Langgam.id - Bak membangun Rumah Gadang (Rumah Adat Minangkabau), Masjid Raya Bingkudu juga didirikan tanpa menggunakan paku. Namun, rumah ibadah itu hingga saat ini masih berdiri kokoh, meskipun atap ijuknya telah berganti seng.
Pemugaran masjid itu dilakukan setelah didirikan hampir seratus tahun. Pertama, 1920 yang dilakukan Syekh Ahmad Thaher, lalu 1925, pembangunan menara di depan masjid. Kemudian, pada 1950 dilakukan pemugaran atap dan pada 1952 penggantian tiang. Lalu, pada 1957 penggantian bagian atap, ijuk dengan seng.
Pada 1960 penggantian tiang macu dengan bata, tanpa mengubah bentuk aslinya. Lalu, pada 1961 penggantian papan dinding dan 1970 penggantian gonjong masjid yang patah diterpa angin.
Bangunan masjid yang dibangun 1823 di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, merupakan rumah ibadah tertua dan terbesar di daerah itu.
Dibangun Haji Salam atau yang dikenal dengan Lareh Canduang awal abad ke-19. Masjid itu dibangun atas kesepakatan empat delegasi yang mewakili daerah sekitar Bingkudu.
Masjid tersebut dibangun dengan atap bertumpang tiga yang memiliki filosofi kepemimpinan di Minangkabau, yaitu Tigo Tungku Sajarangan yang terdiri dari Niniak Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai.
Pada Mihrab, terdapat pula angka tahun yaitu dengan menggunakan huruf Arab dan latin yang menunjukkan angka tahun 1316 Hijriah atau 1906 Masehi, angka tahun tersebut di duga merupakan angka tahun pembuatan mihrab.
Selain itu, masjid tersebut juga dilengkapan beberapa kolam, seperti kebanyakan masjid tua yang ada di Minangkabau, kolam-kolam itu berada di sebelah barat, selatan, dan timur bangunan masjid.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dalam situs resminya mencatat, bangunan utama Masjid Bingkudu menghadap ke arah barat, dan pintu masuk utama di sebelah timur. Denah ruang utama masjid berukuran 21 x 21 meter. Kaki bangunan masjid berupa pondasi beton setinggi 0,4 meter.
Lantai masjid dari papan kayu surian yang disusun rata membujur arah barat-timur. Di dalam ruang utama masjid terdapat 25 buah tiang. Tiang utama terletak di tengah-tengah ruang utama masjid yang terbuat dari beton berbentuk segi 12 dan berdiameter 1,25 meter. Di sekililing tiang utama terdapat 24 buah tiang kayu berbentuk segi 16 yang diameternya berukuran antara 20–45 cm.
Selain itu, dinding, tiang, serta mimbar diukir dengan ukiran khas Minangkabau. Mulai dari kaluak paku, saluak laka, carano kanso, aka cino saganggang, lumuik anyuik dan lainnya.
Keberadaan ornamen maupun ragam hias yang ada di Masjid Raya Bingkudu merupakan bentuk implementasi dari adagium Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang jadi pegangan masyarakat Minangkabau.
Bentuk ragam hias yang umumnya mengadopsi bentuk tumbuhan, memperlihatkan hubungan seorang manusia dengan alam, sehingga melahirkan pepatah alam takambang jadi guru.
Bagi pencinta wisata religi, berkunjung ke Masjid Raya Bingkudu, akan menjumpai hal-hal menarik yang bisa dinikmati. Seperti mimbar yang penuh dengan ukiran, lampu gantung kuno dan tentunya suasana sejuk dan asri ketika kita berada di lereng Gunung Marapi.
Masjid tersebut bisa ditempuh dengan perjalanan sekira 30 menit dari pusat kota Bukittinggi, atau sekira 20 kilometer, bisa menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. (ZE)
Tulisan ini ditulis ulang dari artikel sebelumnya: Masjid Raya Bingkudu dan Cerita Canduang Masa Lalu