Legenda "Malin Kundang" tak habis menjadi sumber inspirasi bagi dunia seni pertunjukan di Tanah Air. Yang terkini adalah pertunjukan "Malin Kundang Lirih" yang dipentaskan pada Selasa, (3/12/2024) pukul 20.00 WIB lalu di Gedung Arena Mursal Esten di ISI Padang Panjang.
Karya Pandu Birowo yang dimainkan oleh Fajar Eka Putra itu, merupakan peserta terpilih kelas penciptaan karya Solo: Kelas Napak Tilas dalam program Lab Indonesiana: Dapur LTC 2024 yang diselenggarakan oleh Lab Teater Ciputat pada bulan September 2024 lalu. Karya Fajar terpilih karena memberikan interpretasi baru dari mitos maling kundang yang dikenal sebagai anak durhaka berasal dari Sumatera Barat.
Pertunjukan teater Monolog, membawa penonton ke dalam perjalanan batin tokoh Malin yang terperangkap dalam dilema antropologi seorang laki-laki yang lahir di tanah Minangkabau. Berbeda dengan cerita yang sering didongengkan oleh seorang Ibu kepada anaknya yang mengkontruksi Malin sebagai anak durhaka, pertunjukan ini menawarkan perspektif yang baru, menggali lebih dalam konflik batin yang ada dalam diri Malin Kundang.
Malin, yang lahir dan besar dalam budaya Minangkabau, kental dengan adat-istiadat, harus menanggung beban stigma sebagai anak durhaka dari pandangan orang-orang di luar sana. Pada saat itu, ia tidak bisa membantah, sehingga melalui pertunjukan ini, ia akan mengungkapkan kebenarannya.
Ketika penonton pertama kali masuk ke dalam gedung pertunjukan, mereka disuguhi setting di tepi laut. Di atas panggung, tampak kapal-kapal yang terbelah menjadi tiga, dengan kondisi sudah berlumut dan hancur. Diinterpretasikan bahwa peristiwa ini sudah lama terjadi, namun detail ini kurang mencerminkan suasana laut yang autentik. Kapal seharusnya terlihat berkarat karena korosi, bukan berlumut hijau. Apalagi, kondisi kapal ini sebenarnya bisa menunjukan umur dari peristiwa Malin Kundang.
Selain itu, pasir yang digunakan di atas panggung, juga kurang pas dengan pasir pantai yang sebenarnya yakni bewarna kecoklatan, namun pasir yang tampak di panggung malah berwarna kuning seperti tanah liat. Ini mengurangi esensi surealisme dari latar peristiwa yang akan di imajinasikan oleh penonton.
Pertunjukan dimulai dengan alunan musik yang sendu mengiringi suasana. Pemusik dan Pendendang turut menjadi bagian dari setting di atas panggung, duduk di tengah kepingan kapal yang menjadi latar utama. Musik yang dimainkan secara langsung, berhasil membawa penonton larut dalam suasana, diperkuat dengan efek suara semilir angin laut. Namun, posisi duduk pemusik, mempengaruhi fokus penonton saat adegan bersamaan dengan bangkitnya Malin.
Meskipun berformat menolog, pertunjukan ini melibatkan empat aktor di atas panggung, yang membingungkan penonton awam yang mengira monolog hanya dimainkan oleh satu aktor. Setelah musik dimainkan, terlihat satu aktor yang terbaring di kepingan ujung kapal, sementara tiga aktor lainnya memerankan batu yang diselimuti oleh pasir-pasir laut.
Ketika musik bermain, suara retakan batu terdengar, diikuti dengan bangkitnya para aktor yang memerankan batu. Ketiga batu ini, merupakan simbolis dari batu Malin Kundang yang bangkit dari kutukan. Adegan ini memberikan kesan mendalam kepada penonton, bahwa mereka menyaksikan kebangkitan batu-batu yang melambangkan Malin Kundang. Namun, ini menjadi pertanyaan dibenak penonton, kenapa ada tiga batu? Kan legenda sebenarnya hanya ada satu batu Malin Kundang. Alasan ini tidak tercermin dipertunjukan. Namun suasana yang dihadirkan oleh batu-batu tersebut, berhasil menciptakan sensasi mencekam dan membuat penonton bergidik, seolah menyaksikan mumi yang bangkit dari kuburnya.
Peran utama dalam pertunjukan ini dimainkan oleh Fajar Eka, memerankan tokoh Malin Kundang yang akan melirihkan kisahnya kepada penonton. Dalam Malin Kundang Lirih, Fajar Eka menunjukan kedalaman luar biasa dalam memerankan sosok Malin yang penuh lirih. Kebangkitannya dimulai dengan dialog yang kuat, ”Akulah yang akan bicara, telah sekian lama kau bungkam dan tak kau perbolehkan aku bersuara”.
Dengan vokal yang tegas, kuat dan intonasi suara yang sangat menggambarkan kekesalan sosok Malin, Fajar berhasil menghadirkan sosok Malin yang merasa kesal dicap sebagai anak durhaka. Ekspresi dan emosi yang ditampilan sangat menggambarkan perjuangan Malin sebagai seorang laki-laki Minang. Ia lahir di tanah Minang, namun harus merantau dan mencapai kesuksesan di peratauan.
Sayangnya, kepulangannya ke kampung halaman berujung pada tragedi, di mana ia harus menghadapi ibunya dan menerima kutuka sebagai anak durhaka. Penampilan Fajar Eka yang memukau berhasil menghidupkan kompleksitas dan kedalaman karakter Malin Kundang di atas panggung.
Selain aktor utama, terdapat tiga aktor lainnya yang berperan sebagai simbol batu-batu Malin Kundang. Ketiga aktor ini lebih banyak bermain dengan body movement, di mana mereka bergerak hanya saat terdengar suara musik batu, lalu kembali membeku (freeze). Dalam pelajaran keaktoran ini disebut sebagai eksplorasi body movement. Dalam gerakan mereka, terdapat inspirasi dari seni bela diri silek (silat Minangkabau). ”Sebagai batu, gerakan-gerakan yang dimainkan seolah-olah menggambarkan batu yang pecah, sehingga gerakannya bersifat stakato. Selain itu, gerakan juga diambil dari silek yang diekplorasi kembali” ungkap Rahmad.
Konsep pertunjukan Malin Kundang Lirih, sebenarnya inovasi baru dalam pertunjukan monolog, menambahkan karakter yang unik. Namun, kadang penonton lebih tertarik pada gerakan ketiga batu ini dibandikan cerita utama. Mereka sering kali menuggu gerakan apa yang akan dilakukan berikutnya, sehingga fokus terhadap narasi Malin Kundang sebagai tokoh utama menjadi terganggu.
Jika kita melihat dari konsep penyutradaraan dalam pertunjukan ini, khususnya dari segi blocking aktor utama, Malin Kundang, terbaring di ujung kapal yang terbelah. Malin bergerak ke arah depan, batu pertama, kembali lagi ke belakang, kemudian baru ke arah samping kiri serpihan kapal yang jarang dijamah oleh Malin. Blocking ini kurang mengeksplor seluruh area panggung, terutama bagian lambung kapal kiri dan tengah. Eksplorasi properti juga terbatas. Malin hanya sering berinteraksi dengan serpihan ujung kapal tempat kebangkitannya, sementara serpihan lainnya lebih banyak dieksplor oleh aktor yang berperan sebagai batu. Properti di atas panggung pun minimalis, , hanya menghadirkan kapal yang patah secara simbolis, memberikan makna bahwa malin terperangkap dalam ruang sempit dan terbatas, tetapi juga menimbulkan kekurangan, dengan properti yang hanya dihadirkan secara simbolik, kadang membuat penonton merasa ada ruang yang hilang dalam pengalaman visual yang seharusnya lebih kaya. Selain itu, pencahayaan yang dramatis memberikan kesan surealis yang mendalam. Hal ini memperkuat suasana lirih yang menyelimuti karakter Malin Kundang dan menambah dimensi emosional pada pertunjukan.
Malin Kundang Lirih adalah pertunjukan teater yang menarik. Naskah yang ditulis dengan penuh pertimbangan menawarkan interpretasi baru dari mitos Malin Kundang, dengan menggali aspek antropologis dan psikologis yang jarang dieksplorasi dalam pertunjukan sejenis. Pertunjukan ini berhasil, menyampaikan hal tersebut. Malin, sebagai seorang pemuda Minangkabau, mencoba mengubah nasibnya dengan merantau, namun ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa setiap tindakan yang ia lakukan memiliki dampak terhadap keluarganya, terutama ibunya.
Malin Kundang Lirih, menunjukkan bahwa Malin bukanlah sosok yang jahat atau durhaka, melainkan seorang individu yang menghadapi dilema besar dalam hidupnya yang dilahirkan sebagai seorang laki-laki di tanah Minang. Pertunjukan ini diakhiri dengan gemuruh tepuk tangan dari seluruh penonton di dalam gedung pertunjukan. Keberhasilkan ini terlihat dari banyaknya penonton yang larut dalam emosi, bahkan meneteskan air mata saat merasakan kelirihan hidup Malin.
”Cerita ini sangat relate banget dengan persoalan anak laki-laki di tanah minang yang harus berkembang di rantau orang, kalau tidak sukses di rantau, mereka tidak akan berani pulang,” kata salah seorang penonton.
Secara keseluruhan, pertunjukan ini berhasil menyampaikan pesan dan kelirihan Malin Kundang, Namun karya ini akan lebih baik, dengan beberapa penyempurnaan dalam aspek penyutradaraan seperti blocking aktor yang lebih di pertimbangkan, maksimalkan dan pertimbangan mengenai karakter simbolis tiga batu Malin Kundang, posisi pemusik yang memang ingin menjadi bagian setting di atas panggung, Malin Kundang Lirih akan menjadi pertunjukan yang lebih seimbang dan memukau. (*)