Lingkar Kepala Memang Berbeda dengan "Kincia-kincia"

Wali Kota Padang Hendri Septa memboyong seluruh lurah dan camat se-Kota Padang untuk menghadiri Rakernas Apeksi di Makassar.

Miko Kamal (Foto: Dok. Miko)

Senang saya menjadi dua kali kepada Benni. Senang pertama, beliau membalas tulisan saya dengan tulisan pula. Api diskursus tentang jalan tol jadi hidup. Kayunya dari kami berdua, ditambah kayu dari Boby Lukman Piliang. Senang kedua, Benni mulai sepaham dengan saya: yang saya sampaikan benar secara konstitusi, tapi sekarang belum bisa dijalankan karena alasan teknis pendanaan. Itu pernyataan implisit Benni yang akan saya kutipkan di bagian bawah tulisan ini.

Baca Juga: "Macet Nalar Tol Ajo Miko Kamal" oleh Boby Lukman Piliang

Sebelum saya mengutip, saya ungkapkanlah dulu beberapa sisa-sisa kesalahpahaman pembaca atas 2 tulisan saya. Terutama kesalapahaman Benni dan Boby.

Baca Juga: "Memahami Gagal Paham Miko Kamal" oleh Benni Inayatullah 

Proyek tol yang saya bicarakan dalam 2 tulisan itu bukan saja terkait tol Sumbar atau tol Padang-Pekanbaru. Tapi proyek tol secara keseluruhan, terutama tol di Sumatera. Saya belum berani memasukkan proyek tol di luar Sumatera, terutama di Jawa. Sebab, sudah lama benar saya tidak menjajal jalan lintas di Jawa.

Saya memang berdomisili di Sumbar. Tapi, tentu tidak adil bila pikiran saya ini dilokalisir untuk kepentingan Sumbar saja. Ini kepentingan nasional. Saya bermaksud menegakkan marwah konstitusi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Dari sisi pandangan pragmatisme, saya mendukung proyek tol yang sedang berjalan di Indonesia. Termasuk juga proyek tol Padang-Pekanbaru. Karena jalan lintas yang menghubungkan dua provinsi ini memang tidak layak. Sebagaimana yang saya sampaikan dalam tulisan pertama saya:"... ingin benar saya ke Pekanbaru dari Padang 3 jam saja. Tidak 7 jam (lebih kurang) serupa sekarang" (Langgam.id, 20/11/2021).

Saya sudah membayangkan, saatnya nanti saya bisa minum pagi di Padang, makan siang di Pekanbaru dan makan malam lagi di Padang pada hari yang masih sama. Tapi, itu harus direalisasikan secara konstitusional dengan membuatkan jalan lintas sekelas tol atau tol gratis.

Jalan Lintas Belum Layak

Saat ini, sebagian besar orang (mainstream) menganggap jalan lintas (boleh juga disebut jalan nasional) yang ada sekarang sudah layak. Mari kita lihat faktanya. Seperti diketahui, hampir semua jalan lintas yang menghubungkan satu provinsi dengan provinsi lainnya lebar rata-ratanya 7 meter. Masing-masing 3,5 meter untuk satu arah.

Tidak hanya soal lebar jalan, kondisi jalan juga jadi persoalan. Sebagian ruas jalannya juga berlubang. Jalannya juga berkelok-kelok. Ini yang saya temui ketika 9 bulan yang lalu menjajal Padang-Jakarta lewat darat. Bagi saya, jalan lintas yang seperti ini tidak layak.

Tapi saya tidak memaksa, jika orang lain berpendapat itu sudah layak. Pasalnya, mengubah cara pikir seseorang memang tidak mudah. Dalam konteks layak atau layaknya jalan lintas, di alam bawah sadarnya sudah terpatri bahwa yang dinamakan jalan lintas adalah seperti yang ada sekarang. Jika mau lebih baik dari itu, jawabannya adalah tol. Saya paham itu.

Di tengah fakta jalan lintas yang menurut ukuran saya tidak layak itu, pemerintah menjalankan proyek tol. Perbedaan keduanya bagaikan siang dan malam. Jalan tol berukuran lebar, tiga lajur dalam satu arah. Relatif lurus dengan permukaan yang datar dan mulus.

Menurut saya, berdasarkan kenyataan itu, konsep tol sebagai alternatif bagi rakyat tidak diletakkan pada tempatnya. Ini bukan alternatif, tapi 'paksaan'. Rakyat 'dipaksa' menggunakan tol Palembang-Lampung yang menghemat waktu sekitar 6 jam dibanding menggunakan jalur biasa. Misalnya begitu.

'Paksaan' itulah yang saya maksud dengan 'cara negara melepaskan tanggung jawab'. Tanggung jawab apa? Tanggung jawab yang tertulis di dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945: 'Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak'. Fasilitas pelayanan umum yang dimaksud perumus Pasal tersebut sudah pasti bukan tol, tapi jalan lintas. Argumennya sederhana: jalan lintas gratis, sedangkan tol berbayar atau bisnis. Tidak mungkinlah untuk melunaskan kewajiban konstitusinya, negara berbisnis dengan rakyatnya sendiri.

Dari berbalas pantun di media, sudah mulai ada titik terang bahwa yang saya sampaikan sudah mulai dipahami. Meskipun terlihat malu-malu kucing, yang saya sampaikan sudah dapat diterima. Berikut adalah kutipan pernyataan Benni yang secara impilist sepaham dengan saya itu: "Kita tentu menyadari bahwa negara kita belumlah mampu untuk membangun jalan tol yang perai atau gratis bagi rakyatnya. Bahkan negara-negara maju dan kaya hingga saat ini masih menerapkan jalan berbayar. Karena itulah demi untuk meningkatkan akses terhadap wilayah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, negara membangun jalan tol dengan modal pinjaman atau dengan menjual konsesi kepada swasta. Sehingga logis sekali kemudian penggunaan jalan tol ini dikenakan biaya dalam penggunaannya. Kalau menunggu negara kaya raya belum tahu entah kapan jalan tol perai ini akan terwujud" (Langgam.id, 24/11/2021).

Kepada Benni saya beri tahu sebuah rahasia: lingkar kepala memang beda dengan “kincia-kincia”. Lingkar kepala sudah pasti memerintahkan yang ideal, memberikan masukan secara benar dan keberpihakan kepada rakyat yang kental. Sementara “kincia-kincia” cenderung mengedepankan pragmatisme dan kepentingan sesaat. Bagi pemuja "kincia-kincia", biarlah ukuran lingkar kepala kecil asal "kincia-kincia" jalan, meskipun hasil "kincia-kincianya" tidak bermanfaat buat publik.

Simpulannya, dari dialektika intelektual ini, saya sudah sampai pada diksi lama: nan diama alah pacah, nan dimukasuik alah sampai. Suatu saat, publik akan menemukan jejak digital tentang serunya perdebatan intelektual tentang keharusan negara menunaikan tanggung jawabnya menyediakan jalan lintas sekelas tol sebagai tafsiran dari frasa “…fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Padang, 26/11/2021

Miko Kamal adalah Legal Governance Specialist. Tulisan ini pendapat pribadi. Tidak berhubungan dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Tim Percepatan Sumbar Madani (TPSM).

 

Tag:

Baca Juga

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Mengatasi Hambatan Investasi dan Mengoptimalkan Potensi Ekonomi Sumatera Barat
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Pertumbuhan Ekonomi Sumbar Menunggu Kepemimpinan Strategis Gubernur Baru
Menyigi Sumber Budaya Berwirausaha Etnis Minang
Menyigi Sumber Budaya Berwirausaha Etnis Minang
Mengenal Potensi dan Risiko Kesehatan pada Perempuan
Mengenal Potensi dan Risiko Kesehatan pada Perempuan
Apakah Presiden Prabowo Akan Redenominasi Rupiah?
Apakah Presiden Prabowo Akan Redenominasi Rupiah?
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Kinerja APBD 2024 Sumatera Barat: Implikasi Terhadap Perekonomian