalah: dengan berpindah dari satu perintah Allah dan Rasul kepada perintah lain yang juga berasal dari Allah dan Rasul; atau beralih dari satu larangan kepada larangan lain yang sama-sama berasal dari Allah dan Rasul. Itulah cara melanggar yang benar, yang diganjar pahala. Kalau beralih dari perintah Allah kepada yang tidak Ia perintahkan, maka itu pelanggaran yang dihukum dosa.
Berarti ada dua perintah atau larangan yang saling bertentangan? Sepintas lalu, iya. Tapi, jika ditelaah lebih lanjut dengan langkah-langkah keilmuan ushul fiqh, hakikatnya bukanlah pertentangan, melainkan variasi yang menyesuaikan situasi dan kondisi. Karena itu, perintah Allah dan Rasul tidak boleh dipahami hanya sepintas lalu, tapi mesti dengan ilmunya, mulai dari ilmu tafsir, ilmu hadis, ushul fiqh, dan seterusnya.
Jika penjelasan di atas dirasa agak rumit, mari cermati contoh berikut: Suatu kali, Nabi melarang umatnya berziarah ke kuburan. Namun, di kali yang lain (setelah itu), Nabi mengizinkan umatnya menziarahi kuburan. Keterangan ini terdapat dalam Hadis riwayat Imam Muslim.
Perhatikan, di hadis itu terdapat dua poin. Pertama, larangan berziarah kubur. Kedua, perintah untuk berziarah kubur. Karenanya, orang yang berziarah ke kuburan berarti telah melanggar larangan nabi (poin pertama), tapi ia tetap diganjar pahala, karena telah melaksanakan perintah nabi (poin kedua).
Sepintas lalu, titah Nabi itu terkesan bertentangan, seperti tidak konsisten. Namun, itu justru sebuah konsistensi yang berangkat dari situasi dan kondisi sahabat saat itu. Kali pertama, Nabi melarang ziarah kubur lantaran aqidah para sahabat belum kuat benar. Sisa-sisa pemahaman jahiliah belum habis terkikis. Nabi mengkhawatirkan, jangan-jangan mereka ke kuburan bukan sekadar ziarah, tapi sampai meratap atau berharap pada kuburan.
Di kali kedua, Nabi membolehkan ziarah kubur, karena akidah para sahabat sudah mantap. Dalam hadis lainnya, justru nabi menganjurkan umatnya ziarah kubur, karena ziarah kubur dapat menuntun kita mengingat kematian (H.R. Tirmizi). Mengingat kematian itu, pekerjaan baik yang diganjar pahala.
Dari dua titah yang terkesan bertentangan itu, justru dapat diambil pelajaran bahwa ziarah bukan untuk meratap apalagi bermohon ke kuburan, melainkan untuk menguatkan iman. Bahwa setelah hidup ada mati. Setelah hari ini, ada hari esok. Setelah dunia, ada akhirat. Percaya ke hari akhir adalah salah satu rukun iman. Karena itu, ziarah kubur dengan tuntunan yang benar dapat menambah kekuatan iman.
Berpindah dari titah yang pertama kepada titah yang kedua dengan meninggalkan sama sekali titah yang pertama, dalam kajian ushul fiqh disebut nasakh (penghapusan hukum). Sementara, jika titah pertama tidak ditinggalkan, tapi hanya dianggap berbeda situasi, maka disebut takhsis (pengkhususan situasi).
Contoh berikutnya: Nabi memiliki sembilan istri di waktu yang sama (poligami). Hadis yang menerangkan ini statusnya sahih. Walau sahih, hadis itu justru mesti dilanggar oleh umatnya. Haram diamalkan. Cara melanggarnya adalah dengan beralih dari hadis itu kepada perintah Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 3. Menurut ayat ini, poligami hanya dibolehkan sampai empat istri, itupun dengan persyaratan super ketat sekali. Lebih dari empat, berdosa.
Hadis-hadis tentang poligami Rasul disebut khususiat, yaitu amal perbuatan yang hanya boleh dilakukan oleh nabi, tidak oleh umatnya.
Boleh nak tiga contoh seiring: Allah memerintahkan setiap muslim agar berwudhu’ sebelum shalat. Berwudhu’ itu mesti pakai air. Namun, dalam kondisi tidak ada air, maka perintah wudhu’ boleh dilanggar. Saat sakit berat yang melarang si penderita terkena air, perintah wudhu’ justru wajib dilanggar. Allah yang memerintahkan wudhu’, tapi Allah juga yang membolehkan tidak pakai air atau melarang penggunaan air. Dalilnya terdapat dalam Q.S. al-Maidah ayat 6.
Dalam ayat itu terdapat dua kondisi. Pertama, kondisi normal: Allah memerintahkan berwudhu’. Kedua, kondisi darurat: Allah membolehkan tidak berwudhu’. Maka, perintah berwudhu’ boleh dilanggar ketika kondisi pertama tidak terpenuhi dan seseorang mesti beralih ke kondisi kedua. Di kondisi kedua itu, wudhu’ mesti diganti dengan tayamum, yaitu menggunakan debu yang suci sebagai ganti wudhu’.
Peralihan kondisi seperti di atas, dalam kajian ushul fiqh disebut rukhsah, yakni keringanan hukum yang diberikan oleh Allah dalam kondisi darurat. Allah yang membebankan suatu hukum, lalu Allah juga yang memberikan keringanan dalam kondisi darurat.
Agaknya, nalar ini juga yang digunakan oleh MUI dalam memfatwakan bahwa Salat Jum’at mesti diganti Zuhur di rumah masing-masing dalam kondisi wabah corona. Memang, Allah yang memerintahkan untuk Salat Jum’at (Q.S. al-Jumu’ah: 9). Namun, ketika berkumpul-kumpul menyebabkan virus menular lebih cepat, maka Salat Jum’at dan salat jamaah mesti ditiadakan sementara waktu, demi memelihara jiwa (nyawa).
Memelihara jiwa itu, perintah paling asasi dari Allah dan Rasul. Dalam kajian ushul fiqh dikenal konsep “hifz al-nafs” (memelihara jiwa), sebagai satu dari lima prinsip dasar syariat Islam. Banyak ayat dan hadis yang memerintahkan setiap muslim agar memelihara jiwanya, misalnya Q.S. al-Maidah ayat 32.
Allah dan Rasul yang memerintahkan kita untuk Salat Jumat dalam situasi normal, tapi Allah dan Rasul juga yang menegah kita agar tidak Salat Jum’at dalam kondisi darurat wabah. Kalau Salat Jum’at yang hukumnya wajib saja boleh diganti salat zuhur di rumah masing-masing, apalagi berjamaah biasa yang hukumnya sunat, apalagi salat sunat semacam tarawih. Silakan berjamaah, tapi cukup dengan keluarga inti di rumah masing-masing. Pahalanya, insyaalah sama. Ada garansi dari Nabi, dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari.
Penggantian teknis peribadatan itu, tak lain karena Islam sangat mengedepankan prinsip hifz al-nafs (memelihara jiwa). Salat Jum’at masih bisa diganti zuhur, berjamaah di masjid masih bisa diganti berjamaah di rumah, tapi kehilangan nyawa tidak bisa diganti. Begitu benarlah Islam hendak menjaga jiwa-jiwa para pemeluknya. [***]
Nuzul Iskandar, Dosen Hukum Islam IAIN Kerinci