Oleh: Didi Rahmadi
Secara resmi PP Muhammadiyah menerima tawaran pemerintah mengelola tambang. Keputusan ini tertuang dalam risalah pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah 13 Juli 2024 dan di sosialisasikan acara Konsolidasi Nasional Muhammadiyah di Yogyakarta. Tak ayal, akibat keputusan ini, Muhammdiyah mendapatkan gelombang kritikan keras. Termasuk dari kader-kader Muhammadiyah sendiri pun tak mampu menyembunyikan kekecewaannya.
Sebelumnya, memang NU telah lebih dahulu menyatakan menerima tawaran pemerintah untuk konsesi izin tambang yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2024. Dan publik pun jauh hari berharap, Muhammadiyah tidak berada dalam barisan ormas keagamaan yang menerima tambang.
Berdasarkan risalah keputusan pleno yang dipublikasikan, keputusan ini diambil didasarkan kepada proses pembahasan yang panjang dengan melibatkan beragam para ahli termasuk melibatkan pakar diluar Muhammadiyah. Ada 9 point keputusan dalam risalah tersebut termasuk pembentukan tim pengelola tambang Muhammadiyah yang dipimpin oleh Prof. Muhadjir Effendy.
Selain itu, menarik pula untuk disimak penjelasan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nasir yang menyatakan bahwa izin konsesi tambang adalah peluang yang dapat dimanfaatkan secara seksama sekaligus apabila mengandung keburukan (mafsadah) Muhammadiyah tidak ragu untuk mengembalikannya.
Kembali lagi pada persoalan polemik pro dan kontra keputusan ini. Perlu Saya sampaikan, bahwa perdebatan terkait izin tambang di Muhammdiyah tidak berjalan linear. Ada perdebatan tajam dikalangan pimpinan yang menolak dan menerima IUP dari pemerintah. Pimpinan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah termasuk yang memberikan rekomendasi untuk menolak izin konsesi tambang dari Pemerintah.
Memang tidak mudah menerima keputusan ini. Terutama menjelaskan pilihan Muhammadiyah terhadap tambang kepada publik. Jangankan kepada publik, menjelaskan kepada masyarakat persyarikatan saja belum tentu dapat diterima.
Meski demikian, opsi ini bukan lah hal yang final. Masih terbuka untuk ditinjau ulang dan mungkin pula dicabut apabila dikemudian hari dirasa pilihan ini lebih banyak keburukannya.
Sebagai kader Muhammadiyah sekaligus sebagai pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah Wilayah Sumatera Barat tentu ada dilema dalam menyikapi keputusan pimpinan pusat ini. Apalagi, ketika banyak sahabat bertanya dan protes atas keputusan tersebut.
Dalam memandang polemik ini, saya kira harus ada keinginan untuk melonggarkan cara pandangnya masing-masing dengan sikap yang saling menghormati. Agar masing-masing kita tetap berada dalam konteks. Saya yakin konteks baik bagi yang pro dan kontra terhadap keputusan ini adalah kemaslahatan atau kebaikan untuk bersama.
Konteks ekonomi politik
Saya mencoba mengikuti perdebatan pro dan anti terhadap perluasan izin tambang khususnya penerimaan ormas keagamaan untuk mengelola tambang dari Pemerintahan Jokowi. Saya menangkap, perdebatan ini mencerminkan kompleksitas isu yang melibatkan aspek ekonomi, lingkungan, sosial, dan tentu saja, agama. Dan, aspek-aspek tersebut bersangkut paut dengan dua kata penting yaitu maslahat atau mafsadat.
Saya setuju tambang dapat memberikan maslahat sekaligus mafsadat. Bagi ormas NU dan Muhammadiyah penerimaan mereka terhadap konsesi tambang juga keinginan untuk memberikan kebaikan kepada masyarakat dan menjauhi keburukannya. Tetapi, tidak mengkaji lebih dalam konteks ekonomi politik dalam praktik pertambangan di Indonesia juga keliru. Karena dari situ kita bisa melihat mafsadatnya tambang di Indonesia.
Selama ini pengelolaan tambang dan hasil tambang sebagian besar dinikmati oleh segelintir orang. Bahkan, telah menjadi rahasia umum bahwa tambang adalah sumber kekayaan para politisi dan sebagian dari mereka turut pula mengontrol kekuasaan di negeri ini. Misalnya, film dokumenter yang berjudul Sexy Killers produksi Watchdog Image menjelaskan jejaringan dan kontrol tokoh politisi terhadap tambang. Di dalam film tersebut, hampir semua tokoh politik di negeri ini punya akses terhadap perusahaan tambang.
Dari titik ini, tambang dilihat sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan akses terhadap sumber daya alam bagi para politisi adalah sumber mempertahankan kekuasaan politik.
Kekayaan sumber daya yang kita miliki berubah menjadi bencana akibat watak rakus segelintir elit kita. Ini lah yang kita sebut sebagai kutukan sumber daya alam. Sehingga menjadi wajar carut marut pengelolaan tambang di Indonesia cerminan praktik kolusi korupsi di republik ini.
Dengan berkaca pada praktik pengelolaan tambang saat ini, masuknya ormas keagamaan dalam berbisnis tambang bisa jadi oase yang mengembalikan amanah Pasal 33 UUD 1945 yaitu memanfaatkan sebesar-besarnya hasil bumi untuk kesejahteraan rakyat.
Namun, sejauh ini penilaian publik terhadap keputusan ormas keagamaan masuk dalam bisnis tambang lebih banyak mempertanyakan kapabilitas serta motivasi dan dampak jangka panjangnya. Apalagi, wilayah izin usaha pertambangan yang akan diberikan berada di lahan bekas penambangan. Pastinya, beberapa kerusakan akibat eksplorasi tambang yang ditinggalkan akan menjadi pekerjaan rumah mereka.
Pada posisi ini lah, ormas keagamaan harus membuktikan konsep kemanfaatan yang dimaksud. Karena dalam konteks sumber daya alam, kelompok keagamaan tidak boleh abai terhadap realitas tambang yang berkelindan dengan kekuasaan, eksklusi terhadap sumber daya, dan dampak sosial ekologisnya.
Saya kira tiga realitas tambang ini lah yang perlu dijawab oleh ormas keagamaan. Terlebih apabila menggunakan perspektif agraria kritis, industri ekstraktif sering dilihat sebagai perampasan sumber daya masyarakat lokal.
Kolaborasi masyarakat sipil
Kritikan terhadap ormas keagamaan yang memilih menerima izin tambang selayaknya diberikan secara proposional. Sebab memberikan hujatan secara berlebihan toh tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya, mengosongkan peran masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber daya alam dapat berarti melanjutkan eksploitasi sumber daya alam secara ugal-ugalan.
Ada kesan perbedaan cara pandang terhadap isu tambang membuat ormas keagamaan dan kelompok-kelompok masyarakat sipil kritis tidak bisa dibicarakan. Padahal, sejatinya kelompok-kelompok masyarakat sipil yang kritis terhadap isu tambang relatif lebih mudah berkomunikasi dengan ormas keagamaan. Ada banyak ruang-ruang perjumpaan yang dapat dilakukan untuk mendekatkan kesamaan. Dengan demikian, titik temu antara memaksimalkan manfaat sekaligus minimalisir dampak sosial ekologis bisa dilakukan.
(Dosen Ilmu Politik FISIPOL UM Sumbar & Pengurus LHKP PW. Muhammadiyah Sumbar)